Cerita Sebelumnya
KETIKA Dewa Pedang itu meninggal karena usia tua, semua keluarganya berkabung dan berduka. Akan tetapi yang paling berduka dan tak hentinya menangis dan memanggil-manggil adalah cucunya yang paling bungsu.
Cucu ini bernama Yu Lee dan sejak kecil memang menjadi cucu kesayangan kakeknya. Karena menumpahkan kasih sayang ini, anak itupun membalas cinta kasih yang melebihi ayah bundanya sendiri.
Di saat kakeknya meninggal, Yu Lee baru berusia delapan tahun dan biarpun semua orang menghiburnya, ia tidak mau berhenti menangisi mayat kakeknya.
Rumah itu sudah diberi tanda berkabung dengan kertas dan kain putih. Jenazah kakek Yu telah dimasukkan peti mati dan ditaruh di ruangan depan.
Di meja sembahyang yang berdiri di depan peti mati, di samping lilin dan asap dupa serta hio mengepul memenuhi ruangan. Tiga orang putera dan dua orang cucunya yang sudah berusia belasan tahun, menjaga peti mati untuk mewakili kakek Yu dalam membalas penghormatan pengunjung yang berlayat.
Keluarga perempuan setelah menjalankan “upacara berkabung” dengan jerit tangis sedih di depan peti mati, lalu masuk ke dalam untuk membantu di dapur mengeluarkan hidangan bagi mereka yang berlayat.
Yang amat mengharukan adalah Yu Lee. Ia tetap saja menjaga peti mati, biarpun ia dihardik ayahnya sehingga tak bisa menangis keras, tetapi masih bercucuran air mata dan terisak-isak, matanya merah memandang peti mati, tangannya mengelus-elus peti dan bibirnya bergerak-gerak, seakan-akan berbicara dengan kakeknya yang berada di dalam peti !
Sebagai seorang bekas pendekar terkenal tentu saja banyak sahabat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada jenazah kakek Yu. Hilir mudik orang yang datang dan yang pergi, sehingga putera-putera dan cucu menjadi sibuk sekali membalas penghormatan para tetamu.
Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali telah datang seorang tetamu. Sepagi itu hanya Yu Lee yang sudah mendekam di dekat peti mati itu. Ayah dan saudara-saudaranya segera keluar menyambut tamu itu.
Akan tetapi tamu yang datang kali ini sikapnya luar biasa dan tidak seperti tamu-tamu yang lain. Dia sudah tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya. Pakaiannya kasar dan sederhana, di punggungnya terdapat sebuah guci arak berbentuk bulat dengan leher panjang dan mulut tersumbat kain kuning, di pinggang kiri tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya sudah tua dan buruk. Melihat pakaian pendeta dan rambutnya yang digelung dan diikat pita kuning, tentu dia seorang tosu (pendeta Agama To) pengembara.
Tubuhnya kurus kering, mukanya pucat kehijauan dan berbentuk panjang, matanya sipit sekali seakan selalu terpejam. Keadaannya sesungguhnya sangat menyedihkan, tidak sedikitpun membayangkan semangat dan keriangan hidup.
Akan tctapi anehnya mulut kecil yang ompong itu selalu tersenyum dan karena bagian lain dari mukanya tidak memancarkan keriangan maka senyumnya ini tidak seperti senyum lagi, lebih patut kalau dikatakan menyeringai dan mengejek.