Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Seseorang etnosentris tidak dapat menerima perbedaan budaya, tidak mengakui bahwa setiap budaya memiliki keunikan masing-masing. Hal ini akan sangat menghambat proses komunikasi antarbudaya dalam masyarakat yang multikultural. Komunikasi antarbudaya terjadi saat faktor keanggotaan kelompok budaya mempengaruhi proses komunikasi, baik sadar maupun tidak. Artinya individu yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut bisa jadi tidak sadar terhadap perbedaan budaya.
Dalam masyarakat multikultural yang terdiri dari kelompok masyarakat multi ras dan multi etnik ditemui beberapa variasi bahasa dalam komunikasi antarbudaya yaitu variasi sistemik, variasi ekstrasistemik, dialek, aksen, jargon, argot, heterogenitas dan homogenitas, bilingual atau multilingual, campur kode dan alih kode serta interfensi bahasa. Faktor yang dapat menjadi penghambat komunikasi antarbudaya dalam masyarakat multikultural dipengaruhi oleh : etnosentrisme, stereotip, prasangka, dan relasi (Julijanti, 2010).
Rasa etnosentrisme, stereotip dan prasangka menjadi gangguan yang sangat tinggi dalam proses komunikasi antarbudaya itu sendiri, sementara feedback atau destination dari proses komunikasi antarbudaya tersebut adalah konflik. Hal ini tidaklah lepas dari etnosentrisme yakni kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam kultur sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar daripada dalam kultur lain (Mayopu, 2011).
Memahami secara jelas dan komprehensif berbagai hambatan maupun rintangan dalam komunikasi antarbudaya adalah jembatan ke arah perwujudan komunikasi antarbudaya yang efektif (Raharjo, 2005). Untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif ada beberapa hal yang harus diperhatikan. (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; (2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang dikehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain (Schraman dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001). Kunci komunikasi yang efektif antarbudaya adalah pengetahuan. Hal utama yaitu penting bahwa orang-orang memahami permasalahan yang potensial dari komunikasi antarbudaya, dan membuat suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasi permasalahan ini. Dan yang kedua adalah penting untuk berasumsi bahwa sebuah usaha tidak akan selalu sukses, dan melakukan penyesuaian terhadap usaha tersebut dengan perilaku yang sewajarnya.
Sebuah Gunung Es
Hambatan komunikasi dalam komunikasi antarbudaya mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai, dan grup cabang (Rahmat, 2009). Hambatan komunikasi yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan tersebut adalah : fisik (physical-kebutuhan diri), budaya, persepsi, pengalaman, emosi, bahasa dan nonverbal (Chaney, 2002).
Mengingat betapa kuatnya hubungan antara kebudayaan dan komunikasi, Edward T. Hall (Liliweri, 2009) membuat sebuah definisi, sebagai berikut : “Kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan.” Hall sebenarnya mengatakan bahwa hanya manusia berbudaya yang berkomunikasi, dan ketika manusia berkomunikasi dia dipengaruhi oleh kebudayaannya. Manusia menyatakan dan mungkin juga menginterpretasikan kebudayaannnya kepada orang lain, dan sebaliknya, orang lain menginterprestasikan kebudayaannya.
Etnosentrisme
King (2014) menyatakan etnosentrisme merupakan kecenderungan seseorang untuk mendukung kelompok etnisnya sendiri daripada kelompok lain. Etnosentrisme memiliki arti tidak hanya sekadar memiliki kebanggaan pada kelompoknya sendiri, tetapi juga melibatkan pernyataan superioritas kelompok atas kelompok lainnya. sikap etnosentrisme merupakan sikap emosional sekelompok etnik, suku bangsa, agama atau golongan yang merasa etniknya superior daripada etnik lain (Liliweri, 2005).
Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka kepada kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan kita yang pertama dan melahirkan kerangka rujukan yang menolak eksistensi kerangka rujukan yang lain. Pandangan ini adalah posisi mutlak yang menaikan posisi yang lain dari tempatnya yang layak bagi budaya yang lain (Mulyana dan Rakhmat, 2005).
Menurut Sumner (Ramadhania, 2013) etnosentrisme sebagai suatu pandangan bahwa: hal-hal yang berasal dari suatu kelompok merupakan pusat segala sesuatu, dan semua yang lain diukur dan dinilai dari referensi kelompoknya, setiap kelompok membangun kesombongan dan kebanggan diri, membanggakan kelompoknya (in-group) paling unggul, meninggikan diri sendiri dan meremehkan kelompok luar (out-group). Sementara itu Taylor, dkk, (2012) mengartikan etnosentrisme adalah keyakinan bahwa kelompok yang diikutinya (in-group) lebih unggul dibandingkan kelompok lain (out-group), hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil penilaian terhadap kelompok lain (out-group) dengan kelompoknya (in-group).
Matsumo (Agustin dan Yoserizal, 2013) mengatakan bahwa etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik atau benar, etnosentrisme adalah suatu tanggapan yang umum terjadi yang ditemukan dalam seluruh masyarakat dalam semua kelompok, etnosentrisme membuat kebudayaan kelompok yang diikuti sebagai landasan untuk mengukur baik buruk, tinggi rendah dan benar salahnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripan dengan sebagian besar kebudaya kelompok kita meskipun tidak semuanya.
Penyebab Etnosentrisme
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya etnosentrisme adalah ketidakmampuan antar anggota kelompok untuk mengakui bahwa perbedaan budaya bukan penanda intrinsik dari inferioritas sosial lain. Etnosentrisme dan relativisme budaya mungkin telah ada sejak nenek moyang manusia pertama membedakan antara “kita” dan “mereka” yang akan terus memiliki peran penting dalam komunitas global.
Selain itu terdapat tiga hal yang dapat mempengaruhi etnosentrisme (Israbaharuddin, 2019). Pertama, prasangka sosial. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atau suatu kelompok atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri. Sikap tersebut dapat dikatakan sebagai sikap yang dapat menghambat efektivitas komunikasi di antara komunikator dan komunikan yang berbeda etnik. Kedua, stereotip. Sebagai sebuah keyakinan terhadap orang atau kelompok lain yang diperoleh dari pengetahuan atau pengalaman, stereotip membuat seseorang memperkirakan perbedaan antar kelompok terlalu tinggi sebagai ciri khas seseorang maupun kelompoknya. Ketiga, jarak sosial. Hal ini menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi di antara mereka. Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu.
Berry, dkk (Suprawanti, 2011) menyebutkan terdapat tiga faktor dalam pembentukan etnosentrisme. Pertama, pewarisan dan perkembangan budaya. Dengan pewarisan budaya suatu etnis dapat mewariskan ciri-ciri perilaku kepada generasi selanjutnya melalui mekanisme belajar dan mengajar. Melalui pewarisan umum orang tua mewariskan nilai, keterampilan, keyakinan dan sebagainya. Pengaruh ini dapat membentuk dan mengarahkan individu menjadi seseorang yang piawai dalam budayanya mencakup bahasa, ritual, nilai-nilai dan lainnya. Hal ini merupakan proses dari mekanisme belajar dan mengajar di mana anak-anak akan diajarkan keluarga dan lingkungannya tentang keyakinan-keyakinan yang dipahami dalam kebudayaannya sehingga mereka baik secara langsung maupun tidak langsung dapat belajar tentang nilai dan norma dalam lingkungan mereka.
Kedua, perilaku sosial. Perilaku sosial juga dapat diartikan sebagai aktivitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau orang lain yang sesuai dengan tuntuan sosial dalam bermasyarakat. Perilaku tersebut berupa perasaan, tindakan, sikap, keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Menurut Hurlock (Nisrima, dkk, 2016) perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sementara itu Ibrahim (Nisrima, dkk, 2016) mengatakan bahwa perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia, artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Perilaku sosial terjadi karena adanya interasi. Interaksi sosial dapat berupa merubah perilaku individu yang kemudian berdampak pada perubahan terhadap masyarakat. Perilaku sosial ditampilkan dari masing-masing budaya berbeda, hal ini bervariasi dari sebuah kebudayaan dan menjadi contoh pengaruh pemindahan budaya pada perilaku sosial. Kebudayaan yang bervariasi secara luas dari satu tempat ke tempat lain memiliki sistem sosial yang berbeda pula, individu menempati posisi yang memungkinkan dirinya berperilaku tertentu sesuai yang diharapkan, yang kemudian disebut sebagai peran. Setiap pemegang peran merupakan objek sanksi-sanksi yang mengandung pengaruh sosial untuk berperilaku berdasarkan norma sosial.
Ketiga, kepribadian. Menurut Allport (Kuntjoyo, 2009) kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan cara yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sementara itu Krech dan Crutchfield (Kuntjoyo, 2009) mendefinisikan kepribadian sebagai integrasi dari semua karakteristik individu ke dalam satu kesatuan yang unik yang menentukan, dan kemudian dimodifikasi oleh usaha-usahanya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah terus-menerus. Alwisol (2009) berpendapat bahwa kepribadian adalah bagian dari jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi satu kesatuan tidak terpecah belah dalam fungsinya. Suryabrata (2014) menyebutkan tentang tipe kepribadian terkait introvert dan ekstrovert. Individu dengan tipe introvert lebih menutup diri, tidak mudah bergabung dengan orang lain, kurang dapat berinteraksi dengan orang di luar yang berbeda dengan dirinya dan kurang nyaman bila bersama dengan orang lain. Sementara itu individu dengan tipe ekstrovert lebih dapat membuka diri dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial baik di dalam maupun di luar lingkungan pribadinya.
Ketiga faktor di atas merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan etnosentrisme. Etnosentrisme terbentuk melalui beberapa proses di mana individu melakukan komunikasi secara efektif dengan individu lainnya. Komunikasi merupakan media bagi individu untuk menyampaikan informasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi antar individu atau individu dengan kelompok disebut sebagai komunikasi sosial. Komunikasi sosial terbentuk melalui proses interaksi. Interaksi merupakan hubungan timbal balik atau hubungan yang saling mempengaruhi antar individu dengan individu lainnya atau individu dengan kelompok. Dalam proses berinteraksi terdapat perilaku sosial, perilaku sosial adalah bagaimana individu menampilkan dirinya di dalam masyarakat. Perilaku sosial merupakan cerminan dan pembentukan lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial lainnya. Perilaku sosial dapat ditunjukan melalui perasaan, tindakan, sikap dan keyakinan terhadap orang lain. Adanya perasaan dan sikap yang sama antar individu ini membentuk sebuah tujuan bersama yang kemudian akan dimunculkan dalam bentuk tindakan. Persamaan tujuan yang dimiliki oleh individu satu dengan individu yang lain akan membentuk suatu sistem untuk menjalankan sebuah fungsi tertentu dalam sebuah kelompok. Kelompok sosial terdiri atas individu yang masing-masing individu memiliki sikap atau pandangan dan kemampuan, kepribadian yang khas yang kemudian dilebur di dalam kelompok sosialnya (in-group). Kemampuan yang dimiliki oleh kelompok merupakan ciri atau pembeda antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.
Dampak Etnosentrisme
Sikap etnosentrisme yang ada dalam diri setiap individu dapat muncul karena kurangnya pengetahuan, pengalaman serta komunikasi yang terjadi antar individu yang berbeda etnis satu dengan yang lainnya. Pengalaman dan pengetahuan ini berbentuk seperti jati diri etnis, norma dari kultur setiap etnis dan beraneka ragam bahasa yang ada pada setiap etnis serta lingkungan sosial berupa pergaulan antar individu yang berbeda etnis.
Menurut Brown (Luhtitisari, 2023) bahwa sikap etnosentrisme ini memiliki 2 dimensi yang berbeda, yaitu dimensi positif dan negatif. Dimensi positif dari sikap etnosentrisme ini mengandung sebuah arti atau makna mengenai pemberian identitas jati diri setiap individu dalam upaya meningkatkan rasa kebanggaan diri individu terhadap kelompoknya, sedangkan dimensi negatif dalam hal ini ialah individu menganggap rendah kelompok di luar kelompoknya sendiri.
Etnosentrisme ini memiliki dampak negatif serta positif (Liliweri, 2007). Pertama, dampak positif. Etnosentrisme dapat menimbulkan solidaritas kelompok yang sangat kuat. Buktinya adalah hampir setiap individu merasa bahwa kebudayaannya adalah yang paling baik dibanding kebudayaan lain. Lagi pula, etnosentrisme penting sebagai suatu penangkal atas gerak perubahan untuk mengawetkan status. Sepanjang masa berlangsungnya peperangan, etnosentrisme sangat dibutuhkan yaitu untuk meningkatkan semangat, untuk lebih meningkatkan kepercayaan semua anggota masyarakat bahwa sistem-sistem sosial, nilai-nilai, kepercayaan, dan tradisi-tradisi mereka adalah yang paling bagus dan lebih baik dari musuh mereka. Memang perlu juga menakut-nakuti mereka mengenai sistem pemerintahan dan nilai-nilai masyarakat yang sedang menyerbu sebagai musuh bebuyutan. Dengan cara begini etnosentrisme yang tinggi jelas akan menghasilkan patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.
Kedua, dampak negatif. Bila suatu suku bangsa menganggap suku bangsa lain lebih rendah, maka akan menimbulkan konflik yang bisa menjerumus ke dalam kasus sara. Selain itu dampak negatif yang lebih merugikan dari etnosentrisme terhadap masyarakat, yang paling sering terjadi adalah terhambatnya perubahan-perubahan di dalam masyarakat yang akan memberikan akibat-akibat positif bagi para anggota masyarakat. Hal ini disebabkan karena ide- ide dari luar selalu dicurigai atau dianggap salah maka persoalan masyarakat yang seharusnya mudah dipecahkan menjadi sulit untuk diselesaikan.
Dalam bentuk ekstrem seperti itu jelas etnosentrisme akan menjerumuskan mereka dengan menolak mentah-mentah suatu kebijakan dan pengetahuan kebudayaan orang lain, bahkan mereka membangun suatu tembok pemisah yang membendung dan mencegah adanya peningkatan pertukaran kebudayaaan. Dampak negatif yang lebih luas dari etnosentrisme adalah mengurangi keobjektifan ilmu pengetahuan, menghambat pertukaran budaya, menghambat proses asimilasi kelompok yang berbeda dan yang paling membahayakan memicu timbulnya konflik.
Dampak etnosentrisme yang paling berbahaya adalah hilangnya keberanian untuk menafsirkan tanggapan dan tindakan orang asing secara sewajarnya. Jika kita kehilangan standar kewajaran yang seharusnya bisa digunakan untuk memecahkan masalah dan menjalin kerja sama, hal itu tidak akan mengantarkan kita pada pemahaman yang memadai untuk melompat kesepahaman atau kesepakatan (Samovar, dkk., 2014).
Dampak negatif dari etnosentrisme salah satunya membanggakan budaya sendiri dan melihat rendah budaya lain dapat memicu konflik sesama warga negara. Terlebih jika paham etnosentrisme tersebut tidak hanya melekat pada seorang individu saja. Dengan begitu akan menimbulkan konflik antar masyarakat yang berbeda suku, rasa, agama, dan budaya yang pada akhirnya akan mengancam persatuan Indonesia karena setiap masyarakat hanya membanggakan kebudayaannya masing-masing dan malah memandang rendah budaya lain sehingga lupa akan semboyan negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika (Malihah, et.al, 2020).
Etnosentrisme cenderung mendorong seseorang ke arah kesalahpahaman (misunderstanding) (Neuliep & McCroskey dalam Suroyya, et.al, 2014). Di samping itu etnosentris juga memngurangi level keinginan untuk berkomunikasi dengan budaya lain (Lin dan Rancer dalam Suroyya, et.al, 2014). Kondisi ini membuat pencapaian hasil kerja akan menjadi terhambat.
Pada kenyataanya sikap etnostrisme tidak hanya menimbulkan dampak negatif tetapi menimbulkan dampak positif juga. Dampak positif etnosentrisme di antaranya akan menumbuhkan jiwa patriotisme, hal tersebut karena saat seorang individu berpaham etnosentrisme, secara otomatis dirinya akan memiliki jiwa yang kuat untuk membela identitasnya. Hal ini secara umum disebut dengan istilah patriotisme. Selain itu, etnosentrisme akan meningkatkan kecintaan terhadap budaya sendiri, etnosentrisme dibutuhkan agar tercipta suatu rasa yang utuh saat mengenal hingga memiliki suatu kebudayaan. Dengan sikap etnosentrisme, kebudayaan dapat dipertahankan, sebab kini rentan tergilas oleh proses globalisme serta modernisasi.
Kesadaran Tentang Perbedaan
Etnosentrisme akan berdampak positif jika adanya kesadaran dalam masyarakat tentang perbedaan. Cara lain agar etnosentrisme tidak berdampak negatif yang akan mengancam persatuan Indonesia. Di antaranya menurut Permana (2021): pertama, memahami, mengakui, dan menerima adanya perbedaan. Pahami bahwa setiap orang memiliki perbedaan. Bahkan, dalam satu suku saja masing- masing individu dapat memiliki keyakinan atau kepercayaan yang berbeda. Karena pada dasarnya, manusia menciptakan lingkungan atau budaya sendiri sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan fisik maupun biologis. Dan seiring berjalannya waktu, perubahan-perubahan lain akan terus terjadi karena munculnya penemuan baru, penyebaran kebudayaan, dan penerimaan kebudayaan. Kedua, memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Etnosentrisme mungkin masih dapat dipertahankan, namun dengan batasan tertentu dan dengan pemahaman yang berbeda mengenai sebuah perbedaan. Di satu sisi, etnosentrisme dapat mempererat kekeluargaan dan dapat saling memberikan rasa aman dalam suatu kelompok. Hal Ini merupakan hal yang positif. Namun, apabila konteksnya mulai meluas, perlu adanya pandangan baru akan makna sebuah perbedaan. Perbedaan bukan untuk mengotak-kotakkan, melainkan untuk memberikan warna, suasana, dan hal-hal yang baru. Ketiga, bersikap terbuka. Sikap yang terbuka ini berasal dari pola pikir bahwa setiap orang memiliki pendapat masing-masing dan kita tidak bisa menilai hanya dari persepsi diri sendiri. Selain itu, bersikap terbuka di sini berarti terbuka terhadap kebudayaan daerah lain dan menerima kebudaayan daerah lain selagi itu berdampak positif. Keempat, bangun kerjasama dan komunikasi dengan individu dan budaya lain. Agar etnosentrisme tidak berdampak negatif maka perlu adanya kerjasama dan komunikasi antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya yang berbeda kebudayaan, suku, ras, dan agama. Kelima, yakini perbedaan sebagai alat pemersatu. Keberagaman merupakan hal yang penting, karena dengan keberagaman timbulah persatuan. Tidak mungkin ada persatuan jika tidak ada keberagaman atau perbedaan. Semakin banyaknya keberagaman semakin kuat pula persatuan yang akan timbul.
Semoga !!!