INIPASTI.COM – Pendek kata, tak ada yang bosan. Semua ingin memandang sepuas- puasnya. Lirikan matanya sungguh membawa rakhmat pendingin hati. penawar duka gunda-gulana. Tak ada mata muda yang lepas memandang. Rugi rasanya jika pandangan terlepas biar sekejap. Banyak yang tegak lupa diri. Ada yang heran melongo, ada yang takjub memandang, merasa bahagia melihat keindahan yang nyata di hadapannya. Tak kurang yang memuji Tuhan menyaksikan bentukan karunia semesta alam itu. Ya, beraneka lagak dan tingkah manusia ini melihat keindahan dan kecantikan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Iringan-rombongan Datu Museng berjalan terus, diantar anak-dara, diapit beriring laksana bulan dipagari bintang-bintang. Di belakang iringan ini berbaris pula tukang gendang, pui-pui, gong dan bunyi-bunyian lain. Namun sebanyak pengikut iringan ini, cuma satu yang menjadi titik perhatian penuju mata para penduduk, yaitu Maipa Deapati beserta suaminya.
Sudah jauh iringan berlalu, tapi masih banyak insan lupa diri bahwa yang dihajati untuk dipandang sudah pergi. Tidak pula kurang yang terus membuntuti karena ingin memandang sepuas-puasnya, sehingga menambah jumlah rombongan iringan ini. Jika ada negeri yang miring, maka Makassarlah negeri itu, akibat berat sebelah penghuninya.
Disebabkan ramai dan banyak manusia, tak terasa iringan telah sampai di depan pekarangan rumah-gedang Datu Museng yang sudah tersedia, tinggal dihuni di kampung Galesong.
Iringan sudah lama sampai di tempat tujuan. Maipa Deapati dan suaminya sudah hilang di balik kamar melepaskan lelah, sedang pengiring telah mencari tempat beristirahat, tetapi di luar pekarangan khalayak masih berjejal menunggu. Mereka nampaknya masih ingin melihat sekali, atau entah berapakali lagi wajah Datu Museng, terlebih-lebih putri Maipa yang menurut anggapan mereka, jauh lebih molek dari gambaran ceritera yang tersebar jauh sebelumnya.
TUMALOMPOA DAN JURUBAHASA
Makassar ketika itu dikuasai dan diperintah Belanda. Sebenarnya Makassar tempat benteng Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang terkenal dengan Julukan “Ayam jago dari timur”, untuk mempertahankan Gowa dari serbuan musuh-musuhnya. Tetapi dengan adanya “Perjanjian Bungaya”, benteng itu jatuh ke tangan kompeni. Dan di benteng inilah orang-orang Belanda menjalankan pemerintahannya untuk menguasai seluruh daratan Makassar.
Bersambung…