INIPASTI.COM – Persahabatan Mukidi dengan Nunding memang sangat kental. Meskipun mereka sering berbeda pendapat, terutama soal tawaran Nunding yang ingin menjadikan Mukidi sebagai pawang shabu-shabu untuk para artis, politikus dan orang kaya yang mondok di padepokan Mukidi. Atas tawaran itu, Mukidi hanya bersedia menjadi penasehat spritual bagi mereka. Tetapi menolak sebagai dalang shabu-shabu. Kalau mau ngisap shabu-shabu silakan berguru pada padepokan lain, demikian Mukidi. Tapi Nunding tidak patah arang, ia terus meyakinkan Mukidi.
Baca juga:Mukidi Bertemu Nunding Soal ‘Berak’ & ‘Kencing’
“Ini soal kesempatan Dii. Ini uang besar. Dengan uang ini kita bisa menolong banyak orang. Partai sayapun akan tertolong.” Nunding bertubi-tubi menyerang kesadaran Mukidi yang mulai goyah.
Mukidi mulai diserang penyakit pusing kepala. Dia menepuk-nepuk jidatnya, menarik-narik rambutnya yang mulai menipis. “Aaah, lebih baik aku nonton, nonton Uang Panai.” Mukidi mencoba mengalihkan kegelisahannya.
Film Uang Panai adalah film yang diproduksi secara lokal oleh anak-anak Bugis Makassar, yang diedarkan secara nasional, dan mengangkat budaya lokal, tentang prasyarat untuk menikahi seorang gadis pujaan. Sebelum menikahi seorang gadis Bugis Makassar, seorang lelaki diharuskan memenuhi sejumlah syarat, antara lain “Uang Panai.” Besaran Uang Panai ditentukan oleh keluarga calon pengantin perempuan. Besaran Uang Panai ini seringkali menjadi hambatan bagi sejumlah pria yang ingin menyunting gadis idamannya. Seringkali menjadi alasan kawin lari (silariang).
Mukidi: Bos, sudah nonton layar lebar Uang Panai?
Nunding: Saya sedang di Mekah Dii, menunaikan ibadah haji.
Mukidi: Cepat pulang bos, segera nonton Uang Panai. Film ini bos mesti tonton.
Baca juga : Mukidi Ditawari Dalang Shabu-shabu
Nunding: Kenapa mesti saya tonton Dii
Mukidi: Ini soal harga diri. Betapa mahalnya harga diri bagi orang Bugis Makassar.
Nunding: Kenapa, emangnya ada masalah dengan harga diri kita.
Mukidi: Ada bos, banyak di antara kita yang harga dirinya dijual murah. Kadang harga diri mau ditukar dengan shabu-shabu, hanya untuk mendapatkan rumah besar, mobil mewah dan kedudukan tinggi. Lembaga politik, ekonomi dan pemerintahan dijadikan sebagai wadah untuk mengambil untung. Proyek-proyek di-ijon, bansos-bansos disunat, surat izin pemerintah disandera untuk mendapatkan amplop gelap. Singkatnya, harga diri sudah dilipat di lemari pakaian.
Nunding: Dii, itu urusan KPK. Biarkan hukum yang menyelesaikan orang-orang yang menjual harga dirinya dengan harga murah. Urusan kita, bagaimana memperoleh uang sebanyak-banyaknya, dan luput dari bidikan KPK.
Mukidi: Bos, bandit-bandit itu lebih lihai dari KPK. KPK itu bikinan mereka, dipilih oleh mereka, diatur oleh mereka. Mereka menjual murah harga diri bangsa. Bangsa besar ini diatur oleh mereka yang berkarakter bengis. Rakyat semakin menderita, mereka menjadi buruh dan pembantu di tanah airnya sendiri.
Mukidi memuntahkan kekesalannya lewat WA kepada Nunding yang sedang menjalankan ibadah haji di Mekah. Ia terlihat marah dengan dirinya sendiri. Kemudian ia merebahkan dirinya, di pelataran studio 21. Menatap dengan sedih gerak langkah anak-anak muda yang terkekeh karena kekocakan “Uang Panai.” (Mammu)