INIPASTI.COM – Empat tahun lalu, pemuda di Distrik Bibida, Kabupaten Paniai, Papua, menolak pembangunan pos Koramil. Mereka khawatir kampung mereka menjadi pusat konflik bersenjata antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Kekhawatiran itu kini menjadi kenyataan. Sejak April, ribuan warga Bibida terpaksa mengungsi demi keselamatan.
Pada 14 Juni, TNI dan kepolisian memasuki Distrik Bibida dalam kondisi siap tempur. Mereka membawa senjata dan menggunakan truk serta kendaraan taktis. Kehadiran mereka mengejutkan warga sipil, termasuk Lukas Yatipai, yang mendengar suara helikopter dan tembakan.
Dilansir dari BBC News, Warga keluar dari rumah, sebagian menuju hutan, dan sebagian mencari perlindungan di gereja. Perempuan, anak-anak, dan laki-laki dewasa meninggalkan Bibida dalam berbagai rombongan. Dua remaja Papua ditangkap sebagai saksi penembakan pesawat di Yahukimo, yang memicu tuduhan bahwa aparat merendahkan martabat manusia.
Lebih dari 2.000 warga mengungsi akibat konflik bersenjata ini. Mereka mencari perlindungan di Gereja Katolik Salib Suci, serta rumah kerabat di sekitar Paniai dan hutan. Pastor Herman Betu mengatakan bahwa kehadiran aparat menyebabkan ketakutan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Situasi di Bibida dan Madi—pusat pemerintahan Paniai—sangat mencekam dengan patroli aparat bersenjata lengkap.
Pengurus gereja bersama sejumlah laki-laki dewasa mengambil inisiatif untuk mengawasi gereja. Gelombang pengungsian terus berlanjut hingga 18 Juni, dengan lebih dari 2.000 orang meninggalkan Bibida. Sebagian warga bergabung dengan pengungsi lain di Gereja Katolik Santo Stefanus Jayanti di Kabupaten Nabire, berjarak sekitar 250 kilometer dari Bibida.
Konflik Bersenjata di Paniai ; Bibida adalah salah satu dari 24 distrik di Paniai, dengan luas 450 kilometer persegi. Mayoritas penduduknya adalah pekebun yang hidup dengan sistem kebun berpindah dan berburu. Wilayah ini termasuk dalam kategori kemiskinan ekstrem.
Pada akhir 2021, pemuda Bibida menolak pembangunan pos Koramil karena khawatir menciptakan konflik baru. Penolakan ini terjadi setelah pelantikan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, yang mengusulkan strategi teritorial dan pendekatan sosial di Papua. Strategi ini mencakup pembentukan delapan kodim dan belasan koramil baru di seluruh Papua.
Meskipun Kepala Distrik Bibida mengklaim bahwa masyarakat setuju memberikan tanah untuk pembangunan koramil, mahasiswa Bibida menyatakan ketidaksetujuan mereka. Mereka khawatir pembangunan koramil akan menciptakan konflik dan mengorbankan warga sipil.
Konflik bersenjata antara aparat dan TPNPB telah terjadi di sejumlah distrik di Paniai. Pada 10 April, TPNPB membunuh Komandan Koramil Aradide, yang memicu patroli besar-besaran di Distrik Paniai Timur. Pada 11 Juni, TPNPB menembak seorang laki-laki bernama Rusli di Distrik Bibida, yang diduga sebagai anggota TNI.
Kedatangan pasukan bersenjata TNI-Polri pada 14 Juni memicu gelombang pengungsian massal. Warga yang mengungsi tidur beralaskan tikar dan terpal, dengan bantuan makanan dari pemerintah setempat. Sejumlah pengungsi mengalami masalah kesehatan akibat perjalanan keluar dari Bibida.
Anggota DPRD Paniai, Marten Tenouye, menggelar dialog untuk mencari solusi konflik bersenjata. Dia menuding TPNPB sebagai penyebab ketidakamanan di Paniai. Namun, Sebby Sambom dari TPNPB membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa mereka berjuang untuk rakyat Papua dan tidak menebar teror.
Seorang warga Bibida mengatakan bahwa mereka akan kembali ke kampung jika situasinya aman dan aparat tidak lagi memasuki kampung. Hingga saat ini, ribuan warga masih mengungsi, berharap adanya solusi damai untuk mengakhiri konflik bersenjata di Paniai (sdn)