INIPASTI.COM, Kita sedang mengalami kelumpuhan radar sosial. Kepekaan sosial kita sedang menderita penyakit kronis. Para pemimpin kita, para penguasa, kaum cendekia, alim ulama, pendeta dan penegak keadilan, matanya rabun untuk melihat realitas sosial, telinganya tebal untuk mendengar keluhan rakyat, hatinya bimbang merasakan penderitaan orang-orang miskin yang dihinakan.
Penyakit yang sama, mengepung dunia sosial kita. Masyarakat kita sebagian besar sedang mengalami kemerosotan kepercayaan kepada: pemimpin, penguasa, cendekia dan alim ulama. Begitu akutnya ketidakpercayaan itu, mereka juga lalai akan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Mereka tidak mempercayai kehidupan sosial dapat membangun kemaslahatan umat manusia. Akhirnya, masyarakat kita kehilangan harapan, memilih jalur kehidupan yang instan, kejahatan kolektif dianggapnya sebagai perbuatan baik. Kemampuan merebut dan merampas hak-hak orang lain dipandang sebagai prestasi. Mereka menganggap pemimpin dan penguasa tidak memiliki konsistensi, beda kata dengan perbuatan. Masayarakat kita terlalu sering menyaksikan penguasa bertutur santun, namun bertindak beringas. Berjanji dengan mulut manis, tetapi jarang memenuhinya. Rupanya, pemimpin kita selalu tampil dengan topeng yang mengesankan, namun dibaliknya ada rupa buruk yang melekat permanent.
Hubungan antara pemimpin dan pengikut, akhirnya bersifat tipu-tipu. Ada saat pemimpin memperdaya masyarakatnya, ada masa, masyarakat mengerjain pemimpinnya. Kadang-kadang antara pemimpin dan pengikutnya bekerjasama untuk meraih laba yang lebih besar. Tapi pada waktu lain, mereka bermusuhan karena saling merebut faedah. Baik pemimpin maupun yang dipimpin, sama-sama memilih jangkauan yang pendek untuk tujuan kehidupan yang panjang. Etos kehidupan kita tidak lebih dari mengumpulkan dan menguasai. Dalam proses mengembangkan etos itu, moralitas dan hatinurani sudah lama ditiadakan. Meskipun sholat, puasa, sedekah, zikir dan berhaji terus gemerlap, tapi tidak sanggup mengisi pori-pori kehidupan sosial. Seakan-akan ibadah berada pada ruang khusus, dan kejahatan sosial berada pada ruang lain. Ibadah tidak dihubungkan dengan libido keburukan, bahkan tidak dapat meredam merajalelanya kejahatan.
Kebajikan dan kejahatan berkembang searah, sama-sama melaju. Dunia sosial kita terpolarisasi, kepatutan dan ketidakpantasan tumbuh subur tanpa saling keterkaitan. Untuk pertamakalinya dalam sejarah kehidupan umat manusia, kebajikan dan kezaliman tumbuh dalam ranah dan tubuh yang sama. Keduanya tidak saling mempengaruhi. Penguasa membangun kebaikan, mendirikan masjid-masjid mewah, bersedekah di lapangan-lapangan terbuka, mengirim puluhan, bahkan ratusan kaum muslimin ke tanah suci, memberikan sumbangan yang diliput oleh banyak media. Tapi pada saat yang bersamaan, banyak pemimpin yang menggadaikan jabatan-jabatan, nilep fee project, menerima hadiah, membuat projek fiktif, bahkan tidak segan-segan mengambil hak-hak rakyat. Inilah yang disebut fragmentasi sikap dan tindakan sosial.
Menyaksikan perilaku sosial yang fragmentatif, para ilmuan berbondong-berbondong bermeditasi di laboratorium kehidupan untuk meracik strategi, agar suara rakyat bisa menembus labirin gendang telinga penguasa, agar hati para pemimpin selembut salju, agar mata penegak keadilan setajam mata elang, sehingga mampu menerobos praktek-pratek kolutif yang tersembunyi pada hampir semua sudut kehidupan.
Namun, formulasi para ilmuan sejauh ini belum sakti. Rekomendasi dan fatwa para ilmuan untuk menumbuhkan fungsi radar sosial untuk melakukan social control, terpental, dimatikan oleh kerakusan kekayaan dan syahwat kekuasaan./IMF