Inipasti.com, Makassar – Politik Indonesia seperti permainan layang-layang, pemegang kendali atas layang-layang harus piawai membaca arah angin. Harus pintar membaca tanda-tanda. Hari-hari para politisi cenderung dihabiskan hanya untuk berjanji, bagaimana meyakinkan pemilih dan publik. Apalagi kalau menghadapi pemilu.
Politik Indonesia hanya diisi dengan rivalitas yang tiada akhir bak cerita bersambung dalam opera sabun colek. Politisi yang berkuasa sibuk mempertahankan kekuasaannya, sementara politisi yang di luar kekuasaan mempersiapkan diri bagaimana menjatuhkan lawan politiknya yang berkuasa. Politisi Indonesia hanya mengisi kehidupan politiknya dengan kontestasi.
Demokrasi bagi mereka hanya lambang dari arena politik. Demokrasi tidak lebih dari kata-kata puitis politisi yang kehilangan makna subatansinya. Demokrasi hanya dimaknai sebagai alat politik yang bersifat admininstratif. Itu sebabnya, para politisi tidak bosan-bosan bercerita tentang ketulusan, kejujuran, kerja keras tanpa pamrih, keadilan dan kesejahateraan.
Semua yang dibicarakan itu hampa makna, dan selalu kontras dengan yang sesungguhnya. Kalau politisi meneriakkan ketulusan dan keihlasan, mereka sesungguhnya sedang berpura-pura, sedang berdusta dengan dirinya sendiri.
Jangan heran kalau pasangan bupati/walikota dan gubernur, baru seumur jagung sudah saling sikut, sudah saling berjaga-jaga, mulai ribut, dan pecah kongsi. Dari duet menjadi duel. Sang wakil mau jadi kepala, sang kepala ngotot mempertahankan kedudukannya. Inilah realitas yang terjadi hampir pada semua kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia.
Menjelang Pilkada 2018, sudah banyak bupati dan wakilnya yang berniat menjadi cabup mulai tidak harmonis. Publik di Sulsel mulai merasakan uap hubungan yang bersifat kontestatif antara bupati/walikota dan wakilnya.
Bupati/walikota tentu pemegang kunci pemerintahan sudah mulai membatasi gerak gerik wakilnya. Merujuk pada sejumlah informasi yang beredar, bupati/walikota yang sudah mulai “renggang” dan mulai membangun panggung untuk berkontestasi antara lain; bupati dan wakil bupati Jeneponto, Kota Makassar, Kota Pare-pare, Kota Palopo, Sidrap, dan Enrekang.
Jika benar issue yang berkembang bahwa Bupati/Walikota berselisih paham karena merebut panggung untuk mempertahankan dan merebut kekuassan, dan perhatian mereka kepada pembangunan dan masyarakat mulai menurun, maka mereka dapat dijuluki sebagai calon bupati dan walikota pengingkar janji.