INIPASTI.COM – DALAM keadaan sehat saja Hek siauw Kui bo sudah terdesak hebat oleh Yu Lee, apalagi sekarang dalam keadaan tulang lengan kirinya patah, biarpun ia bermain suling dengan tangan kanan namun ia membutuhkan tangan kirinya sebagai imbangan gerakan dan juga sebagai pancingan, ancaman, tangkisan atau serangan. Dengan lumpuhnya lengan kirinya, ia kehilangan hampir setengah kesaktiannya dan sebentar saja ia sudah mandi keringat dingin dan menjadi pucat sekali.
Baca juga: Pendekar Cengeng 5 (15)
“Yu Tiang Sin! Kenapa bukan engkau sendiri yang datang membunuhku?” Tiba tiba nenek itu menjerit dengan suara menyayat hati.
Mendengar ini teringatlah Yu Lee akan kakeknya, akan ayah bundanya, paman bibinya, dan saudara saudaranya yang terbunuh iblis ini dan tak tertahankan lagi ia menangis terisak-isak. Air matanya membanjir ke atas pipinya dan tentu saja menghalangi pandang matanya.
Dalam keadaan seperti itu, Hek siauw Kui bo tidak menyia nyiakan waktu. Sulingnya berkelebat menusuk leher Yu Lee dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi. Ya Lee terkejut, cepat membuang diri ke samping sambil tongkatnya bergerak dari bawah. Namun patukan suling hitam itu masih mengenai pundaknya dan darah muncrat dari daging di atas pundak kirinya.
Akan tetapi Hek siauw Kui bo roboh terguling sambil menjerit ngeri. Ternyata pada detik yang bersamaan, ujung ranting di tangan Yu Lee telah berhasil menotok jalan darah di ulu hatinya membuat tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia tidak kuat berdiri lagi!
Yu Lee dengan tangan kiri memegangi pundak dan tangan kanan memegang ranting dengan air mata bercucuran, melangkah maju di atas genteng menghampiri lawannya yang masih memegang suling hitamnya akan tetapi sudah tak berdaya, rebah miring dan mendekam di atas ganteng.
Dua pasang mata bertemu pandang, yang sepasang penuh kebencian bercampur ketakutan, yang sepasang lagi penuh kebencian bercampur keharuan.
Tangan yang memegang ranting menggigil.
Tiba tiba terjadi perubahan pada Wajah Hek siauw Kui bo. Kini sinar kebenciannya lenyap yang tinggal hanya ketakutan. Tubuhnya menggigil mukanya pucat sekali dan bibirnya bergerak gerak “Jangan ….! Jangan siksa aku…! ah jangan siksa aku….!”
Ketika Yu Lee melangkah maju setindak lagi, Hek siauw Kui bo menggerakkan sulingnya dengan sisa tenaga terakhir ia mengetuk kepalanya sendiri. Terdengar suara “krakk !” dan kepala nenek iblis ini pecah! Darah dan otaknya berhamburan, nyawanya melayang entah ke mana!
Yu Lee berdiri dengan muka pucat memandang mayat musuhnya, kemudian dengan air mata berlinang ia berdongak ke atas dan memandang angkasa yang amat indah, di mana awan putih berarak disinari cahaya kemerahan matahari pagi.
Dalam pandangan mata yang dibikin suram oleh air matanya, ia melihat seolah olah awan awan putih itu membentuk wajah kakeknya, Si Dewa Pedang, wajah ayahnya, wajah ibunya, wajah paman dan bibi serta saudara saudaranya.
Mereka itu seolah olah tersenyum kepadanya. Ketika cahaya matahari melenyapkan bayangan wajah wajah itu, ia menunduk dan terngiang kata gurunya.
“Orang yang suka melakukan perbuatan keji yang suka menyiksa den membunuh orang, pada hakekatnya adalah orang orang pengecut yang melakukan perbuatan keji itu terdorong oleh rasa takutnya.” Dahulu ia tidak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi sekarang melihat mayat Hek siauw Kui bo dan mengenang betapa nenek iblis ini amat ketakutan menghadapi pembalasan baru ia mengerti. Hek siauw Kui bo yang terkenal keji, suka menyiksa dan membunuh manusia lain ini pada hakekamya hanya seorang pengecut besar!
Ia lalu menoleh ke bawah dan apa yang dilihatnya membuat ia menahan napas. Mayat mayat bergelimpangan dan bertumpuk. Darah mengalir membuat halaman depan itu menjadi genangan air merah. Dua orang gadis dan dua orang pemuda masih mengamuk. Sisa anak buah bajak tinggal paling banyak dua puluh orang lagi. Mereka ini hanya berani melawan karena terpaksa, karena melarikan diri berarti mati oleh senjata empat orang muda yang gagah perkasa itu. Maka mereka melawan mati matian. Melihat ini Yu Lee menggerakkan tubuhuya, melayang turun dan menggerakkan rantingnya.
“Trang trang trang !” Semua pedang di tangan empat orang muda terlempar dan terlepas dari pegangan, Yu Lee menjura kepada mereka berempat. “Maaf, saya rasa cukup banyak penyembelihan.” Kemudian ia membalik dan berkata, suaranya tetap halus akan tetapi penuh wibawa. “Kalian tidak lekas berlutut minta ampun kepada empat orang pendekar ini dan berjanji merobah watak jahat?”
BERSAMBUNG