Ada hal yang selalu menggelitik dalam perdebatan tentang peran wanita dalam dunia publik, terutama soal kepemimpinan. Di sini, bukan hanya soal bagaimana sejarah memperlakukan perempuan, tapi bagaimana agama, dalam hal ini Islam, menempatkan mereka dalam lingkup sosial. Selalu ada dua sisi yang saling tarik-menarik: yang satu mengangkat kebebasan dan kesetaraan, yang lain menyoroti batasan dan kodrat.
Islam, agama yang sering dituduh patriarkal, justru sangat menghormati wanita—tapi dalam batas-batas yang jelas. Kita tahu, Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita tak akan beruntung. Kata-kata ini sering dipakai sebagai pedoman untuk menolak gagasan wanita sebagai pemimpin. Tapi, adakah ini soal ketidakadilan atau justru perlindungan?
Mari kita telusuri lebih jauh. Masyarakat modern dengan lantang menyerukan kesetaraan gender. Dalam spektrum ini, setiap manusia, baik pria maupun wanita, dianggap mampu mengemban peran apapun yang mereka inginkan. Pemikiran ini menarik, bahkan membebaskan. Namun, dalam kebebasan ini, seringkali kita lupa, bahwa beban kepemimpinan bukan sekadar soal bisa atau tidak bisa, melainkan soal tanggung jawab yang sangat berat. Dunia politik dan pemerintahan bukan hanya tentang visi besar, tetapi juga konflik yang tak berkesudahan, keputusan-keputusan sulit, dan tekanan yang luar biasa. Apakah dengan menempatkan wanita di kursi kepemimpinan kita benar-benar memberdayakan mereka, atau justru menjerumuskan ke dalam pusaran yang tak sesuai dengan kodratnya?
Wanita, dalam perspektif Islam, memiliki peran yang lebih mulia dari sekadar memimpin negara. Mereka adalah pendidik, penjaga moralitas, dan penopang kehidupan keluarga. Peran ini bukanlah bentuk pembatasan, melainkan cara Islam mengagungkan wanita dengan memberi mereka tanggung jawab yang lebih berharga dan lebih abadi. Kepemimpinan dalam rumah tangga, membentuk generasi, dan mendidik moralitas adalah tugas yang tak kalah berat dari memimpin negara—bahkan mungkin lebih penting.
Namun, yang menarik, pertanyaan soal kepemimpinan wanita selalu datang dari perspektif luar: mengapa wanita tidak bisa? Mengapa pria lebih berhak? Bukankah ada wanita-wanita hebat dalam sejarah yang memimpin dengan bijak? Kita bisa mengutip Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW, atau Aisyah yang sering menjadi rujukan dalam ilmu hadits. Tapi di sinilah letak perbedaannya. Kepemimpinan mereka tak diukur dari kekuasaan politik, melainkan dari hikmah dan kebijaksanaan yang mereka bawa dalam kehidupan sehari-hari.
Dunia modern mungkin menawarkan panggung yang gemerlap bagi wanita untuk memimpin. Namun, Islam mengajak kita untuk berpikir lebih dalam: apakah semua panggung itu layak untuk kita kejar? Mungkin kita harus lebih bijak dalam memilih medan pertempuran. Kadang, kemenangan sejati bukan berada di podium tertinggi, tapi justru dalam ketenangan di balik layar, dalam doa-doa yang lirih, dan dalam kasih sayang yang tulus.
Dan begitulah, kepemimpinan wanita dalam Islam bukan soal penolakan, melainkan soal menempatkan mereka di posisi yang paling mulia, yang paling seimbang, sesuai dengan fitrah mereka. Tapi, fitrah itu sendiri seringkali menjadi sesuatu yang kita abaikan dalam hiruk-pikuk dunia modern yang terus mendesak kita untuk melupakan apa yang sebenarnya penting.