Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Siapapun tidak menginginkan hadirnya wajah kota, seperti celotehnya Kevin Lynch dalam tulisannya “The City as Environment”. “Penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi buruk: tunggal rupa, serba sama, tidak berwajah lepas dari alam, dan sering tidak terkendali, tidak manusiawi….” ( Budihardjo dan Sudanti Hardjohubojo, 1993).
Dua kemungkinan bentuk wajah kota ke depan sebagai konsekuensi penataan kota dan hal ini perlu diantisipasi dini oleh perancang atau perencana kota. Pertama, wajah kota semakin cantik; kedua, atau justru sebaliknya yakni kota yang kian berantakkan.
Ketika mendengar kata kota, kita selalu menunjuk suatu kawasan yang sangat ramai, lalu lintas yang padat, pertokoan yang berderet-deret, dan fasilitas umum yang tersedia di berbagai tempat. Terlepas dari segala kemewahan yang ditawarkan, kota menyimpan “sejuta” permasalahan. Permasalahan di kota jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan desa. Akumulasi dari ragam permasalahan kota, akan melahirkan kota yang berwajah berantakan.
Penyebab Wajah Kota Berantakan
Mengapa bentuk wajah kota bisa jadi berantakkan? Menurut Eko Budiardjo dan Sudanti Hardjohubojo (1993), terdapat sekurang-kurangnya 4 (empat) penyebab pokok yang paling besar pengaruhnya terhadap keberantakan wajah dan tata ruang perkotaan. Pertama, adanya kesenjangan antara perencanaan kota yang dwi-matra dengan perencanaan arsitektur yang trimatra. Perancangan kawasan perkotaan (urban design) masih merupakan benda aneh di negara kita. Kedua, membengkaknya pengaruh kendaraan bermotor (khususnya mobil pribadi) dalam jaringan kegiatan perkotaan. Pejalan kaki dan pelanggan kendaraan umum masih dilihat sebagai warga negara kelas dua. Ketiga, curahan perhatian yang terlalu ditekankan pada aspek keuntungan ekonomis dan kecanggihan teknologis dengan melecehkan manfaat sosial atau kepentingan masyarakat banyak, khususnya pada pembangunan fasilitas komersial oleh pihak swasta. Keempat, lemahnya aparat dan mekanisme kontrol pembangunan. Atau, memang sengaja dibikin tidak jelas aturan permainan dan sanksinya…. Keseluruhan aspek tersebut di atas harus dikaji secara bersamaan dan diatasi sekaligus untuk bisa mencegah kecenderungan dehumanisasi kota kita.
Kesemrawutan dan kekumuhan wajah kota ini selain disebabkan oleh perilaku warga kota yang kurang peduli untuk mewujudkan keindahan dan kenyamanan kota, juga disebabkan oleh lemahnya monitoring dan evaluasi terhadap rencana kota yang disusun.
Faktor urbanisasi dan kemiskinan perkotaan juga menjadi penyebab kesemrawutan dan kekumuhan wajah kota. Penduduk desa yang bermigrasi ke kota namun tidak memiliki daya saing yang tinggi pada akhirnya ada yang menganggur, menjadi gelandangan/pengemis/pengamen/pedagang kaki lima (PKL) atau bekerja di sektor informal. Karena tidak dapat menjangkau harga lahan dan rumah di perkotaan, mereka kemudian membangun rumah untuk tempat tinggal mereka di lokasi yang tidak sesuai peruntukannya atau di lahan ilegal dengan seadanya sehingga menyebabkan terbentuknya permukiman kumuh. Selain itu, karena tidak memiliki akses terhadap lapangan pekerjaan di sektor formal, mereka bekerja di sektor informal misalnya sebagai PKL. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menimbulkan kesemrawutan kota (Ginting, 2009).
Dalam upaya menanggulangi kesemrawutan dan kekumuhan wajah kota, perencana diharapkan dapat merumuskan strategi yang inovatif. Perencana perlu memikirkan cara mengimplementasikan penataan ruang yang terpadu, mengarahkan identitas kota secara jelas, serta mendorong perubahan perilaku dan mental warga kota yang belum meng-urban (Ginting, 2009).
Guna menghindari keberantakan wajah kota ke depan, ada tiga landasan yang dipegang dalam perencanaan kota satelit maupun kota baru (Eko Budiardjo dan Sudanti Hardjohubojo, 1993). Pertama, senyawa yang tuntas antara fasilitas perkotaan dengan citra dan suasana pedesaaan. Kedua, desentralisasi dari kawasan perkotaan yang kepadatannya berlebihan. Ketiga, penciptaan komunitas yang seimbang, baik dalam penghidupan maupun lapangan kerjanya.
Sebuah Mimpi Buruk
Menyikapi adanya pertumbuhan sebuah kota yang tidak terkendali dengan baik, jangan sampai ramalan Doxiadis terwujud. Jauh-jauh hari, Doxiadis (Raharjo Adisasmita, 2006), telah meramalkan bahwa kota-kota yang ada di dunia ini, akan tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin kuat dan sulit dikendalikan. Kota (polis) akan menjadi metropolis (kota raya), kemudian megapolis (kota mega), lalu menjadi ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan kota mayat (necropolis).
Apa yang terjadi jika pemanfaatan ruang dilaksanakan tanpa adanya pengendalian sesuai perencanaan. Misalnya kawasan industri berdekatan dengan permukiman penduduk, pusat perbelanjaan berdiri megah di tengah permukiman, perkantoran pemerintah berseberangan dengan mall. Banyak hal negatif yang muncul. Kekacauan, kekumuhan, tidak tertatanya bangunan, tiadanya estetika dan kesemrawutan wajah kota serta dampak negatif lainnya bagi lingkungan. Semua ini berakibat sulitnya dalam penataan jaringan utilitas, penyediaan fasilitas publik, dampak negatif bagi kondisi sosial, mencoloknya kesenjangan ekonomi antar lapisan masyarakat, biaya yang tinggi untuk penyelesaian masalah lingkungan dan berbagai hal negatif lainnya.
Benar, perkembangan kota-kota di Indonesia mempunyai kecenderungan kehilangan identitasnya. Hal ini lebih disebabkan oleh beberapa fenomena, antara lain: pertama, terjadinya peningkatan percepatan perubahan ruang-ruang kota secara sistematis dan sangat pragmatis mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan kota; kedua, terjadinya generalisasi dan keseragaman bentuk perkembangan dan visual kota, sehingga kota tersebut semakin asing bagi masyarakat, terutama dalam mengenali dan menggali potensi jati diri untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya; dan ketiga, pembangunan kota lebih dititiberatkan pada pertimbangan aspek fisik dan ekonomi, serta cenderung mengabaikan nilai-nilai sosial budaya lokal dan historis kota.
Keberantakan wajah kota, boleh saja disebabkan oleh “dosa-dosa” dilakukan para perencana kota. Pada medio dekade 1980an, seorang ekonom Pakistan yang berkiprah di Bank Dunia dan wafat di Amerika, Mahbub Haq (1983) menulis buku terkenal “The Poverty Curtain” atau Tirai Kemiskinan. Beliau menyatakan bahwa ada tujuh dosa perencana pembangunan yakni, permainan angka, pengendalian yang berlebihan, investasi yang menggiurkan, pendekatan yang dianggap benar, perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah, sumberdaya manusia terabaikan, dan pertumbuhan tanpa keadilan.
Untuk mengantisipasi agar kecenderungan pengungkapan fenomena identitas kota seperti itu tidak berlanjut, perlu kiranya dipelajari dan ditelusuri identitas suatu kota berdasarkan tatanan dan fungsi kehidupan kota secara lebih terintegrasi yang di dalamnya merupakan akumulasi dari nilai-nilai sosio-kultural warga kota sebagai ruh dan jati diri kota, serta elemen-elemen fisik lingkungan sebagai wadahnya.
Kota Dadakan
Penyebab lain yang membuat wajah kota berantakan yakni hadirnya kota dadakan. Di negara berkembang yang sarat dengan perubahan, perencanaan kota sebaiknya merupakan latar yang mampu secara kenyal mewadahi perubahan fungsi dan tuntutan kebutuhan serta perilaku penduduk kotanya.
Perencanaan kota yang open-ended akan menciptakan lingkungan yang memberikan tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi, di samping pelibatan masyarakat yang lebih besar, dan peluang untuk penyesuaian secara kreatif, bahkan modifikasi (Usman, 2023). Misalnya jalan yang dianggap oleh kebanyakan perencana kota hanya sekadar prasarana lalu lalang dan ruang transisi semata-mata, berpeluang juga untuk dimanfaatkan sebagai ruang kegiatan yang bermanfaat.
Di Semarang, Jogya, dan Solo, misalnya, jalan bukan semata-mata hanya untuk menampung arus lalu lintas, melainkan juga sebagai ruang terbuka bagi kontak sosial, wadah kegiatan upacara, rekreasi, dan bahkan untuk aktivitas perdagangan. Kehadiran pedagang kaki lima (pedagang kelana) yang mobil, misalnya, akan memberikan citra tersendiri pada wajah kota (Usman, 2023).
Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso, bakmi, dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab beskala manusia. Munculnya pun hanya pada saat-saat tertentu saja, biasanya malam hari. Lantas, kondisi seperti itu mereka sebut instant city alias kota dadakan (Anonymous dalam Arguby, 2017).
Hongkong juga dikenal sebagai kota yang dalam pola tradisionalnya memanfaatkan jalan sebagai tempat percampuran berbagai macam kegiatan. Jelas, pada lingkungan baru yang direncanakan sampai ke detail-detailnya, lingkungan yang penuh semangat kehidupan semacam itu tidak tercipta (Rapoport, 1998).
Membangun Citra Sebuah Kota
Kota adalah salah satu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah penting dan sangat perlu diperhatikan.
Dalam penyelidikan terhadap bentuk kota, Lynch mengemukakan lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota. Pertama, “pathway” merupakan route-route sirkulasi yang biasa digunakan orang dalam melakukan pergerakan, baik inter maupun antar kota melalui jaringan jalan primer dan sekunder. Kedua, “Districts”, merupakan sebuah kawasan dalam suatu kota, kadang-kadang begitu bercampur karakternya sehingga tidak mempunyai batas-batas yang tegas. Ketiga, “Edge” pengakhiran sebuah distrik atau tepiannya. Distrik tertentu tidak mempunyai pengakhiran yang tegas tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan distrik lainnya. Keempat, “Landmark”, elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu mengenal suatu daerah kota. Sebuah “Landmark” yang baik adalah elemen yang tegas tetapi harmonis dengan kerangka lingkungan kota. Kelima, “Node”, pusat aktivitas merupakan salah satu jenis landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif (Eko Budiardjo dan Sudanti Hardjohubojo, 1993).
Perencanaan Humanopolis
Kota-kota yang ada di negara-negara sedang berkembang, khususnya Indonesia, seringkali menghadapi persoalan-persoalan yang berat, sehingga membutuhkan penanganan yang serius untuk hal tersebut. Pada akhirnya banyak lembaga-lembaga internasional yang turun tangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Pada dasarnya persoalan-persoalan tersebut timbul karena kemampuan manusia yang mengelola dan menghuni kota tersebut.
Menyadari gejala perkotaan yang kian semrawut dan berantakan, Peter’ Hall (2002) mengajukan perencanaan humanopolis, yaitu kota yang lembut dan manusiawi, dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antara manusia dan lingkungan binaannya secara lebih akrab. Penciptaan ruang perkotaan yang bersifat publik, dengan jaringan pedestrian atau pejalan kaki yang terstruktur, seyogyanya lebih digalakkan.
Kota: selayaknya menjadi tempat yang nyaman bagi warganya dan indah dalam estetika. Pembangunan sosial sebuah kota sepatutnya memberikan fokus pada Welfare and Organic Community (WOC). WOC merupakan sebuah gerakan sosial yang bertujuan untuk mewujudkan komunitas-kumunitas humanistik yang secara kreatif mengembangkan modal sosial seperti kesalehan sosial, solidaritas sosial yang inklusif, kearifan dan memperkuat kemandirian komunitas berbasis pada keswadayaan, dan pengelolaan lingkungan hidup yang sehat.
Kota merupakan hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia yang paling rumit dan muskil sepanjang peradaban. Sebuah kota menjadi semakin komplek dari waktu kewaktu, membawa permasalahan yang khas.
Semoga !!!