INSOMNIA dan apnea tidur (kesulitan bernapas saat tidur) tampaknya meningkatkan risiko stroke, berdasarkan temuan sebuah studi yang diulas yang dalam jurnal Neurology. Peneliti mengatakan, siapa pun yang memiliki stroke atau transient ischemic attack (disebut juga mini-stroke atau TIA) dimaksukkan dalam kelompok gangguan tidur tidak terdiagnosa.
Lusinan penelitian yang sudah dilakukan yang melibatkan ribuan pasien dengan gangguan tidur, termasuk apnea tidur obstruktif, berlebihan di siang hari, insomnia, sindrom kaki gelisah, dan gangguan perilaku tidur REM (rapid eye movement-gerakan mata cepat). Kondisi ini sering terjadi pada pasien stroke, tulis peneliti, di mana mereka menemukan bahwa faktor itu yang berkontribusi pada stroke.
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bukti kuat bahwa kondisi gangguan napas saat tidur (termasuk sleep apnea) meningkatkan risiko stroke dan TIA (transient ischemic attack – serangan iskemik sementara). Ini juga menyebabkan penyembuhan stroke menjadi lebih sulit.
Beberapa penelitian menemukan bahwa risiko yang lebih tinggi terhadap kematian pada peristiwa kardiovaskular adalag masalah pernapasan tidur. Sementara penelitian lain menemukan bahwa tekanan darah lebih tinggi, menyebabkan pemulihan lebih lambat pada neurologis, yang menyebakan pasien harus tinggal lebih lama di rumah sakit.
Temuan ini penting, kata tim peneliti, karena dokter jarang membuat hubungan antara masalah tidur dan stroke.
“Meskipun gangguan tidur yang umum terjadi setelah stroke, tapi sangat sedikit pasien stroke yang diuji,” kata salah satu peneliti Dirk M. Hermann, MD, dari University Hospital Essen di Essen, Jerman. “Hasil kajian menunjukkan, orang-orang dengan gangguan tidur lebih cenderung untuk mengalami stroke atau hasil negatif, dibandingkan dengn orang tanpa masalah tidur.”
Untuk pasien sleep apnea, kata Hermann, seringkali pada akhirnya harus diresepkan penggunaan mesin positive airway pressure (CPAP) terus menerus. Ini terutama digunakan pada malam hari untuk membantu pasien mendapatkan udara melalui hidung dan menjaga tenggorokan tetap aktif yang dapat membantu pasien tetap sehat setelah menderita stroke.
Para peneliti tidak mendukung penggunaan obat-obatan seperti hipnotik, sedatif, stimulan, dan benzodiazepin, untuk pengobatan gangguan tidur. “Pengobatan relevan untuk pemulihan stroke harus digunakan secara serius dengan mempertimbangkan potensi efek samping,” kata mereka.
Nah, jika Anda telah didiagnosis mengalami gangguan tidur atau kemungkinan memiliki potensi salah satu gangguan tidur itu, maka temui dokter Anda untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, agar Anda dapat melindungi diri dari serangan stroke!