Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Para sosiolog fungsionalis jarang sekali berbicara mengenai budaya dalam pengertian “kesenian”. Mereka lebih berminat menyoroti budaya dalam pengertian sebagai norma (norm), nilai (value), dan gaya hidup (lifestyle). Termasuk “gaya hidup” yang berwujud dalam budaya miskin.
Oscar Lewis mendefinisikan kemiskinan budaya sebagai kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya (Rahmatullah, 2013). Kemiskinan budaya menurut Thohir (2005), ada kaitannya dengan pandangan keliru dalam dimensi keagamaan, yaitu cara pandang jabariyah, di mana keberadaan diri (jatuh miskin) dililihat sebagai takdir bukan karena belum mengoptimalkan usaha. Dari segi sosial, mereka menjustifikasi diri sebagai orang yang trah wadahnya kecil. Dari segi budaya, mereka “menikmati kemiskinannya itu”. Suka menghibur diri seperti: “luwih becik mikul dawet kanti rengeng-rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging mbrebes mili”; atau menyatakan “donyo kuwi nerakane wong Islam, surgane wong kafir”. Suatu penyikapan yang berbeda dengan kaum pemenang (Yoga Setyawan, 2015).
Faktor Kultural
Faktor kultural (budaya) memiliki andil yang relatif seimbang dengan faktor struktural sebagai penyebab kemiskinan di Indonesia. Kajian tentang budaya kemiskinan menjadi penting dilakukan mengingat program anti kemiskinan akan lebih efektif digulirkan jika sejalan dengan budaya yang eksis di masyarakat melalui pendayagunaan potensi, sumberdaya dan budaya lokal (Royat, 2007).
Ada keterkaitan antara aspek kultur dan struktur pada terjadinya kemiskinan. Seperti yang dikemukakan Mubyarto (2005), bahwa karena persistensi kemiskinan struktur itu, kultur kemiskinan terlahirkan. Ditambahkan Satria (2009b) terjadinya kemiskinan melibatkan dua aspek tersebut, yaitu aspek kultural dan aspek struktur, salah satu atau keduanya bisa saja menjadi penyebab kemiskinan dalam modernisasi.
Dari perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat lainnya, seperti petani, buruh di kota atau masyarakat di daratan tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial, bahwa masyarakat nelayan memiliki pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan ini menjadi kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam kehidupan sehari-harinya (Satria, 2004).
Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Di tingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut (Rahmatullah, 2013).
Masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan pilihan sikap yang berasal dari state of mind (pola pikir dan sikap mental) yang tak mampu berjalan beriringan dengan semangat perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan. Kajian antropologi pembangunan memunculkan sebuah ungkapan: “poverty is a state of willingness rather than scarcity” (kemiskinan lebih pada masalah kemauan daripada kelangkaan sumber daya) (Arifin, 2020).
Menurut DJ Pamoedji (Husain, 2006), seorang wartawan senior yang puluhan tahun berkecimpung di pelabuhan dan nelayan, mengatakan, nelayan memiliki tradisi berfoya-foya karena mungkin menjadi sarana melepas tekanan kehidupan di laut. Sebaliknya, mekanisme hidup yang ada hanya menjerat mereka pada kesenangan sesaat dan selalu tergantung pada utang. Jeratan utang seumur hidup akan menjerat para nelayan meski hasil melaut yang mereka dapat bertambah. Otomatis pengeluaran mereka selalu bertambah karena kebiasaan tidak mampu mengelola uang dan menabung. Warung minuman keras dan tempat hiburan malam bisa dipastikan hadir di setiap perkampungan nelayan. Selesai melaut uang biasanya habis di tempat hiburan. Untuk menyambung hidup selalu berutang pada tengkulak.
Tidak Dapat Dihitung dengan Angka-Angka
Dari dimensi sosial budaya, kemiskinan memang tidak dapat dihitung dengan angka-angka, namun muncul dalam bentuk budaya kemiskinan. Lewis (Ancok, 1995) misalnya, menyatakan adanya respon tertentu yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam menyikapi hidup, seperti boros dalam membelanjakan uang, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, dan apatis. Walaupun tidak seluruhnya benar, kondisi yang demikian itu juga dialami oleh masyarakat nelayan. Kecenderungan untuk membeli barang-barang konsumtif pada saat banyak ikan hasil tangkapan yang diperoleh paling tidak telah mendukung kebenaran tesis yang dikemukakan oleh Lewis tersebut. Kecenderungan semacam itulah yang oleh sementara pihak dipandang sebagai sikap boros, karena tidak menyimpan kelebihan uangnya untuk tabungan yang bisa digunakan pada saat musim paceklik.
Lewis memahami budaya kemiskinan sebagai suatu sub-kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi.
Kemiskinan terefleksikan dalam budaya kemiskinan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penghapusan physical poverty (kemiskinan yang kasat mata: sandang, pangan, papan, sarana dan prasarana lingkungan, dan lain-lain) tidak secara otomatis akan menghapuskan culture of poverty (budaya kemiskinan: sikap mental, etos kerja, tingkat pendidikan, dan lain-lain). Budaya kemiskinan yang terwariskan secara turun-temurun antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas. Itu berarti menghambat kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa depan (Arifin, 2020).
Perilaku yang mencirikan budaya kemiskinan ini dijalankan secara turun-temurun antar generasi, sehingga menghambat suatu kelompok dalam mayarakat tertentu untuk keluar dari garis kemiskinan.
Budaya miskin merupakan cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan kemiskinan biasanya tumbuh berkembang pada masyarakat yang memiliki kondisi seperti: (1) sistem ekonomi uang, buruh upahan, dan sistem produksi untuk keuntungan. (2) Tetap tingginya tingkat pengangguran bagi tenaga kerja terampil. (3) Rendahnya upah buruh. (4) Lumpuhnya upaya peningkatan organisasi sosial, ekonomi, politik secara sukarela maupun formal pemerintahan. (5) Bilateral menjadi sistem keluarga bukan unilateral. (6) Kuatnya nilai-nilai kelas penguasa pada penumpukan harta, bagi keluarga dengan status ekonomi rendah dipercaya memang hasil ketidaksanggupan pribadi (Parsudi dalam Handoyo, 2014).
Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
Variabel Penyebab
Henslin (2006) menyatakan bahwa beberapa orang berpandangan bahwa orang miskin cenderung terjebak dalam suatu kebudayaan kemiskinan (culture of poverty).
Kemiskinan kultural sebagaimana dijelaskan Nikijuluw (2001) adalah sebagai kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan.
Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan. Umumnya pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous) sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial ekonomi masyarakat dan keluarga (Nikijuluw, 2001).
Penyebab kemiskinan secara kultural dapat ditemu kenali dari sifat individu, keluarga, dan lingkungan. Menurut Bradshaw (2006) kelemahan individu dan sistem budaya yang mendukung sub-kultur kemiskinan menjadi beberapa penyebab dari terjadinya kemiskinan. Kelemahan individu tersebut diterjemahkan oleh Feagin (Lepianka, et al, 2009) sebagai kelemahan individu dalam bertanggungjawab atas dirinya sendiri, seperti kurangnya penghematan, kurang berusaha, tidak bermoral, dan kemalasan.
Menurut Bradshaw (2006), penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh diskriminasi sosial, ekonomi, dan politik, serta kesenjangan geografis. Bentuk diskriminasi dapat berupa ketidaksetaraan pendapatan, ketidaksetaraan gender, dan ras. Diskriminasi seperti ini dapat menyebabkan budaya kemiskinan.
Kemiskinan menurut perspektif kultural lebih menekankan pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sebagai penyebab dari tingkah laku manusia yang resistence terhadap pembangunan (Agustang dalam Santoso, 2017). Sehingga kemiskinan merupakan permasalahan yang multidimensional menyangkut permasalahan sosial, budaya dan politik. Sehingga dengan begitu kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi (material well-being), namun juga menyangkut kesejahteraan sosial (social well-being).
Menurut World Bank (2012) poverty is a state of willingness rather than scarcity, di mana melihat kemiskinan bukanlah nasib dari seseorang namun budaya miskin dipengaruhi oleh tingkah atau perilaku seseorang itu sendiri. Sehingga dalam hal kemiskinan yang menjadi hambatan bukanlah kelangkaan namun keinginan untuk berubah dan mencapai kesejahteraan itu sendiri. Mereka yang menganggap dirinya miskin enggan mengubah nasibnya, terkait dengan gaya hidup, mental serta keengganan untuk mengambil resiko dalam melakukan perubahan.
Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis : individual, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality seperti sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap daripada sebagai subjek yang perlu diberi peluang untuk berkembang (Usman, 2004).
Tanda-tanda Kebudayaan Kemiskinan
Ada tujuhpuluh sifat karakteristik kebudayaan kemiskinan. Salah satu sifat prinsipil yang memiliki empat aspek yaitu sistem hubungan antara subkultur dengan masyarakat yang lebih luas; sifat kemasyarakatan kaum jembel; sifat keluarga; dan sikap-sikap, nilai-nilai, dan karakter-karakter individual. Dalam kebudayaan kemiskinan, orang-orang miskin tidak mempunyai respek dan tidak terintegrasikan dengan lembaga-lembaga utama yang ada dalam masyarakat. Kebudayaan kemiskinan mencerminkan efek gabungan dari berbagai faktor termasuk kemiskinan, segregasi, diskriminasi, kekalutan, kecurigaan, dan apatis serta terbentuknya lembaga-lembaga dan prosedur-prosedur alternatif di dalam masyarakat kaum jembel (Ala, 1981).
Beberapa karakteristik kebudayaan kemiskinan seperti (1) partisipasi dan integrasi kaum miskin sangat rendah terhadap lembaga-lembaga/pranata masyarakat pada umumnya. Seperti Bank, Museum, Mall, Supermarket, Hypermart, Tempat Wisata serta Rumah Sakit. (2) Secara fisik kebudayaan kemiskinan mudah diperhatikan pada kondisi rumah keluarga/kelompok masyarakat (komunitas lokal), ditandai dengan rumah bobrok, bergerombol, penuh sesak dan berjubel. Inilah kemudian menjadi indikasi wilayah-wilayah slum perkotaan. (3) Pada tingkat keluarga ditandai dengan singkatnya masa kanak-kanak, sehingga usia dini telah ditanamkan nilai-nilai dan usaha-usaha mengais kerja. Salah satu contohnya adalah anak jalanan, anak kecil pemulung, dan anak kecil pengamen. Pada tingkat individu ditandai dengan tingginya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan dan rendah diri (Parsudi dalamWahyudi dan Pambudi Handoyo, 2014).
Ciri-ciri kebudayaan kemiskinan menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi, (5) perasaan ketidakberdayaan atau ketidakmampuan, (6) perasaan untuk selalu gagal, (7) perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan (9) tingkat kompromis yang menyedihkan.
Oscar Lewis mengemukakan ciri-ciri budaya kemiskinan itu sebagai berikut: 1) tingkat moralitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah; 2) tingkat pendidikan yang rendah; 3) partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial seperti organisasi buruh, politik, dan lain-lain; 4) tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya; 5) sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota seperti toko, museum atau bank; 6) upah yang rendah dan keamanan kerja yang rendah; 7) tingkat keamanan kerja yang rendah; 8) tingkat keterampilan yang rendah; 9) tidak memiliki tabungan atau kredit; 10) tidak memiliki persediaan makanan dalam rumah untuk hari esok; 11) kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi; 12) sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukulan anak-anak; 13) perkawinan mereka sering berdasarkan konsensus sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak; 14) keluarga bertumpu pada ibu; 15) kehidupan keluarga adalah otoriter; 16) penyerahan diri pada nasib atau fatalis; dan 17) besarnya hipermakuality complex di kalangan pria dan martry complex di kalangan kaum wanita (Arguby dan Usman, 2019).
Pembebasan Jerat Budaya Kemiskinan
Rangkaian usaha pembebasan jerat budaya kemiskinan dapat dilakukan dengan menilik penyebab-penyebab terjadinya budaya kemiskinan. Strategi yang dapat ditempuh dalam upaya memutuskan mata rantai budaya kemiskinan yaitu: secara kultural melakukan perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Penduduk miskin cederung bersikap menerima dan menganggap kemiskinan sebagai nasib serta sikap masa bodoh, pasrah, dan tidak ada gairah untuk mengubah nasib mereka. Dilahirkan dalam kemiskinan merupakan takdir seseorang. Mereka menganggap bahwa sebelum roh ditiupkan, telah ditentukan tiga hal dan termasuk di dalamnya adalah harta, sehingga jika saat ini mereka berada dalam kemiskinan, itu memang sudah kehendak-Nya.
Salah satu tantangan paling berat dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah mengubah budaya masyarakat yang lekat dengan kemiskinan, atau Oscar Lewis menyebutnya sebagai culture of poverty (budaya kemiskinan). Lewis memberi penegasan tentang budaya kemiskinan (Suparlan, 1984): “Lebih mudah menghapuskan kemiskinan daripada budaya kemiskinan.” Menurut Lewis, culture of poverty bisa dimaknai sebagai suatu sub-kebudayaan hasil adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di mana kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut mencerminkan upaya mengatasi keputusasaan dari keinginan untuk sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Ia berpandangan bahwa kemiskinan bukan hanya masalah kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau kelangkaan sumber daya, melainkan muncul sebagai sikap mental yang kurang mampu mengikuti perubahan (Palikhah, 2016).
Wajah kemiskinan yang multidimensional memerlukan pendekatan yang seimbang antara ekonomi dan non ekonomi. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun perlu juga mengatasi kemiskinan dari faktor non-ekonomi. Strategi pengentasan kemiskinan perlu diarahkan pada mengikis nilai-nilai budaya yang negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, merasa tidak berdaya, dan lain-lain (Huraerah, 2005).
Oscar Lewis dalam studi kemiskinan di daerah miskin kota (slum area) San Juan Mexico dan Newyork USA beberapa puluh tahun yang lalu, dengan sampel keluarga Puerto Rico yang berhubungan famili, menemukan teori yang dikenal sebagai “Culture of Poverty” (budaya kemiskinan). Teori ini mengetengahkan bahwa budaya kemiskinan itu lebih berbahaya dari kemiskinan itu sendiri.
Kemiskinan adalah sebuah kondisi serba kekurangan. Namun, budaya kemiskinan adalah jiwa yang kalah. Lewis menyebutnya “has strong feeling of fatalism, helplessness, dependence and inferiority”. Orang-orang miskin ini kesadarannya hancur sejak semasa kanak-kanak dan tumbuh dewasa menyadari bahwa kemiskinan itu memang sudah takdir mereka. Mereka hidup untuk menjadi miskin dan meneruskan siklus kemiskinan pada generasi mereka (Arguby dan Usman, 2019).
Pikiran Lewis ini melengkapi para kaum strukturalis yang selalu melihat kemiskinan dapat dipecahkan melalui reformasi struktural, yakni meningkatkan penghasilan dan kepemilikan asset orang miskin. Namun, ternyata mental orang-orang miskin merupakan persoalan besar juga yang harus ditangani.
Di antara strategi menghilangkan budaya kemiskinan menurut Lewis, antara lain, bisa dilakukan jika pengintegrasian kaum miskin pada sistem sosial yang bermartabat dan diupayakan terus-menerus. Sehingga keberartian diri dan spirit pembebasan pada diri orang miskin terjadi. Sebaliknya, jika orang miskin diperlemah dengan pengasingan (alienasi) dari sistem sosial yang lebih besar atau didiskriminasi, maka mereka semakin susah keluar dari kemiskinan itu. Pemberian sembako sebagai suap pada pemilihan presiden, kepala daerah, pemilihan legislatif, pemilihan kepala desa, adalah contoh buruk tersebut (Arguby dan Usman, 2019).
Kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan didoktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Untuk menghilangkan budaya kemiskinan orang-orang miskin perlu bersatu dalam suatu organisasi. Lewis (Arifin, 2020) menulis dalam buku The Study of Slum Culture – Backgrounds for La Vida seperti berikut: “Any movement – be it religious, pacifist, or revolutionary – that organizes and gives hope to the poor and effectively promotes solidarity and a sense of identification with larger groups, destroys the psychological and social core of the culture of proverty”. (Setiap gerakan baik itu gerakan bersifat religius, pasifis, ataupun revolusioner yang mengorganisasikan dan memberikan harapan bagi si miskin dan secara efektif mempromosikan solidaritas dan perasaan identitas yang sama dengan kelompok masyarakat yang lebih luas, akan menghancurkan (masalah) psikologis dan sosial utama (yang merupakan ciri) dari budaya kemiskinan).
Dalam kajian kultural menunjukkan bahwa golongan miskin itu menjadi miskin karena mereka memang miskin. Anak-anak makan tak layak, menerima pendidikan yang minim, dan menerima anggapan keluarga atau teman sejawat bahwa kemiskinan itu sebagai suatu keniscayaan.
Semoga !!!