INIPASTI.COM – Suro yang patuh itu mendekat dengan berjingkat-jingkat, seakan takut mengganggu tuan-rumah. Ketika melihat suro itu duduk agak jauh, Datu Museng menegur sambil menepuk-nepuk tilam permadani di sampingnya.
“Suro…, dekat-dekatlah di sini !” sapanya.
Daeng Jarre yang duduk merunduk, mengingsutkan pantatnya untuk mendekat. Ia kemudian menegakkan kepala untuk mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah yang demikian ramah menyambutnya. Akan tetapi didorong desakan nalurinya untuk melihat sepintas saja wajah putri Maipa Deapati yang konon kabarnya amat cantik itu, pandangannya dialihkan sekilas ke arah sang putri yang duduk tak jauh dari suaminya. Kebetulan pula, Maipa Deapati sedang memandang kepadanya. Terjadilah hal yang luar biasa. Mata Daeng Jarre yang direncanakan hanya akan memandang sepintas itu, ternyata terpaku pada wajah sang puteri. Ia seperti lupa diri, mulutnya berubah biru lembayung. Ia tak ingat lagi sedang diajak bicara oleh Datu Museng. Suro ini melongo takjub. Tak disangkanya akan melihat kilatan mata yang bersinar laksana akan menembusi jantung, melumpuhkan segala ingatan den kekuatan. Dan beberapa saat kemudian, Daeng Jarre Daenta Daeng Jumpandang tiba-tiba miring ke kanan disusul tubuhnya yang gempal itu berdebam ke lantai, jatuh tiarap tak sadarkan diri.
Menyaksikan kejadian ini, Datu Museng geleng-geleng kepala yang disambut sekulum senyum oleh Maipa. Ia lalu berdiri mengambil air dan minta isterinya membasahi ujung rambutnya, kemudian diusapkan ke dahi suro malang itu.
Ketika ujung rambut Maipa yang basah itu diusapkan ke muka Daeng Jarre, suro itu membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya lalu tertumbuk pada wajah Datu Museng dan Maipa Deapati yang senyum-senyum Simpul.
Daeng Jarre mulai berpikir, mengembalikan ingatan dan semangat yang hilang, sambil mengejap-ngejapkan mata. Setelah sadar apa yang telah terjadi, ia cepat-cepat bangun, lalu berdiri dan tanpa berkata Sepatah pun, ia berbalik dan angkat kaki meninggalkan suami-isteri itu, seperti sudah kehilangan akal budi yang waras. Tak ingat pamit lagi, tak ada sopan santun, dan maksud yang dituju terlupa sudah.
Langkahnya yang panjang-panjang membuatnya sesaat saja ia sudah melewati pintu rumah, lalu bergegas menuruni tangga tanpa mengucapkan salam hormat pada joa pengawal rumah gedang. Ia menuruni tangga lebih cepat ketika datang beberapa saat berselang.
Bersambung…
Baca juga: Datu Museng dan Maipa Deapati (81)