INIPASTI.COM, MAKASSAR, – Australia Indonesia BRIDGE Shool Partnerships dibawah Asian Education Foundation menggelar dialog pendidikan yang berbasis sekolah inklusi untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Suawesi Selatan (Sulsel) terkhusus di Kota Makassar, Rabu, (26/7/2017) di salah salah satu hotel berbintang.
Dalam dialog tersebut hadir sebagai narasumber, Fatimah Asiz selaku praktisi bidang pendidikan Sulsel, dan Abd. Rahman Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik), Sulsel.
Robertus Raga Djone, selaku Program Manager BRIGE mengatakan, dalam kegiatan tersebut merupakan salah satu wadah untuk mencetuskan serta meremukkan permasalahan peserta didik dan sekolah inklusif yang ada di Kota Makassar. Namun, seiring dengan berjalannya waktu pandangan untuk difabilitas mulai berbeda, keberadaannya mulai dihargai dan memiliki hak yang sama seperti anak normal lainnya.
“Seiring dengan perkembangan zaman, hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Nah dalam forum ini kedepannya dapat memberikan solusi dan hasil dari pertemuan kali ini,” kata Robertus yang juga merupakan instruktur dalam acara tersebut.
Sementara itu, Fatimah Asiz selaku praktisi bidang pendidikan Sulsel menjelaskan, sekolah inklusi sendirinya dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan. Dimana institusi pendidikan harus mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya disekolah reguler terdekat dekat dengan tempat tinggalnya.
Lanjutnya, sekolah juga harusnya mengidentifikasi, serta melakukan assesment terhadap ABK. Hal tersebut dikarenakan untuk melakukan pemetakan terhadap kompetisi dan potensi peserta didik yang ada.
“Sejauh ini ABK yang ada di sekolah umum harus memiliki perhatian dan peningkatan tingkat tenaga pendidik yang ada di Sulsel. Tingkat potensi guru dalam melaksanakan pembelajaran dan layanan kompensatoris,” tambah Fatimah.
Ia memaparkan sejauh ini tercatat ada 574 sekolah inklusi yang ada di Sulsel. Dengan ketersediaan tenaga pendidik berjumlah 1148 orang yang terdata. “Ada 448 tingkat SD, 113 SMP dan 13 SMA. Kita juga perlu memperhatikan rekayasa kondisi bangunan sekolah yang aksesibilitas bagi ABK dan pengadaan ruang sumber, ” ujarnya.
Terpisah, Abd. Rahman Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik), Sulsel menambahkan, pada konstitusi sudah terang dan jelas bahwa Negara berhak memberikan jaminan sebenarnya kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.
Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Ada sedikit perbedaan dalam sudut pandang pendidikan kita. Hal ini dikarenakan karakteristiknya yang berbeda dengan anak normal pada umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya mereka membutuhkan layanan pendekatan dan metode yang berbeda dengan pendekatan khusus,” kata Rahman.
Lahirnya pendidikan pada sekolah khusus atau luar biasa menjadi bagian pemenuhan hak-hak bagi difabilitas. Berdasarkan Undang – Undang mo 8 tahun 2016, Pasal 42 bahwa, Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah.
“Nah maka dalam pemikiran inilah menjadi tonggak dimulainya bahwa penyandang disabilitas berhak mendapat pendidikan secara normal. Memahami hal tersebut, hal ini dapat menjadi wacana bagi calon guru, bahwa tidak semuanya anak yang akan dididik nantinya adalah anak normal, bisa saja ketika menjadi guru nanti mendapatkan peserta didik yang memiliki disabilitas,”ungkapnya. (Muh. Seilessy)