INIPASTI.COM – Dan dalam keadaan jaman seperti itulah Yu Lee melakukan perjalanan bersama Siok Lan bahkan mendekati daerah “angker, daerah gawat karena pelayaran melalui Sungai Huang ho itu akan melewati terusan yang kini sedang dilanjutkan penggaliannya menuju ke utara, ke kota raja!
Baca juga: Pendekar Cengeng 7 (1)
Dua hari kemudian, mereka telah tiba di luar kota Kaifeng, kota besar bekas kota raja yang amat ramai yang terletak di lembah Sungai Huang ho ini. Yu Lee masih berjalan menuntun kuda, pakaian dan mukanya penuh debu dan keringat, sehingga kini ia agak patut menjadi pelayan Siok Lan duduk di atas pelana kudanya, melenggut dan mengantuk karena hawa amat panasnya di siang hari itu, apalagi musim kering membuat jalan berdebu. Karena kudanya dituntun sehingga ia tidak perlu memperhatikan jalan lagi. Siok Lan menjadi mengantuk dan tidur ayam sambil duduk di atas punggung kuda
“Nona yang mulia mohon sudi membantu !”
Siok Lan membuka matanya memandang ke depan. Ternyata di pinggir jalan itu berdiri seorang pengemis penuh tambalan, memegang tongkat yang dipakai bersandar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah mangkok retak.
Dari rambutnya yang panjang awut awutan sampai kakinya yang telanjang dan pakaiannya yang butut, jelas dia seorang pengemis biasa, akan tetapi anehnya, pengemis yang berpakaian butut itu memakai sabuk merah yang melibat pinggangnya. Dan sabuk merah ini dari sutera yang masih baru dan bersih
“Lopek, harap kau orang tua suka memaafkan kami, biarlah kali ini kami tidak memberi apa apa dan lain kali saja akan kami beri sumbangan kepadamu. Harap lopek ketahui bahwa nona majikanku ini sedang melakukan perjalanan jauh sekali ke kota raja dan karenannya memerlukan biaya yang banyak.” Demikian Yu Lee berkata dengan suara halus kepada kakek pengemis itu. Siok Lan merasa sebal mengapa pelayannya bersikap begitu menghormat dan halus terhadap seorang pengemis! Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, pengemis itu sudah membuka mulut nya lagi dan kali ini bernyanyi dengan suara parau, akan tetapi hanya perlahan seperti berbisik sehingga hanya mereka berdua saja yang mendengarnya :
Membanting tulang bekerja paksa
anak bini di rumah menderita
tanpa makan tiada upah
mengharap nona memberi sedekah
Siok Lan marah. Nona ini melihat betapa Aliok memandang dan berkedip seperti memberi isyarat atau mencegah kemarahannya akan tetapi ia tidak perduli, bahkan makin mendongkol karena Aliok tampaknya begitu takut terhadap jembel tua yang banyak lagu itu. Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis sambil membentak.
“Sungguh engkau ini jembel tua yang tidak tahu malu! Jelas engkau seorang pemalas yang tidak mau bekerja, becusnya hanya minta minta saja, akan tetapi masih bicara tentang bekerja keras dan membanting tulang! Cih, tak tahu malu. Masih mempunyai sabuk sutera merah yang tentu dapat kau tukar dengan nasi untuk dimakan tetapi ada muka untuk mengemis! Hayo pergi!”
Akan tetapi kakek itu tidak mau pergi, juga pada wajahnya yang berdebu tidak tampak perubahan, seolah olah kemarahan dan ucapan Siok Lan itu dianggapnya seperti tingkah seorang anak kecil saja. Malah ia menengadahkan mukanya ke atas dan bernyanyi lagi, kini suaranya yang parau terdengar lantang dan gagah, tidak berbisik seperti tadi.
Dengan sabuk merah di pinggang
sampai mati kami berjuang
Siok Lan makin panas hatinya. Dengan gerakan kilat tubuhnya mencelat dari atas kudanya lalu berdiri di depan pengemis iiu
Sengaja ia memperlihatkan ginkangnya yang hebat dan kini ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan kakek pengemis itu terus berkata.
“Rupanya engkau bukan jembel sembarangan, melainkan seorang anggauta kaipang (perkumpulan pengemis). Akan tetapi tidakkah engkau tahu siapakah aku?”
Pengemis tua itu melihat tajam sejenak ke pada Siok Lan, lalu melirik ke arah Yu Lee kemudian berkata sambil merangkap kedua tangan di depan dada, “Maaf bahwa saya yang bodoh tidak mengenal nona. Akan tetapi saya cuma tahu sebuah hal yaitu bahwa tiada seorang gagah akan menolak buat membantu kami yang miskin. Harap nona tidak terkecuali dan suka membantu kami dengan sedekah.”
“Aku tidak punya uang!”
“Uang tidak berapa perlu, kuda serta pedang nona itu cukuplah…….”
“Jembel busuk! Kau buka mata serta telinga lebar.lebar! Aku adalah Sian li Eng cu, tahukah engkau? Aku adalah cucu dan juga murid Thian te Sin kiam mengertikah engkau ?”
“Maaf.. maaf…. tentu saja saya telah mendengar nama besar Thian te Sin kiam yang amat kami hormati….”
“Nah, kalau sudah tahu, lekas minggir jangan menghalangi jalan dan membuat malu saja kepadaku!”
Bentak Siok Lan memotong kata kata Yu Lee yang merendah serta membujuk pengemis itu.
Bersambung…