INIPASTI.COM, MAKASSAR – Atmosfir politik di Indonesia (khususnya di Sulsel) menjelang Pilgub 2018 mendatang semakin sulit dipahami. Aktor politiknya berakrobat melebihi panggung politiknya. Komunikasi politiknya berbeda dengan prilaku politiknya. Lain di mulut lain yang dilakukan. Keadaan ini semakin membenarkan asumsi publik bahwa politik itu kotor, jahat dan sulit dipercaya.
Bukan saja aktor politik yang sulit dipercaya, institusi politik yang bernama parpol juga tidak mudah dipahami. Kadang partai politiknya saling menjegal, tidak pernah akur dan saling mematikan. Tapi kali lain, mereka saling mendukung, saling membahu, meski berbeda platform.
Menarik dianalisis, perilaku politik Nurdin Abdullah (NA), yang akhir-akhir ini tiba-tiba mendapat dukungan parpol dari berbagai latar belakang yang berbeda. Apa hebatnya NA sehingga bisa didukung oleh parpol yang amat berbeda kepentingannya? Dan, bagaimana komunikasi politik, prilaku politik yang dia bangun? Atau adakah sesuatu dibalik komunikasi dan perilaku politik yang dimilikinya. Jangan-jangan NA hanyalah “topeng politik” bagi kekuasaan yang lebih besar, bagi capital yang mengglobal?
***
Pasca mendapatkan rekomendasi dari PDI-P, PKS, PAN dan Gerindra untuk maju di pilgub sulsel 2018 mendatang, bakal calon Gubernur Nurdin Abdullah atau biasa disapa NA membantah jika melepas Tanribali Lamo dan menggantinya dengan adik kandung Mentan Amran Sulaiman.
NA menyebut pergantian dari Tanribali Lamo (TBL) kepada Andi Sudirman Sulaiman (ASS) jika memilih Andi sudirman Sulaiman (ASS) sebagai pemdampingnya di perhelatan pilgub 2018 atas kesepakatan dengan mantan calon wakilnya Tanribali Lamo (TBL). NA bahkan menyatakan bahwa keputusannya yang merubah pasangan dari TBL ke ASS adalah kehendak Tuhan. NA juga berkilah “kami sudah duduk bertiga musyawarahkan soal penggantian itu.” Dan TBL menurut NA tidak keberatan.
Namun pernyataan NA ini bertentangan dengan penjelasan ASS yang mengaku tidak mengenal TBL. Bagaimana mungkin ASS tidak mengenal TBL jika mereka sempat duduk bersama dan memusyawarahkan soal penggantian calon wakil NA?
Dengan polos, ASS mengaku baru mengenal dunia politik dan menganggap bahwa itu hanya bunga-bunga kehidupannya. Berdasarkan informasi yang beredar, pengalaman kepemimpinan ASS yang paling menarik dan memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan dan politik adalah sebagai ketua OSIS, ketika ia duduk di bangku SMA.
Setelah “menendang” TBL dari posisi calon wakilnya, NA juga seakan-akan melemparkan kesalahan pada pundak Amin Syam (mantan Gubernur Sulsel). Amin Syam dikenal oleh masyarakat Sulsel sebagai pacomblang (yang mengawinkan NA dengan TBL). “Saya dengan TBL dijodohkan dengan pak Amin Syam. Penghulunya saja sudah beralih mendukung kandidat lain,” ungkap NA beberapa waktu yang lalu dikutip salah satu media online.
Jauh sebelum TBL diganti, NA adalah bakal calon gubernur yang paling aktif bicara di depan media. Berulangkali dia menyebut dirinya dan TBL adalah pasangan serasi yang sangat diharapkan oleh masyarakat Sulsel. TBL menurut NA adalah sosok yang paripurna, mantan perwira tinggi militer, mantan pelaksana tugas Gubernur, mantan Dirjen Depdagri, anak mantan Gubernur Sulsel, dan politisi, karena TBL juga adalah pengurus DPP Golkar.
“Kami maju sebagai bakal calon gubernur atas dorongan masyarakat. Lebih bagus saya tidak maju kalau tidak bersama TBL. Seratus persen saya bersama TBL.” Jelas Nurdin kepada media ketika usai bertemu dengan relawan NA.
Relawan NA juga pernah “mojok” lantaran Nurdin Halid melamar NA untuk menjadi wakilnya. Protes relawan NA dimana-mana. Mereka menuntut NA-TBL harus maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Tapi yang aneh, ketika ASS menggantikan TBL, suara protes menjadi beku. Relawan NA seperti tenggelam ditelan bumi.
NA berkali-kali hendak mendeklarasikan dirinya dengan TBL untuk maju pada pemilihan Gubernur 2018 mendatang, namun berkali-kali juga gagal. Hingga akhirnya, NA memutuskan untuk mengganti TBL oleh ASS. Setelah ASS menggantikan TBL, Partai Politik mengalir mendukung NA. PAN tiba-tiba pindah dari IYL ke NA, Gerindra yang semula ingin “melawan” PDIP yang lebih dulu mendukung NA, dikabarkan akan bergabung mendukung NA. PKS yang sangat “alergi” berkoalisi dengan PDIP juga dinyatakan sudah mendukung NA. ASS yang mantan ketua OSIS itu nampaknya punya energy politik yang dahsyat. Ia bisa mengumpulkan banyak partai politik. ASS jauh lebih dahsyat dari TBL, bahkan jauh lebih hebat dari NA.
Mengumpulkan banyak partai dengan ideology yang berbeda dan kepentingan yang berlainan, tidaklah mudah dimengerti dengan logika dan nalar politik yang normal. Bagaimana mungkin seorang NA dan ASS bisa mengakomodasi semua kepentingan parpol yang mengusungnya? Bagaimana bisa seorang NA dan ASS menjelaskan kepada Gerindra yang hampir pasti akan mencalonkan Prabowo sebagai calon presiden, dan PDIP yang akan mencalonkan Jokowi sebagai calon Presiden? Komunikasi politik sejenis apakah yang digunakan NA, ASS dengan parpol yang bakal mendukungnya? Publik selain bingung membaca prilaku politik NA dengan parpol yang bakal mendukungnya, juga mulai curiga, jangan-jangan komunikasi politik yang dibangun NA melalui ASS adalah komunikasi politik yang bersifat transaksional. Jika kecurigaan public ini mengandung kebenaran, maka sistem politik di Sulsel akan segera hancur. Demokrasi politik akan amblas. Karena politik selalu dimulai dengan kebiasaan transaksional. Nilai-nilai demokrasi akan sirna.
Masyarakat Sulsel sebetulnya sangat mengharapkan para kandidat bakal calon gubernur membangun intrik politik yang santun dan tidak meninggalkan nilai-nilai demokrasi. Dan harapan itu sesungguhnya sangat besar ditujukan kepada Professor NA. Sebagai professor dan akademisi, pantas kalau public mengharapkan proses demokrasi lebih banyak di pundak NA. Sayangnya, harapan itu tidak bisa dijawab oleh NA.
Komunikasi politik NA yang paling baru adalah soal poros tengah. NA seakan-akan menginginkan ada kandidat lain yang bisa maju mengisi poros tengah. Pada sisi yang lain, NA terus bergerilya mengejar parpol, untuk mendukung dirinya. “Mudah-mudahan ada poros baru yang terbangun, agar menambah pilihan (calon) kepada masyarakat Sulsel. Itu cuma harapan kita. Karena jangan sampai kalau kita dapat lagi, dikira kita borong partai lagi,” kata Nurdin Abdullah saat bertandang ke Kantor DPD Gerindra Sulsel, Senin lalu (16/10/2017). Pesan ini menunjukkan NA mau bersaing sehat dengan kandidat lainnya. Tetapi mengapa NA “membegal” partai yang sudah jelas-jelas mendukung kandidat lain? Nampak pada setiap komunikasi politik yang dibangun NA selalu berbeda antar statemennya dengan perilaku politiknya. NA lupa, pameo dalam politik: jangan mendengarkan apa yang dia katakan, tapi lihat apa yang dia lakukan. Kalau NA memahami pameo ini, maka praktek politik dan komunikasi politik NA selama ini penuh dengan keanehan. (*ipc)