ORANG-orang berkabung di dekat lokasi penembakan di pusat perbelanjaan OEZ sehari setalah penembakan yang mengakibatkan sembilan korban tewas di Munich.
“Itu tidak mungkin terjadi di sini”–adalah ungkapan kelegaan yang merupakan reaksi standard orang Jerman terhadap pembunuhan massal yang terjadi di luar negeri, terutama di Amerika Serikat. Tidak mungkin terjadi di sini karena pengawasan senjata api kami termasuk di antara yang paling ketat di dunia. Kami juga tidak memiliki banlieue, pemukiman di pinggiran kota besar, yang seram seperti yang melilit kota-kota Prancis di mana pemuda-pemuda dari Afrika dan Timut Tengah tidak dapat kerja, tidak pula penghargaan. Tidak mungkin terjadi di sini, negara yang memiliki jaminan kesejahteraan yang sempurna yang melindungi setiap dan semuanya.
Kini, hal itu terjadi juga di sini. Tanpa senapan serbu, sebagaimana di atas sebuah kereta api Bavaria ketika seorang pengungsi muda mengamuk dengan bersenjatakan kapak yang dibeli dari toko perlengkapan. Dengan pistol Glock otomatis dan 300 butir peluru di Munich pada Jumat, pembantaian mengakibatkan 10 orang terbunuh termasuk penembaknya. Jerman, yang dulu diberkati perlindungan, kini bergabung ke “klub” pembunuhan massal yang terbentang dari Amerika Serikat sampai ke Prancis.
Reaksi refleks membuat kita menabrak kiri kanan mencari-cari dalam kegelapan. Tidak, tidak ada koneksi Islamic State di Munich. Tidak ada pula konspirasi sayap kanan. Tidak ada penindasan berdasarkan diskriminasi rasial. Tidak ada jeritan ketidakadilan sosial–tidak di sini di Jerman, yang warganya tidak ada yang menganggur dan jaminan sosialnya melimpah. Tidak ada polisi yang ringan tangan menarik pelatuk, seperti di kota-kota di Amerika di mana penganiayaan merenggut jiwa warga kulit hitam maupun polisi kulit putih.
Maka, satu demi satu, teori kita yang dangkal pun menguap di hadapan horor tak terperikan, dan memaksa kita mervisi ulang nomenklatur, tata nama kita tentang teror yang sudah klasik. Dimulai dengan serangan PLO di Eropa pada dekade 1970-an dan dilanjutkan dengan al-Qaida dan Isis, teror diimpor dan dilancarkan oleh pembunuh terlatih yang dikirim dari Timur Tengah.
Banjir darah di Brussel dan Paris (Charlie Hebdo, Bataclan) menandai sebuah fase baru. Para pembunuh tidak direkrut oleh Isis: mereka merekrut diri mereka sendiri, lalu melakukan pembunuhan massal berdasarkan penafsiran yang membabi buta terhadap keyakinan mereka. Tambahkan pula peristiwa baru-baru ini, San Bernardino dan Orlando di Amerika Serikat.
Bandingkan aksi lakukan-teror-itu-saja-sendiri-saja dengan persiapan berbulan-bulan untuk serangan 11/9, latihan terbang dan sebagainya, yang dilakukan oleh Mohammad Atta dan 17 orang pengikutnya.
Serangan 11/9–sebut saja Teror 1.0–adalah peperangan yang terorganisasi. Teror 2.0–seperti San Bernardino atau pengeboman pada lomba maraton Boston–merupakan hasil karya pekerja lepas yang merekrut diri sendiri. Isis tidak mencari mereka; mereka justru yang mengatasnamakan Isis untuk membenarkan diri. Tindak kekerasan keluaran terbaru, seperti yang terjadi di Nice dan Munich, adalah Teror 3.0.
Pelakunya bukanlah kelompok jihad yang ingin langsung masuk surga, tetapi penjahat kelas teri yang memiliki sejarah sakit jiwa: para sosiopat.
Apakah kita harus menjaga setiap warung Mc Donald? Atau menggeledah bagasi jutaan pengunjung yang menggunakan kereta api? Kita mungkin bisa, tetapi dengan biaya berapa?
Pembantaian di Munich masuk dalam model tersebut. Pihak berwenang tidak menemukan kaitan dengan Isis. Namun, orang yang diidentifikasi sebagai penembak, Ali David Sonboly, warga negara Jerman dan Iran berusia 18 tahun, pernah menjalani perawatan mental. Dan, dia menaruh perhatian mendalam terhadap berita-berita pembunuhan massal. Di kamar tidurnya, para penyidik menemukan versi Jerman buku Mengapa Anak-anak Membunuh: Isi Pikiran Penembak Sekolah.
Sonboly bukan korban rasisme atau kemiskinan. Dia bukan pengungsi. Dia tinggal dengan keluarganya di sebuah lingkungan kelas menegah dekat pusat kota Munich. Namun, dia adalah seorang penyendiri yang gemar nonton video game kekerasan seperti Grand Theft Auto, kata para tetangganya.
Dia mengingatkan kepada sosok pembunuh penyendiri lain: Andes Breivik, warga negara Norwegia yang tepat lima tahun sebelum penembakan di Munich membunuh 77 orang di Oslo dan di pulau Utoya. Ada kemungkinan perayaan ulang tahun itu dapat memberi petunjuk tentang mengapa dan dari mana ide itu muncul. Seperti Breivik,
Sonboly pun menyasar anak-anak muda. Dia mungkin tiruan orang yang gemar membunuh seperti Breivik.