INIPASTI.COM, MAKASSAR – Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan nasional yang dikenal dengan memimpin perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda sejak tahun 1825 hingga 1830 silam.
Menurut Raja Gowa ke 37 I Maddusila Dg Manyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II, Ayahnya Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin pernah menolak keras rencana Sri Sultan Hamengku Buwono IX memindahkan makam Pangeran Diponegoro di Jogjakarta.
“Pernah ayah saya saat kunjungan raja-raja ke Jogja, bercerita bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX pernah merencanakan makam Pangeran Diponegoro yang ada di Makassar dipindahkan ke Jogjakarta, namun Ayah saya Karaeng Idjo menolak keras usulan Hamengku Buwono IX,” ujarnya, Minggu (8/1/2017).
Dikatakan Maddusila, Karaeng Andi Idjo Ayahnya yang menolak usulan tersebut karena dikhawatirkan sejarah perjuangan pangeran Diponegoro di Makassar bakal lenyap.
“Jika dipindahkan sejarahnya akan hilang di Makassar,” kata Maddusila.
Menurut sejarahnya, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong.
Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 jutagulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Pangeran Diponegoro yang tertangkap oleh Kolonial Belanda di tahun 1830 silam kemudian diasingkan di Benteng Amsterdam Manado di tahun yang sama. Karena alasan penjagaan dan ruang Benteng Amsterdam yang kurang memadi, Pahlawan Nasional yang berasal dari Yogyakarta ini pun dipindahkan ke Fort Roterdam Makassar di tahun 1833.
Ia meninggal saat pengasingannya di kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun.