INIPASTI.COM, MAKASSAR – Sungguh malang nasib para isteri pengungsi Rohingya. Karena peraturan ketat dari pemerintah, mereka tak bisa bertemu secara bebas dengan suami mereka.
Salah satu isteri pengungsi Rohingya, Suryana datang mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar. Ia berharap agar nasib mereka diperhatikan.
Suryana datang bersama belasan isteri pengungsi Rohingya lainnya. Mereka mengadukan nasib mereka yang terkatung-katung tanpa status yang jelas. Beberapa datang bersama anak-anak mereka yang masih balita.
Sejak menikah dengan Sirajul Isram di tahun 2012 lalu, ia tak pernah sekamar berdua dengan suaminya. Pasalnya, sang suami terikat peraturan Wisma Imigran yang hanya boleh beraktivitas di luar dari pukul 07.00 hingga 22.00 WITA. Sementara, mereka tak boleh membawa isteri mereka ke dalam Wisma. Maka Suryana harus menyewa kos-kosan dekat Wisma Imigran di Malengkeri, agar tetap berdekatan dengan suami.
“Saya hanya bisa ketemu siang hari sampai jam 10 malam. Kalau sudah, tidak bisa ketemu,” kata ibu empat anak ini di ruang Komisi B, Selasa, (20/02/2018) kemarin.
Sementara itu, untuk menyambung hidup, ia hanya bergantung pada uang bantuan dari UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi/United Nations High Commissioner for Refugees) dan IOM (International Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi) setiap bulannya sebesar Rp1.250.000,-. Uang itu harus ia bagi kepada suami dan keempat anaknya.
Dari pernikahannya dengan Sirajul, Suryana dikaruniai dua anak, Abdul Malik (3 tahun) dan Abdul Hafiz (7 bulan). Ia pun tak bisa nyambi, lantaran anak ketiganya, Abdul Malik yang berumur tiga tahun mengalami lumpuh layu sejak lahir.
“Tidak cukup kasian. Saya juga tidak bisa bekerja, suami saya juga tidak boleh bekerja,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Belum lagi, status anak mereka belum jelas lantaran peraturan Pemerintah Indonesia yang menganut kewarganegaraan tunggal yang harus ikut dengan bapak. Jadilah, dua anaknya tak memiliki status yang jelas. Bahkan, tak bisa didaftarkan dalam Kartu Keluarga (KAK) atas nama Suryana.
Abdul Malik yang sakit sejak lahir tak bisa menerima pelayanan kesehatan dari pemerintah. “Biasa obat tradisional, atau saya pijat. Karena tidak ada BPJS-nya,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ancaman jika sang suami akan dikirim ke negara ketiga juga menjadi momok tersendiri baginya. Statusnya sebagai isteri siri, ia takutkan bisa membuatnya berpisah dengan sang suami.
“Kalau nanti suamiku dikirim ke negara lain. Bagaimana dengan anak-anakku?,” katanya.
Menanggapi aspirasi tersebut, Wakil Ketua Komisi B, Iqbal Djalil mengatakan bahwa pihaknya bakal segera menemui pihak migrasi, IOM, dan UNHCR. Hal itu guna mendesak mereka memberi perhatian terhadap nasib perempuan warga kota Makassar yang menjadi isteri para pengungsi Rohingya.
“Hari ini kita mendapat aspirasi dari para isteri Rohingya. Mereka salah satunya mengeluhkan ketidakbebasan bersama suami mereka beberapa hari terakhir karena kesalahan pengungsi dari negara lain akhirnya berdampak pada pengungsi Rohingya. Insya Allah kita akan bantu komunikasikan dengan Imigrasi, UNHCR dan IOM terkait aspirasi mereka hari ini,” kata legislator yang juga Ketua Forum Peduli Rohingya ini, usai menerima aspirasi dari mereka.
Lebih lanjut, ia menjelaskan jika pengungsi Rohingya memiliki kasus yang berbeda dengan pengungsi yang berasal dari Afghanistan atau Somalia. Pengungsi Rohingya, jelasnya, mengalami masalah besar di negara asalnya sehingga memiliki status pengungsi ilegal oleh Kemenkumham.
“Perlu dibedakan antara pengungsi Rohingya dengan pengungsi dari Afghanistan. Kondisi negaranya berbeda. Seharusnya, mereka memiliki tempat yang berbeda. Kalau ada masalah terkait pengungsi Rohingya tolong komunikasikan dengan Forum Peduli Rohingya. Apapun bentuk pelanggarannya,” katanya.
(Saddam Buton)