INIPASTI.COM – Hati Datu Museng serasa hancur berkeping-keping ketika mendengar kata-kata isterinya. Namun ia sadar, tak ada jalan lain. Dicabutnya keris pusaka Matatarampanna, kemudian berkata pilu:
Adindaku sayang
Jangan gentar menentang maut
Ragu bimbang pada mati
Nanti sesal hidup di akhirat
Dunia tertawa kian menjadi Dengan tersenyum Maipa menyambut, katanya:
Kanda buah hati sayang
Tidak kugentar jiwa melayang
Ragu bimbang pada mati
Sebab perahu sudah kunaiki
Sudah berputar kemudi di tangan
Kuingin segera mengambil haluan
Menuju maksud tempat tujuan
Datu Museng kemudian berkata lagi: “Pergilah adinda, tunggulah kanda di tanah seberang, di alam indah permai di surga firdausi. Tunggu aku di waktu lahor. Jika kanda belum datang, nantikan di waktu asar. Apabila aku belum juga tiba, naikanlah pada waktu magrib, ketika matahari sedang barsiap-siap masuk ke peraduannya. Di waktu itulah kanda pasti datang menjemput, den kita bergandengan tangan beriring bersama diapit dielu-elukan oleh bidadari, berjalan di atas kursi keemasan bertatah intan baiduri. Ya, di sanalah kita hidup kekal abadi, tak ada lagi yang mengantarai kita berdua, tak ada lagi tangan akan mengusik kebahagiaan kita. Tak ada lagi Kebathilan datang menyiksa”.
Dengan mengucap nama Tuhan, sambil mata dipejamkan, Datu Museng menggerakkan keris terhunus itu menyembelih leher isterinya, dan beberapa detik kemudian, tibalah Maipa Deapati, isteri kesayangannya ke alam baqa dengan tenang. Ia menyeberang ke alam impian yang menjadi tujuan hakiki mereka, dimana cinta dan kasih sayang akan bertemu kekal abadi.
Kini, ia duduk merunduk terharu. Ada sesuatu rase yang mendamba dadanya keras sekali, yang tak dapat ditanggungnya. Tiba-tiba saja, untuk pertama kali selama ia dewasa, air matanya mengalir. Kemudian, sesuatu bentuk nada datang mengiang di telinganya. Nada yang belum pernah didengarnya. Begitu sentimentil, perpaduan antara nada-nada haru dan keriangan. Nada itu datang menggelombang, meninggi laksana lengkingan biola yang menyayat hati, merendah bergetar bertalu-talu. Kemudian, laksana ada beratus suara perempuan yang menyanyi sayup-sayup sampai dan berangsur-angsur pudar, lalu menghilang samasekali dan keheningan datang mencekam.
Datu Museng kini sadar dari resa harunya. Ia berdiri dan masuk kamar belakang. Sesaat kemudian datang lagi membawa air, lalu duduk di samping mayat isterinya. Dibersihkannya tubuh Maipa, kemudian didudukkan di kursi, leher dibebat kain marah, agar tak kentara bekas lukanya.
Bersambung…