Oleh : Saifuddin Al Mughniy
OGIE institute Research and Political Development_
Untuk mengangkat tema hari kebangkitan nasional sebagian kita selalu harus memulai dari sebuah diktum sejarah di masa lalu. Ya, sejarah memang harus menjadi patokan di dalam memaknai sebuah proses suatu bangsa. Di Indonesia, tentu begitu apik dan herois ketika kita mengangkat jejak sejarah Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang diperingati setiap tahunnya pada tangal 20 Mei. Dan perlu kita pahami bahwa kenapa setiap tanggal tersebut kita memperingatinya dan kenapa sejarah menorehkan itu, pada satu organisasi yang disebut dengan Budi Utomo kenapa bukan yang lain.
Asumsi pertama, bahwa tanggal 20 Mei 1908 adalah embrional lahirnya organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo mahasiswa STOVIA. Walau sebenarnya organisasi begitu memiliki ruang lingkup yang terbatas karena beranggotakan anak-anak priyayi akibat aturan yang di terapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun yang perlu diapresiasi adalah bahwa organisasi ini, lahir sebagai komitment nasionalisme sekalipun ruang gerak organisasi sangat terbatas yang hanya melingkupi Jawa dan Bali. Tapi paling tidak kelahiran Budi Utomo sudah menjadi pemantik atas aurah pergerakan kebangsaan dengan cita-cita kemerdekaan. Perjuangan Budi Utomo telah menitikkan nilai sejarah di bangsa ini. Untuk kemudian bagaimana mengenyam kemerdekaan.
Namun ada beberapa fiksi yang menyeruak di permukaan tak kalah persoalan kebangkitan nasional di kaitkan dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908, sementara ada SDI (Sarekat Dagang Islam) berdiri tahun 1905. Sebuah pertanyaan yang memang sedikit lucu, yakni kenapa justru BU 1908 di jadikan tonggak peringatan hari kebangkitan nasional. Kenapa bukan SDI 1905?. Ada yang menjawab karena duluan SDI berdiri maka BU 1908 yang harus di jadikan patokan. Jawaban ini sesungguhnya telah mengecoh akal sehat dan logika kita, kalau sekiranya SDI lahir setelah BU itu dilahirkan maka wajar kiranya kita benarkan pernyataan itu.
Sehingga inilah yang kemudian memantik nalar kita untuk menilai aspek historisnya antara BU dengan SDI. Jawaban yang kedua adalah, bahwa karena BU adalah organisasi yang dibentuk secara formal namun memiliki ruang gerak perjuangan begitu sempit, sementara SDI berkembang secara menusantara. Hanya saja BU bersifat egaliter yang menghimpun semua kalangan tanpa harus ada sekte agama, suku dan ras di dalamnya, sementara SDI hanya beranggotakan orang-orang Islam saja.
Bahwa kalau kita ingin menusuri jejak sejarah yang terjadi di tahun 1908 itu, yang kemudian disebut sebagai tonggak sejarah kebangkitan bangsa, maka di tahun yang sama tepatnya 1908 yaitu melekatnya Perang Kamang yang terjadi di Sumatera Barat begitu pula perang Manggopoh walau tempat yang berbeda. Dan menurut sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mengatakan bahwa baiknya di dalam peringatan hari kebangkitan nasional itu bukan hanya mengenang Budi Utomo tetapi juga Sarekat Dagang Islam juga harus diangkat di perbincangkan.
Dan menurut sejarawan UI Anhar Gonggong, bahwa hari kebangkitan nasional itu tetap harus di peringati sebagai konsekuensi dari sejarah bangsa. Menurutnya itu sangat penting sebab dari sanalah kita memulai dan merumuskan untuk menjadi bangsa. Dan menurutnya tahun 1920 hingga tahun 1945 itu adalah babakan waktu, bagi bangsa ini untuk menjadikan sebuah bangsa Indonesia. Tjokroaminoto, Sutomo, Syahrir, Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka mereka inilah yang merumuskan bangsa ini menjadi bangsa Indonesia.
Jadi kalau memperingati hari kebangkitan nasional ada dua faktor penting. Faktor utama, adalah pendidikan, dimana orang-orang yang terlibat dalam pergerakan nasional itu adalah orang-orang yang berpendidikan, bukan hanya memiliki kecerdasan otak, tetapi cerdas hati dan nurani.
Menyimak dari dua catatan dari sejarawan tersebut diatas, tentu saya sangat sependapat, sebab kalau kita mencoba menilik sepintas dari titik nol bangsa ini, di mulai hingga saat ini tentu begitu jauh berbeda. Mungkin saja perbedaan itu adalah di masa lalu, komitmen kebangsaan itu begitu luar biasa, organisasi di bentuk bukan hanya sekedar menjadi ajang reunian dan curhat, tetapi lebih pada menyuguhkan nilai kerakyatan, perjuangan mereka bukan sekedar merespon kondisi negara, tetapi sudah membicarakan perkara kemiskinan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.
Infrastruktur tentu tidaklah secanggih seperti saat ini, tetapi mereka berjuang dengan nurani bukan hanya sekedar cerdas secara pemikiran. Perbandingannya adalah, mungkin saat ini kita sebagai sebuah bangsa kembali harus belajar dari keterpurukan secara moral, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan seksual pada anak, akhir-akhir ini telah menjadi fenomena “buruk” dari sistem sosial kita.
Sehingga kebangkitan nasional tidaklah sekedar ‘Demo” jalanan, simposium, seminar bahkan talk show, tetapi paling tidak mari kita merenungkan betapa mulianya kemerdekaan ini yang kemudian tercemari nilai kapitalisme dan branding kemerosotan moral lainnya.
Sehingga saya melihat, bahwa 108 tahun yang lalu adalah jejak sejarah panjang yang sulit dihapus dari memori kemanusiaan BU dan SDI adalah dua organ yang memiliki catatan terbaik dalam sejarah bangsa. Kemudian 18 tahun yang lalu tepat 21 Mei 1998 adalah sebuah fase keberanian anak-anak muda (mahasiswa) untuk turun jalan mendorong gagasan Reformasi, yaitu sebuah alur pemikiran perubahan sistem di bangsa ini. Namun sangat miris saat agenda perjuangan itu, seakan terhapus dari jejak sejarahnya. Kini kemiskinan, penggusuran, saling fitnah, politik baku sandera, keterpurukan ekonomi, kejahatan seksual bagi anak, jual beli hukum, politik transaksional, terkesan menjadi fenomena baru dalam tata kebangsaan kita.
Kita tak boleh pesimis, tetapi sangat perlu untuk kita refleksikan, bahwa Filosof sekelas Plato dalam ajarannya, bahwa di titik yang tak terkendali, di mana pemerintahan yang di pimpin oleh seseorang tanpa nurani (bodoh dan biadab), maka akan sampai pada meletusnya revolusi, itulah yang disebut dengan Okhlokrasi. Kita berharap bangsa ini belumlah sampai pada di titik ini.
Reformasi bagi saya bukanlah hanya letupan emosional belaka dari kelompok mahasiswa, tetapi lebih dari pada itu bahwa Reformasi itu adalah menjadi keharusan sejarah untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang demokratis. Bisa di bayangkan kalau kemudian selama 32 tahun lamanya rakyat terbelenggu dengan otoriterianisme-tirani dari rezim orde baru. Tuntutan reformasi yaitu menghapuskan Dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, dan perbaikan ekonomi.
Tetapi kenyataannnya, supremasi hukum hanya tegak dengan uang, kebenaran hukum banyak di beli diruang yang gelap, perbaikan ekonomi justru kekayaan negara hanya di kuasai oleh Asing dan Aseng serta kelompok pemilik modal yang dekat dengan istana. Sebuah kejahatan korpotokrasi yang telah melilit birokrasi kita. Miris ketika aparat TNI dan POLRI terlibat dalam penggusuran, bukankah TNI menganut paham manunggal dengan rakyat. Bukankah mereka itu semua adalah pengayom rakyat ?
Sulit untuk dijawab sebab sistem ini, telah dikendalikan oleh kekuatan luar. Sebenarnya kalau kita ingin jujur maka agenda reformasi ini, sesungguhnya adalah milik bersama, yang harus diperjuangkan. Keroposnya keterwakilan politik rakyat di parlemen (DPR RI) membuat lembaga ini kehilangan kepercayaan, temuan BPK 560 Milyar dana kunjungan kerja ternyata fiktif, dan sekitar 50 Milyar tiket pesawat fiktif, lalu BPK meminta kepada DPR RI untuk mengembalikannya, hukum seharusnya jangan tebang pilih. Fenomena ini sesungguhnya adalah pengingkaran atas perjuangan reformasi dan penghianatan atas nama rakyat.
Oleh sebab itu, momentum reformasi paling tidak akan mereview jejak sejarah pergerakan mahasiswa untuk dan demi sebuah perubahan di bangsa ini. Semoga
Batavia, 21 Mei 2017