INIPASTI.COM, MAKASSAR – Soni Sumarsono mencatatkan namanya sebagai penjabat Gubernur Sulawesi Selatan setelah masa jabatan Syahrul Yasin Limpo 9 April lalu selesai.
Tak membutuhkan waktu lama, mantan Plt Gubernur Jakarta ini mulai bekerja menjalankan roda pemerintahan di provinsi dengan 24 Kabupaten dan kota ini. Memilih waktu yang tepat untuk datang, mengenal lebih jauh karakter orang bugis makassar yang terkenal keras, ia optimis melalui semua itu dengan lancar.
Soni sapaan akrabnya tak sungkan langsung berinteraksi dengan masyarakat, bahkan dalam satu obrolan singkat dengan penjual kue khas Makassar Buroncong kala itu, Ia memperkenalkan diri sebagai penjabat gubernur disini. Ia pun dipanggil Deng Soni
“waktu itu, saya mencari buruncong untuk menikmatinya, sambil memperkenalkan diri ke masyarakat. Setelah ngobrol-ngobrol dengan penjual, saya dipanggil Deng Soni. Saya tanya itu panggilan khas sini katanya, dan enak didengar,” kata Soni.
Karena sebutan Deng Soni inilah Dirjen Otonomi Daerah, Kemendagri ingin dipanggil seperti itu, ” Saya bukan lahir di sini, tapi Tulunggangung Jawa Timur. Tapi panggil saya Deng Soni,” ujarnya
Tak berhenti disitu, Soni yang dulu pernah menjalankan tugas sebagai Pj Gubernur Sulawesi Utara punya cara tersendiri melakukan pendekatan, ke masyarakat dan juga tokoh masyarakat dan tokoh agama.
“Memimpin itu pendekatannya budaya bukan selalu harus dengan politik,” Katanya dilain kesempatan. Ia membuktikan itu, dengan budayalah, mantan Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara (BNNP) menjalankan tugas di Sulsel.
Soni pun belajar tentang empat budaya yang selalu diucapkan dibeberapa kesempatan, yaitu Sipakatau Sipakainge, Sipakalebi, Sipakatokkong. Bahkan diawal-awal inilah ungkapan yang dipelajarinya untuk diucapkan.
4S inilah yang menjadikan Soni Sumarsono berhasil memimpin Sulsel, “Salah satu seni menjadi pemimpin adalah mengenal dan dikenal oleh lingkungannya,” jelas Soni.
Soni Sumarsono, hari ini (5/9/2018) mengakhiri masa jabatannya. Ada banyak cerita, tentang rasa kepeduliannya terutama ketika masyarakatnya terkena musibah. Cerita saat menghabiskan akhir pekan dengan naik pete-pete (angkutan umum) dan kisahnya yang menyapa masyarakatnya dengan caranya sendiri.
(Iin Nurfahraeni)