INIPASTI.COM – Keesokan harinya pagi-pagi benar, serdadu kompeni telah mangatur diri dalam benteng Makassar. Siap sedia menunggu perintah penyerangan dari kapitan mereka. Ketika mereka sedang ramai menpersiapkan diri, datang pula Lasykar bantuan dari sahabat Tumalompoa. Mereka dipimpin oleh tubarani pilihan seperti, Karaeng Galesong, Bolebolena Tallo, Pallakina Mallengkeri. Pagssikkina Parangtambung, I Bage Daeng Majjanji, Karaeng Lewa ri Popo, I Taga ri Mangindara, Karaeng Nyikko ri Kanaeng. Benteng Makassar akhirnya penuh sesak dengan prajurit-prajurit yang akan menyerbu Datu Museng.
Ketika matahari naik sepenggala di atas puncak gunung Lompobattang. serdadu dan tubarani itu mulai bergerak menuju sasaran. Bunyi trompet dan tambur bercampur baur dengan bunyi gendang dan pui-pui, membelah angkasa dan merangsang semangat mereka untuk bertempur menyabung nyawa, melawan musuh yang hanya berhilang puluhan orang saja di bawah pimpinan panglima perang Sumbawa yang sakti dan digdaya.
Setiba di kampung Beru, pasukan berhenti dan mengatur barisan serta menyusun siasat pengepungan. Ketika berhenti, mereka bersorak sorai bagaikan hendak runtuh Makassar dibuatnya. Gendang dan pui-pui, tambur dan gong tak henti-hentinya berbunyi bertalu-talu, menambah riuh rendahnya kebisingan. Apalagi trompet yang nyaring seakan merobek dan menggelitik hati untuk bertempur. Mereka bergembira, bersukacita bagaikan kanak-kanak yang menghadapi permainan kegemaran.
Sorak-sorai ini terdengar nyaring menembus angkasa, menggema ke kampung Galesong ke rumah Datu Museng. Mendengar gema suara bising itu, naik-turunlah Maipa Deapati dari pembaringannya. keluar masuk bilik, lalu mendekati kekasih jiwa, sembahan batin, pahlawan satrianya. Ia kemudian duduk menyandarkan diri pada dada suaminya itu.
“Wahai Datu, mengapa kanda masih diam membisu? Musuh sudah berada di kampung Beru. Sebentar lagi mereka tentu sudah tiba di sini. Serdadu Belanda itu sedang mempersiapkan penyerangan yang menentukan, dan kanda masih diam tak bersiap menyambut mereka”.
Mendengar teguran isterinya yang bernada cemas itu, Datu Museng menjawab tenang.
“Adindaku sayang…. tenanglah menunggu saat-saat yang bersejarah itu. Mereka tidak akan tiba kemari jika belum waktunya. Kita pun tak dapat bertindak apa-apa jika belum sampai waktunya. Sabarlah adinda, nasib tetap tak akan barubah. Takdir kita yang telah diberikan Tuhan sejak lahir, tak mungkin ditolak, tak dapat disanggah. Tenanglah seperti biasa. Berbuatlah seakan-akan tak ada apa-apa yang akan terjadi. Biarkan mereka ribut bersorak, riang-gembira laksana anjing yang sedang menghadapi paha ayam. Ya, biarkanlah. Itu adalah hak mereka. Jangan hiraukan juga, karena itulah watak serdadu sewaan, tubarani-tubarani yang hidup di ujung telunjuk, yang keberaniannya karena terdorong upah dan sanjungan. Mereka bergerak bukan kehendak hati, bukan imbauan kesucian batin. Mereka cuma boneka permainan, dipermainkan oleh tangan-tangan najis dari manusia-manusia terkutuk. Adinda, biarlah mereka Kemari. Karena memang hajat dan tujuannya demikian. Tak dapat ditolak, tak mungkin dilarang. Kendati kita bergegas bercepat-cepat, tak ada juga gunanya. Karena mereka datang pada waktunya, tiba pada saat nyawa kita akan terbang ke alam nirwana. Apabila saat itu tiba, maka tak ada yang dapat menangguhkannya sesaat pun. Yang perlu kita ingat hanyalah kebesaran Ilahi dan menyerahkan padaNya, karena di tangan Tuhan kita berada”.
Bersambung…