INIPASTI.COM – Dengan demikian maka kakek ini diserang oleh jarum-jarum berbisa tanpa dapat mangelak karena tak ada lubang lagi untuk jalan keluar.
Akan tetapi Han It Kong memang tidak mau mengelak, bahkan kini tongkatnya bergerak secara aneh mengejar bayangan suling dan ia sama sekali tidak perduli akan sinar hijau yang menyerbu ke arah sembilan pusat jalan darah di tubuh depan.
Baca juga: Pendekar Cengeng II (2)
“Tua bangka sombong, mampus kau?” teriak si iblis betina kegirangan ketika ia melihat betapa semua jarum rahasianya mengenai sasaran secara tepat sekali.
“Praakkk……. Plookkk!” Suara ini adalah suara pecahnya suling hitam disusul pukulan ketiga kalinya pada pinggul yang penuh daging, sehingga saking kaget dan nyeri si wanita iblis menjerit dan loncat jauh ke belakang.
Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia memandang. Kakek itu sama sekali tidak apa-apa dan sembilan batang jarumnya semua runtuh ke tanah begitu mengenai tubuh Han It Kong. Sebaliknya suling hitamnya kena dipukul pecah berantakan dan pinggulnya kembali kena dihajar.
“Tua bangka rusak, engkau telah menghina orang ! Biar aku mengadu nyawa denganmu hari ini !” Setelah mengeluarkan seruan bercampur isak ini Hek-siauw Kui-bo menubruk ke depan, mengembangkan kedua tangannya seperti harimau menerkam.
“Perempuan keji. Engkau masih berani bertingkah di depan Ong-ya?” Suara kakek itu menjadi keren dan galak, tangan kirinya bergerak ke depan dan ….. tubuh iblis betina itu seperti terbanting oleh tenaga dahsyat ke kiri, jatuh bergulingan di atas tanah! Ketika ia bangun sambil mengeluarkan rintihan perlahan. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak.
“Apa …… apakah saya berhadapan dengan….. Siauw-ong-ya (Raja Muda) Han It Kong yang berjuluk Sin-kong-ciang (Tangan Sinar Sakti)?’
”Tidak ada raja muda, yang ada sekarang hanya si jembel Han It Kong,” jawab kakek itu. “Engkau tidak lekas pergi dari sini?”
Hek-siauw Kui-bo menjura dan berkata. “Kali ini aku mengaku kalah, kelak masih ada waktu untuk mengadakan perhitungan lagi.” Setelah berkata demikian, iblis betina itu melompat dan terus menghilang ke dalam kesuraman fajar yang mulal menyingsing. Dari kejauhan terdengar lengking tangis yang makin lama makin menjauh dan akhirnya menghilang.
Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho-tee-kong Liong Losu yang telah sadar pula dari pingsannya, kini melangkah maju dan memberi hormat kepada kakek jembel itu.
“Sudah sejak muda pinto mendengar nama besar Sin-kong-ciang Han-siauw-ong-ya, baru sekarang dapat melihat orangnya dan menyaksitcan kesaktiannya. Sungguh pinto merasa takluk dan terimalah hormat dari Siauw-bin-mo Hap Tojin, Ong-ya !” Kata si tosu.
“Omitobud! Sebelum mati dapat bertemu muka dengan patriot besar Han tayhiap, sungguh merupakan kebahagiaan hidup!” Tho-teekong Liong Losu juga berseru memberi hormat.
Kakek jembel itu menghela napas panjang, mukanya tersembunyi di bawah topi yang lebar itu. Kemudian terdengar suaranya bernada sedih.
“Biarpun baru sekarang bertemu jiwi (tuan berdua) namun sepak terjang jiwi di samping Yu sicu sudah lama saya dengar, perjuangan kita boleh gagal seperti sudah ditakdirkan Tuhan, namun selama semangat kita, masih hidup menurun kepada anak cucu dan murid, pada suatu hari akan tiba saatnya kaum penjajah Mongol dapat terusir dari tanah air !’
Ia menghela napas lagi dan memandang ke arah peti mati Yu Tiang Sin.
“Yu sicu banyak jasanya terhadap rakyat dan negara, sayang ia terlampau banyak menanam permusuhan pribadi. Jiwi sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkan keluarganya, tidak percuma Yu sicu bersababat dengan jiwi. Sayang sekali kedatangan saya terlambat sehingga tidak dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan ini. Sungguh saya merasa tidak enak terhadap arwah Yu sicu. Untuk menebus kelalaian, biarlah saya menghabiskan sisa usia yang tak seberapa lama lagi ini untuk memberi bimbingan cucunya yang tinggal seorang ini. Yu Lee hayo ikut bersamaku !” kakek ini mengulurkan tangan kiri dan entah bagaimana, tubuh Yu Lee tahu-tahu sudah melayang dan berada dalam pondongannya.
Kemudian, sekali kakek itu menggerakkan kakinya tubuhnya sudah leyap dari depan Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho-tee kong Liong Losu!
“Ha, ha, ha ! Tua bangka Yu Tiang Sin biarpun kehilangan semua keluarganya namun benar-benar masih bernasib baik. Seorang cucunya, yang tinggal satu-satunya telah menjadi murid Sin-kong-ciang !”
“Toyu (sahabat), bagaimana kau masih bisa mengatakan sahabat kita Yu Tiang Sin bernasib baik kalau semua anak cucunya dibasmi seperti ini?”