Oleh: Agung SS Raharjo, S.Sos, MPA
INIPASTI.COM, ANALISIS — Hukum Working (Working, 1993) didefinisikan sebagai hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan total pengeluaran rumah tangga. Hukum ini menjelaskan bahwa pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Artinya semakin besar pangsa pengeluaran pamgan rumah tangga semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga. Dengan demikian kemampuan sebuah rumah tangga memililki akses terhadap pangan tercermin dalam pangsa pengeluaran pangan rumah tangga untuk membeli makanan.
Satu hal yang harus diketahui bahwa potret hukum Working ditingkat riil menyisakan kepedihan. Keluarga/rumah tangga dengan pendapatan kapita rendah selain tidak memiliki peluang kesejahteraan yang lebih baik, misal akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan pada tataran konsumsi pangannya pun tidak kalah menyedihkan. Selain ketiadaan jaminan ketercukupan pangan (kuantitas) disaat bersamaan juga tidak ada jaminan pemenuhan standard gizi pangannya (kualitas).
Problem pemenuhan pada sisi kuantitas dan kualitas pangan tersebut, disadari salah satunya dipengaruhi unsur pembentuk ekonomi yaitu harga pangan. Dengan kata lain jika didapati goncangan sedikit saja pada tingkat pendapatan dan harga pangan akan sangat berdampak terhadap ketahanan pangan mereka.
Aplikasi hukum tersebut dalam konteks keberdayaan masyarakat dari sisi daya beli maka tidak lain merupakan lintasan gambaran tentang sisi keterjangkauan terhadap akses pangan. Semakin tidak berdaya individu dalam memenuhi kebutuhan pangan yang paling elementer maka secara sederhana dapat dikatakan mereka ini masuk dalam kelompok rawan pangan. Ketika urusan perut ini tidak bisa dipenuhi secara standart dapat dipastikan akan berdampak pada kualitas kehidupan.
Sehubungan dengan kondisi tersebut maka sudah semestinya persoalan keterjangkuan ini mendapat proporsi sedikit lebih banyak untuk dipertimbangkan dalam ranah penguatan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga (RT atau) atau kelompok.
Mengapa persoalan keterjangkauan ini menjadi sedikit lebih urgen dari 2 aspek lain yaitu ketersediaan dan pemanfaatan?. Dalam hal ini dilihat dari sisi perspektif kebutuhan personal atau individu. Untuk menjawab ini, maka sebenarnya aspek ketahanan pangan ini dapat dipilah dalam tinjauan perspektif user maupun supplier. Dan aspek keterjangkauan ini jika ditempatkan pada sisi user maka dapat diketahui bahwa satuan unit sasaran pemenuhan kebutuhan pangan ini adalah rumah tangga bahkan individu. Artinya bahwa setiap individu memiliki hak atas pangannya secara mudah dan terjangkau dari sisi harga.
Negara sudah sepantasnya memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pangannya bagi setiap penduduk dinegeri ini. Dan hal tersebut telah tertuang secara jelas pada UU Pangan No 18/2012. Karena pangan adalah subtansi kehidupan dan bagian penting proses pembangunan manusia. Ketiadaan pangan adalah ketiadaan masa depan. Pangan adalah energi bagi sebuah bangsa dan negara. Maka tidak berlebihan jika suatu negara bisa menguasai kebutuhan pangannya maka sebenarnya telah menggenggam kedaulatan bangsanya.
//Penulis : Analis Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan-Kementan