Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Menarik sejumlah tulisan pakar tentang budaya integritas akademik. Ini mengisyaratkan keprihatinan dan kegundahan sejumlah pakar akan mal-budaya integritas akademik dalam dunia pendidikan pada semua tingkatan.
Keprihatinan dan kegundahan sejumlah pakar tersebut adalah representasi keprihatinan pemerhati dan pecinta integritas, atas tayangan perilaku ketidakjujuran akademik (academic dishonesty) yang masih banyak terjadi di kalangan akademisi, termasuk yang dipertontonkan oleh seseorang yang menyandang gelar profesor sekalipun. Ketidakjujuran akademik adalah suatu tindakan atau perilaku seseorang yang meminjam dan menyalin tugas dari orang lain, menyalin jawaban pada saat ujian, dan memperoleh tugas atau soal ujian dari semester sebelumnya. Perilaku yang dapat dilakukan adalah dengan cara menuliskan jawaban ujian pada bagian tubuh yaitu pada kaki atau tangan, pakaian, kertas, dinding, meja atau kursi, serta menggunakan kode-kode tertentu untuk bertukar jawaban dengan teman lain, hal tersebut bertujuan untuk memajukan diri mereka pada ujian (Koss, 2011).
Ragam Ketidakjujuran Akademik
Beberapa waktu lalu, dunia akademik dihentakkan oleh peristiwa kecurangan akademik yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Rektor UNJ diduga melakukan penyelewengan program akademik, manipulasi nomor induk maupun absensi, hingga indikasi plagiarisme di tingkat doktoral yang juga melibatkan lulusan berstatus pejabat negara (Utama, 2017; Kurniawati, 2017). Tidak hanya itu, jika melihat beberapa tahun sebelumnya, kasus kecurangan dalam dunia akademik ternyata banyak sekali terjadi. Bentuk kecurangan dan ketidakjujuran akademik yang terjadi sepanjang tahun 2010-2014 antara lain, plagiarisme tugas akhir disertasi, plagiarisme artikel surat kabar oleh dosen, plagiarisme makalah oleh alumni, plagiarisme buku yang dilakukan oleh guru besar, plagiarisme karya tulis yang dilakukan oleh calon guru besar, plagiarisme oleh rektor, penerbitan hasil penelitian orang lain oleh wakil rektor, dan masih banyak lagi (Lestarini, 2014).
Ketidakjujuran akademik tampaknya tidak hanya terjadi di kalangan dosen atau tenaga pendidik saja, namun juga pada mahasiswa. Whitley (Mustapha, Hussin, Siraj, & Darusalam, 2016) menyebutkan bahwa rata-rata 70,4% siswa melakukan kecurangan akademik, 43,1% menyontek dalam ujian, 40,9% menyontek pada tugas rumah, dan 47% melakukan plagiarisme pada tugas-tugas yang diberikan, dimana perilaku-perilaku tersebut merupakan bagian dari empat area ketidakjujuran akademik menurut Pavela (Lambert, Hogan, & Barton, 2003) (Hazhira Qudsyi, Achmad Sholeh, dan Nyda Afsari, 2018).
Penelitian Prayoga dan Qudsyi (2015) terhadap 253 mahasiswa, menunjukkan bahwa ketidakjujuran akademik banyak terjadi dalam berbagai bentuk pada mahasiswa. Bentuk ketidakjujuran tersebut dapat dilihat dari menggunakan catatan untuk mengerjakan tes tanpa izin pengawas (6%), menyalin hasil pekerjaan siswa lain saat ujian berlangsung (7.1%), melakukan kecurangan untuk me-ngetahui apa yang akan diujikan dalam ujian (7.1%), menyalin pekerjaan siswa lain saat ujian berlangsung (8.3%), membantu orang lain untuk melakukan kecurangan pada saat ujian (12.3%), melakukan kecurangan pada saat ujian dengan berbagai cara (5.9%), menyalin pekerjaan orang lain dan mengakuinya sebagai hasil pekerjaan sendiri (7.1%), memalsukan referensi (13.9%). Tidak berhenti sampai di situ, ketidakjujuran akademik juga dilakukan mahasiswa dalam bentuk meminta orang lain mengerjakan tugas yang diberikan (9.9%), menerima bantuan saat mengerjakan tugas individu di saat hal tersebut tidak diizinkam (17.4%), mengerjakan tugas dengan bantuan orang lain (19.4%), menyalin kalimat orang lain tanpa mencantumkan nama penulisnya (18.6%) (Prayoga & Qudsyi, 2015) (Hazhira Qudsyi, Achmad Sholeh, dan Nyda Afsari, 2018).
Data di atas telah menunjukkan, bahwa ketidakjujuran atau rendahnya sikap integritas masih banyak terjadi di kalangan akademisi, kalangan yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan norma yang berlaku. Rendahnya sikap integritas tersebut mengarah pada implementasi korupsi dalam dunia pendidikan. Apabila hal ini dibiarkan, maka sangat dimungkinkan perilaku ketidakjujuran ini akan berlanjut, meski sedang tidak berada dalam sistem pendidikan. Melihat hal ini, tentu menjadi hal yang sangat penting mencari solusi untuk meminimalkan terjadinya perilaku ketidakjujuran, khususnya pada konteks akademik (Hazhira Qudsyi, Achmad Sholeh, dan Nyda Afsari, 2018).
Menghindari Ketidakjujuran Akademik
Tidak sedikit faktor yang turut mempengaruhi ketidakjujuran akademik. McCabe dan Trevino (1997) memaparkan bahwa terdapat dua faktor utama yang memengaruhi perilaku ketidakjujuran akademik, yakni faktor individu dan faktor kontekstual. Faktor individu mencakup usia, gender, prestasi akademik, pendidikan orangtua, partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan religiusitas. Sementara itu, faktor kontekstual mencakup perilaku kelompok di lingkungan (peer behavior), ketidaksetujuan lingkungan teman sebaya (peer disapproval), pengaduan teman sebaya (peer reporting), serta berat-ringannya hukuman yang diterima (McCabe 83 & Trevino, 1997 dalam Hazhira Qudsyi, Achmad Sholeh, dan Nyda Afsari, 2018).
Untuk menghindari ketidakjujuran akademik perlu dikembangkan budaya kejujuran akademik. Sejumlah penelitian yang menunjukkan upaya untuk mengatasi ketidakjujuran akademik, diantaranya : penggunaan software anti-plagiat (Ledwith & Risquez, 2008), penerapan cognitive dissonance intervention (Vinsk & Tryon, 2009); penerapan Classroom control technique (Housser, 1982); mengungkap efek direct knowledge and attitude terhadap ketidakjujuran akademik (Rourke, dkk, 2010).
Secara umum penelitian-penelitian yang berupaya mengatasi ketidakjujuran akademik dapat dibedakan menjadi dua, yang melibatkan faktor eksternal (software anti-plagiat dan classroom control technique) dan faktor internal (cognitive dissonance intervention dan direct knowledge and attitude). Di Indonesia upaya-upaya untuk mengatasi ketidakjujuran akademik lebih pada kontrol eksternal seperti, pengawasan ujian, tata tertib ujian dan hukuman (S. Khorriyatul Khotimah, Mohamad Ivan Fadhli, dan Yasin Habibi, 2017).
Selain itu, perlu mempertimbangkan pentingnya upaya untuk mencegah dan atau mengatasi ketidakjujuran akademik, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah meningkatkan penalaran moral. Pertimbangan moral individu didasarkan kontrol internal atau nilai-nilai internal yang diyakini. Demikian pula dengan ketidakjujuran akademik, kontrol eksternal akan efektif jika individu masih di level rendah, dan sebaliknya, semakin tinggi level penalaran moral individu, maka akan semakin tinggi regulasi internalnya (Debora, 2018).
Ketidakjujuran Akademik sebagai Dosa
Bagi para filsuf, dosa adalah apa saja perbuatan yang merugikan orang lain, dan ia bersifat sangat relatif tentunya (Sujani, 2018). Secara psikologi, dosa adalah sesuatu yang terasa salah dalam hati apabila kita mengerjakannya dan tidak senang atau takut jika ada orang lain yang mengetahuinya (Alang Adid, 2013).
Bentuk “dosa” dalam lingkungan sekolah, hadir dalam wajah perilaku ketidakjujuran dalam konteks pendidikan. Pertama, plagiarisme (plagiarism) yakni sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata, dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan nara sumbernya. Kedua, plagiarisme karya sendiri (self plagiarism). Menyerahkan atau mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang berbeda tanpa ijin atau tanpa memberitahu guru yang bersangkutan. Ketiga, manipulasi (fabrication). Pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun. Keempat, pengelabuan (deceiving). Memberikan informasi yang keliru, menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya, memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali belum menyerahkannya. Kelima, menyontek (cheating). Berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru. Keenam, sabotase (sabotage). Tindakan untuk mencegah dan menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di perpustakaan, ensiklopedi, dll, atau secara sengaja merusak hasil karya orang lain (Sujani, 2018).
Menurut PJ Palmer, The Courage to Teacher. Exploring the Inner Landscape of a Teacher’s Life (Ahmad Usman, dkk. 2020), ada empat proses fragmentasi, disorientasi, dan distorsi dalam dunia pendidikan dan kehidupan guru. Pertama, pendidik memisahkan kepala dari hatinya. Akibatnya, akal budi tidak tahu bagaimana merasakan, dan hati tidak tahu bagaimana bernalar. Kedua, pendidik memisahkan fakta dari perasaan. Akibatnya hanya fakta-fakta yang mati, kaku, beku, dan bisu, yang ia paparkan. Ketiga, guru memisahkan antara teori dan praksis. Akibatnya, yang diajarkan di sekolah hanyalah teori yang tidak ada hubungannya dengan praksis kehidupan. Keempat, guru memisahkan antara pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning). Akibatnya, guru yang berbicara, murid yang hanya mendengarkan.
Semoga !!!