INIPASTI.COM – Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman, lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918, berasal dari keluarga yang cukup mapan. Ia menempuh pendidikan di HIS Wonosobo dan melanjutkan ke MULO Yogyakarta pada 1932.
Setelah ayahnya wafat, Parman melanjutkan pendidikan menengah di AMS Yogyakarta pada 1937, sambil mengembangkan minat dalam seni budaya, terutama wayang.
Atas dorongan orang tua, S. Parman melanjutkan studi kedokteran di GHS Jakarta pada 1939. Namun, pendidikannya terhenti ketika pasukan Jepang menduduki Indonesia pada 1942.
Di masa pendudukan, ia bekerja sebagai penerjemah untuk Kempetai dan belajar ilmu intelijen., sebagaimana di lansir di laman Republik.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, S. Parman aktif dalam pembentukan Badan Pengawas Undang-Undang (BPU) dan berperan penting dalam merebut persenjataan serta gedung-gedung yang dikuasai Jepang di Yogyakarta, termasuk Gedung Agung dan tangsi Butai Masse.
Menurut laman resmi Kemendikbudristek, S. Parman turut mendirikan Markas Besar Badan Keamanan Rakyat (MBBKR) di Yogyakarta dan menjabat sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara.
Kariernya sempat terganggu oleh tuduhan keterlibatannya dalam Pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, karena kakaknya, Ir. Sakirman, terlibat dalam peristiwa tersebut.
Namun, tuduhan ini tidak terbukti, dan S. Parman kembali aktif di ketentaraan, termasuk berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk merebut Yogyakarta dari tangan Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, S. Parman menjabat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Pada 1950, ia berperan dalam penumpasan Pemberontakan APRA di Bandung dan Jakarta.
Kariernya terus menanjak hingga ia menjadi Komandan CPM dan kemudian Kepala Staf Umum III Angkatan Darat. Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, S. Parman mendukung Jenderal AH Nasution.
Pada 1962, S. Parman diangkat sebagai Asisten I Bidang Intelijen Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal. Dua tahun kemudian, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Ia dikenal sebagai penentang keras PKI, termasuk rencana pembentukan “Angkatan Kelima,” yaitu upaya mempersenjatai kelompok buruh dan tani. Sikap ini menjadikannya target dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Pada dini hari 1 Oktober 1965, S. Parman diculik oleh pasukan berseragam Cakrabirawa dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana, bersama enam perwira tinggi lainnya, ia dibunuh.
Jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. S. Parman dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta pangkat anumerta, sesuai Keputusan Presiden tanggal 5 Oktober 1965 (sdn)