INIPASTI.COM – Mendengar tekad teguh Datu Museng, kakek Adearangang tafakkur berpikir dalam-dalam. Hati-tuanya menyala kembali. Rasa pati bangkit untuk mengabdi pada sang cucu, ingin membantu sekuatnya dengan nyawa dan badan dipertanggungkan. Ia sadar, cucunya berkeras ingin memetik kembang larangan yang dijaga kuat. Hendak dipetik secara resmi, susah sungguh dan terasa amat rumit. Sebab Maipa Deapati berdarah bangsawan, turunan Sultan yang memerintah. Akan halnya Datu Museng; hanya separuh turunan bangsawan. Darahnya tidak murni, sehingga tak pantas duduk bersanding menurut ukuran adat. Karena itu buncahlah pikiran sang kakek. Tapi pembawaan Adearangang persis sama dengan Datu Museng. Kakek dan cucu ini hanya berbeda dalam usia, tapi tidak dalam hal-hal yang menyangkut kejantanan. Perasaan ragu-ragu segera sirna, dihapus teka hati hendak mengabulkan harapan cucu satu-satunya yang amat dimanjakannya.
Baca juga: Datu Museng dan Maipa Deapati (4)
Orang tua itu lalu berdiri dan menepuk pundak cucunya yang sedang termenung melontar pandang lewat jendela. Datu Museng sedikit terkejut dari lamunnya, lalu menoleh dan menatap penuh harap. Sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan, kakek Adearangang tersenyum lembut sambil berkata: “Datu…, Maipa Deapati bukan sembarang kembang. Memetiknya amat susah, tidak gampang. Di sekitarnya penuh onak-duri yang siap menusuk siapa yang coba-coba memetiknya. Tetapi jika hatimu membaja, yakinlah kau akan bisa memperolehnya. Hanya kau harus berjuang keras dan membekal kesabaran dalam menantang risiko dalam mengarungi laut menghadang maut mara bahaya. Kau harus berguru ke Mekka, negeri suci tempat lahir nabi akhir zaman, Muhammad Sallahlahu alaihiwassallam. Kau mesti berguru pada tuan syekh di Mekka dan Medina. Cari dan petik “Bunga Ejana Madina” (Kembang merah Medina). Jika berhasil memetiknya, percayalah cita-citamu akan terkabul. Maipa Deapati akan dapat kau miliki. Semua perintang, onak-duri, tanjakan tajam, apalagi kerikil, dengan mudah kau lindas dan lewati. Sungguh, cucuku.”
Tutur kakeknya yang mengandung dorongan dan harapan ini membuat Datu Museng girang alang-kepalang dan tersenyum-senyum. Mata yang pudar bersinar kembali, wajah yang pucat bercahaya lagi. Dada bergolak menjadi tenang dan jiwa pun girang bagai semula.
Dengan suara pasti Datu Museng berkata: “Hanya ke Mekka dan Medina, kek? Cuma mengarungi laut berombakkan air, menjelajah Sahara berpadangkan pasir? Tak usah kuatir. Ke laut api sekalipun aku akan pergi, demi mendapatkan mutiara hidupku. Aku akan pergi menghadang laut marabahaya, akan melintasi lautan berombak setinggi rumah. Aku akan menjelajahi padang pasir yang terik membara membakar jagat. Keras hatiku, kek. Kuat tebal keyakinanku. Maipa…, Maipaku terbayang di ruang mata, senyumnya bersemayam dalam jiwaku selalu. Aku akan pergi, pasti…!”
“Jika keyakinanmu telah bulat, kemauan sudah keras membaja dan tekad telah membungkah, akan kusuruh buatkan bahtera kenaikanmu ke Mekka mencari “Bunga Ejana Madina”. Sabarlah, cucuku!” jawab kakeknya sambil tersenyum-senyum pula.