Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Bencana adalah evil, karena ia membunuh siapa pun, tak peduli orang baik atau jahat” (Albert Camus).
Telah lama manusia larut dalam antroposentrisme dan menjadi tolak ukur atas segalanya—homo mensura. Lewat antroposentrisme, yang sekaligus menyuratkan klaim manusia sebagai satu-satunya makhluk hidup yang “berkesadaran” di semesta ini, ia melihat segala sesuatu di luar dirinya yang tak berkesadaran sebagai obyek, dan sekadar sebagai “pelengkap kehidupannya”. Binatang, tumbuhan, dan alam yang dinilai tak berkesadaran, seolah hanya hadir untuk melengkapi kehidupan manusia. Apa yang muncul kemudian tak hanya pola pikir atau tindakan untuk “mengobyekkan”, tetapi juga kesewenang-wenangan manusia terhadap berbagai entitas di luar dirinya (Nugroho dalam Usman, 2024).
Alfred Schutz mengemukakan terdapatnya dunia mikro individu yang berada pada jangkauan individu, di mana ia—individu—bisa melakukan berbagai manipulasi atasnya. Manusia selalu meyakini berhadapan dengan realitas nyata sepanjang ia tak memiliki alasan tepat untuk menyangkalnya, inilah yang disebut sebagai “realitas puncak”. Namun, manakala manusia tak mampu menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut tak sesuai harapannya, maka ia pun akan menolak keberadaaan makna puncak, dan menggantinya dengan “makna khusus”.
Dalam kasus bencana, seringkali manusia tak mampu menerima kenyataan terjadinya bencana, inilah yang kemudian memunculkan beragam makna khusus, dan sekaligus membuktikan eksistensi kesadaran yang bersifat terbagi—kesadaran yang terbagi. Dalam konteks psikologi freudian, kehadiran makna khusus ini sesungguhnya memiripkan bentuknya dengan mekanisme alam bawah sadar penderita neurosis yang memunculkan delusi atau halusinasi untuk menenangkan dirinya, atau “untuk membuat segalanya masuk akal”. Meskipun memang, fenomenologi Schutz tak sampai menyentuh ranah kejiwaan tersebut, pun makna-makna khusus yang hadir di permukaan masih pada ambang batas “normal”, maksudnya, bentuk-bentuk pemaknaan yang meskipun berbeda antara satu individu dengan lainnya, namun tetap bisa diterima (baca: dimaklumi) antarsatu sama lain (Nugroho dalam Usman, 2024).
Bencana selalu menyebabkan kerugian besar menyangkut korban jiwa, kerusakan harta benda, dan timbulnya masalah sosial lainnya, jika tidak diantisipasi secara dini.
Kejadian bencana dari tahun ke tahun tidak menunjukkan penurunan. Bahkan berbagai data menunjukkan terjadinya eskalasi frekuensi dan magnitude kejadian bencana tersebut yang memerlukan perhatian semua pihak. Salah satu isu yang dihadapi dalam penanggulangan bencana adalah tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan tersebut akibat berbagai faktor antara lain kemiskinan, tingkat pendidikan, pengetahuan, kesadaran dan infrastruktur penunjang, dan ketersediaan informasi yang mudah diakses, dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan terkait di Indonesia belum sepenuhnya siap dalam menghadapi bencana. Hal itu mengakibatkan tingginya korban jiwa maupun kerugian material yang ditimbulkan oleh bencana. Upaya pengurangan risiko bencana dikembangkan melalui usaha-usaha peningkatan ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Filosofi Indonesia Tangguh
Filosofi Indonesia Tangguh adalah lahirnya pribadi tangguh, keluarga tangguh, masyarakat tangguh, dan pemerintahan tangguh. Atau adanya tindakan, anticipatif, protectif, adaptif, dan resilient “cepat melenting balik.”
Dalam menyikapi sebuah bencana, ada empat filosofi yang dapat kita anut, yaitu: pertama, menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana (hazard); kedua, menjauhkan bencana dari masyarakat; ketiga hidup harmoni dan bersahabat dengan ancaman; dan keempat menumbuhkembangkan kearifan lokal (Syamsul Maarif, 2012).
Filosofi kedua adalah menjauhkan bencana dari masyarakat melalui upaya pengurangan risiko bencana, yaitu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, pembangunan tanggul untuk sungai yang berpotensi banjir, pembangunan sabo dam di lereng gunung berapi untuk mengurangi dampak lahar maupun lahar dingin, penanaman pohon di sekitar daerah rawan longsor, dan sebagainya. Filosofi ketiga adalah harmoni bersama bahaya atau ancaman (living harmony with risk). Dalam kondisi ini, masyarakat harus mengenal karakter dan sifat-sifat alam. Mengenali sifat-sifat alam ini dimulai dengan memahami proses dinamikanya, waktu kejadiannya dan dampak yang ditimbulkan. Manusia diberi akan dan pikiran untuk bisa mengatasi dan mengadaptasi kondisi alam di sekitarnya.
Filosofi keempat lebih mendorong kearifan lokal dan berbagai upaya kombinasi dua filosofi sebelumnya, yaitu bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan bersahabat dengan ancaman bencana. Dengan demikian, apabila bencana itu terjadi, masyarakat sudah tahu dan paham benar apa yang mesti dilakukan untuk menghindari risiko bencana tersebut. Pengalaman di berbagai negara seperti Jepang (yang hampir setiap saat terjadi gempabumi) dan Vietnam (yang setiap tahun terkena banjir besar dari Sungai Mekong), misalnya, masyarakat di wilayah bencana dapat menerima dan mengatasi risiko bencana tanpa menimbulkan korban yang besar.
Dalam kolom Wacana di Harian Suara Merdeka (Selasa, 22/10/2013) berjudul “Kebijakan Berisiko Bencana”, Sri Mulyadi menuliskan bahwa banyak kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menyimpang dari tiga filosofi penanggulangan bencana: menjauhkan masyarakat dari (ancaman) bencana, menjauhkan (ancaman) bencana dari masyarakat, atau hidup berdampingan secara harmonis dengan (ancaman) bencana. Dampaknya, kebijakan pembangunan tersebut malah mengundang atau mendatangkan bencana.
Paradigma Penanganan Bencana
Selain filosofi bencana, terdapat pula paradigma penanganan bencana.
Dalam perspektif konvensional, bencana sering dianggap sebagai “musibah” yang tak terelakkan dan diterima secara pasrah. Perspektif ini mengedepankan bencana sebagai ”takdir” dan memarjinalkan upaya-upaya proaktif dalam pencegahan serta pengurangan resiko dan dampak akibat bencana.
Paradigma penanggulangan bencana di Indonesia kini sudah berubah. Yaitu, dari pendekatan fatalistik-reaktif dan tanggap darurat, menuju proaktif dan pengurangan risiko bencana, yang terintegrasi melalui perencanaan pembangunan.
Dalam paradigma lama, pendekatan penanggulangan bencana adalah bersifat responsif, sektoral, tergantung inisiatif pemerintah, sentralisasi, dan tanggap darurat. Sedangkan berdasarkan paradigma baru, pendekatannya adalah bersifat preventif, multi-sektoral, tanggung jawab semua pihak, desentralisasi, dan pengurangan risiko bencana.
Paradigma resposif berganti dengan paradigma preventif yang semua menitikberatkan respon saat terjadi bencana (tanggap darurat) berubah menjadi kesiapsiagaan aparat segenap komponen masyarakat dan lembaga usaha / swasta mempunyai peran sentral sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi bencana untuk menghindari, mengendalikan, mengurangi, menanggulangi maupun memulihkan dari dampak bencana. Pemerintah membuat kebijakan dan peraturan, memfasilitasi, mengawasi, dan sebagainya.
Hal-hal yang mendorong pergeseran paradigmatik, di antaranya:pertama, kesadaran akan beragamnya postur bencana (ukuran spektakular atau kecil, meluas atau lokal, dan homogen atau kompleks); kedua, pendekatan-pendekatan konvensional tidak lagi mampu menjelaskan fenomena bencana; dan ketiga, infusi pelajaran dari berbagai lapangan termasuk dari disiplin studi-studi pembangunan.
Ada beberapa pandangan atau paradigma penanggulangan bencana di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya yang antara lain: (1)
pandangan konvesional, (2) pandangan ilmu pengetahuan alam, (3) pandangan ilmu terapan, (4) pandangan progresif, (5) pandangan ilmu sosial, dan (6) pandangan holistik.
Pertama, pandangan atau paradigma konvesional. Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana merupakan suatu: kecelakaan (accident); tidak dapat diprediksi; tidak menentu; tidak terhindarkan; dan tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.
Kedua, pandangan atau paradigma Ilmu Pengetahuan Alam. Paradigma ini berpandangan bahwa: bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia; sebagai kekuatan alam yang luar biasa; merupakan proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi; dan pandangan ini tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.
Ketiga, pandangan atau paradigma ilmu terapan. Paradigma ini berpandangan bahwa: besaran bencana didasarkan pada besarnya ketahanan atau kerusakan akibat bencana; dan pengkajian bencana lebih ditujukan pada upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.
Keempat, pandangan atau paradigma progressive. Paradigma ini: menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’; bencana sebagai masalah yang tidak pernah berhenti dalam pembangunan; dan peran sentral dari masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.
Kelima, pandangan atau paradigma ilmu sosial. Paradigma ini: menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’; bencana sebagai masalah yang tidak pernah berhenti dalam pembangunan; dan peran sentral dari masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.
Keenam, pandangan atau paradigma holistik. Bencana dilihat sebagai suatu ancaman bahaya yang timbul dari dinamika alam yang berdampak bagi masyarakat. Namun ada faktor peran manusia dalam memperbesar kerentanan, yaitu pembangunan yang mengesampingkan keberlanjutan ekosistem dan pertumbuhan populasi yang pada dasarnya sulit untuk dicegah. Maka dari itu, peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi suatu solusi yang dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan aspek latar belakang masyarakat (kepercayaan, sistem norma, adat istiadat dan sejarah) yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Penerapan ilmu terapan, teknologi dan prinsip manajemen diharapkan dapat meningkatkan efektifitas usaha peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
Sebuah Keniscayaan
Bersahabat dengan alam sebagai sebuah keniscayaan. Sebuah kejadian, betapa pun tidak kita kehendaki, selalu memberikan pelajaran dan hikmah apabila kita memberi ruang untuk merenungkan kejadian tersebut dalam perspektif yang jernih.
Bencana datang dan “menerkam” siapa saja, tak peduli pejabat pemerintah, pelajar, orang tua, anak-anak, menantu kepala desa, dan lain-lain. Semuanya sama saja di mata bencana sehingga bencana bisa disebut sebagai kejadian yang sangat “demokrasi”. Karena korban bencana bisa datang dari berbagai kalangan, maka urusan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana menjadi kewajiban bersama.
Pelaku penanggulangan bencana sangat setuju dengan filosofi ketiga sebagaimana dibahas sebelumnya: hidup berdampingan secara harmonis dengan ancaman bencana. Makanya ada slogan ”hidup nyaman bersama ancaman”. Yang penting adalah masyarakat memahami risiko yang dihadapinya dan mampu mengelola risiko bencana tersebut. Kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki harus terus disesuaikan dengan perubahan karakteristik ancaman/bahaya. Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal adalah produk masa lalu yang terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Walaupun lokal namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya bersifat universal (Gobyah, 2003).
Semoga !!!