INIPASTI.COM, JAKARTA – Anggota DPR Komisi VI fraksi PDIP Deddy Sitorus mengaku kesal kasus Jiwasraya dipolitisasi dan dikaitkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu.
Dia mengatakan tuduhan yang beredar tersebut tidak berdasar dan ngawur.
Deddy merespons spekulasi dugaan keterkaitan pilpres dengan kasus Jiwasraya sebab Harry Prasetyo selaku mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, pernah masuk lingkaran istana sebagai staf Kepresidenan.
Deddy meminta tudingan tersebut dipertanggungjawabkan dan membuka data atas tuduhan tersebut. Menurutnya, jika memang ada data yang sah, maka pihak yang dituduh harus siap diproses secara hukum.
“Itu kesimpulan yang kekanak-kanakan, tidak ngerti, ngomong langsung lompat ke konklusi. Itu misleading dan harus dipertanggungjawabkan,” kata Deddy di Jakarta, Minggu (29/12/2019).
Deddy mengatakan kasus Jiwasraya bukan permasalahan baru meski boroknya baru terurai akhir-akhir ini. Politikus DPR tersebut mengatakan bahwa sejak 2006 Jiwasraya sudah mengalami defisit sebesar Rp 3,2 triliun.
Menurutnya kasus Jiwasraya berlarut disebabkan oleh ketidakjelian banyak pihak. Bencana Jiwasraya sejatinya sudah dimulai sejak 1998 dengan langkah korporasi yang salah.
“Dari informasi yang saya dengar mereka (Jiwasraya) mencairkan deposito valas (valuta asing) ke rupiah padahal kurs terjun bebas, remuk dia di situ,” ujarnya.
Deddy meminta agar fokus publik dapat diarahkan secara objektif kepada lembaga pemerintahan seperti Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Akuntan Publik.
Dirinya mengaku heran manipulasi yang selama ini dilakukan tidak terdeteksi berbagai lembaga tersebut.
“Kita baru alarm saat mengalami defisit, likuiditas 3,6 triliun. Baru muncul ke publik Desember 2006, itu kemudian mereka mengalami masalah lagi tahun 2008 jadi ini persoalan panjang sekali,” jelasnya.
Sejak saat itu, kata Deddy, Jiwasraya telah melakukan manipulasi laporan keuangan atau window dressing. Hal ini dilakukan agar status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dapat diterbitkan oleh Akuntan Publik.
Borok baru diketahui sejak direksi Jiwasraya meminta Pricewaterhouse Coopers (PWC) melakukan audit tahun ini.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah isu yang menyebut bahwa dirinya memiliki hubungan keluarga dengan Hary Prasetyo, mantan direktur keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Namun, ia menyiratkan bahwa Hary memang sempat bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP).
“Ini ada yang mulai agak menyimpang jauh. Isu-isu pak Hary mantu saya, bapaknya bos saya. Tidak. tidak. Saya baru kenal pak Hary di KSP ini,” tegas Moeldoko, Senin (23/12/2019).
Beberapa waktu terakhir, isu soal Hary memiliki hubungan keluarga atau kerabat dekat Moeldoko berhembus kencang. Bahkan, KSP dan pihak istana disebut-sebut melindungi Hary dari kasus asuransi Jiwasraya.
Tidak ada Moeldoko melindungi, istana melindungi. Ya, apalagi istana. Wong saya saja tidak. KSP saja tidak, apalagi istana. Istana tidak mengerti kalau pak Hary di sini,” ungkap Moeldoko.
Kendati begitu, ia menyebut alasan KSP tahun lalu merekrut Hary lantaran prestasinya yang terbilang positif di Jiwasraya. Hary dinilai mampu membenahi keuangan si perusahaan pelat merah tersebut.
Hanya saja, Moeldoko mengaku tak tahu menahu permasalahan Jiwasraya dan keterkaitan Hary. Ketika nama Hary disebut-sebut tersangkut masalah Jiwasraya, Moeldoko menyebut langsung memberhentikannya dari KSP.
“Kami bertetapan tidak lagi merekrut yang bersangkutan untuk melanjutkan di periode KSP kedua,” jelas Moeldoko.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Adi Toegarisman mengatakan, ada calon tersangka kasus dugaan korupsi dibalik defisit anggaran Jiwasrsya hingga merugikan negara. Kejagung sudah mulai melakukan penyidikan.
“Kalau namanya kasus, pasti ada calon tersangka, tapi kapan sampaikan ada SOP ketika fakta dan alat bukti sudah ada kepastian, dan kita tentukan siapa tanggung jawab pasti nanti,” tutur Adi.
Sementara, Jaksa Agung, ST Burhanuddin lalu menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan penyidikan sejak 17 Desember lalu. Dari proses penyidikan itu, Kejagung menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya.
Temuan pertama, penempatan 22,4 persen saham sebesar Rp5,7 triliun dari aset finansial.
Sebanyak 95 persen dari Rp5,7 T itu ditempatkan pada perusahaan dengan kinerja buruk. Sisanya pada perusahaan dengan kinerja baik (berbagai sumber)
(syakhruddin)