Oleh : Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Taufik Ismail menggubah puisinya dengan apik. Masih mempersoalkan budaya malu yang saban waktu kian terkikis.
”Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia”.
“…Indikator kian terkikisnya budaya malu itu semakin santer terlihat memang di republik ini. Orang tidak malu lagi melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Melakukan sesuatu yang tidak benar dianggap menjadi hal yang lumrah. Roh budaya malu kian terpinggirkan dari ranah kehidupan keseharian masyarakat kita. Bahkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menilai rasa malu di tengah masyarakat semakin merosot” (Dhandhagulla dalam Usman, 2023).
Rasa malu dan bersalah merupakan fenomena yang berbeda pada setiap budaya. Mengutip disertasi Seger Breugelmans di Universitas Tilburg, Belanda, berjudul Cross-cultural Non (Equivalence) in Emotion: Studies of Shame and Guilt (2004), bangsa Barat dan Timur punya persepsi berbeda atas rasa malu. Masyarakat Eropa (studi di Belgia) mengaitkan rasa malu dengan sesuatu yang bersifat normatif, benar atau salah berdasar norma yang berlaku. Sementara masyarakat Timur (studi di DI Yogyakarta) menempatkan rasa malu berdasar relasi sosialnya, apakah bisa diterima atau ditolak lingkungannya. Bukan perkara benar-salah. Ukurannya patut atau tidak secara sosial. Rujukannya, apakah perbuatan itu biasa dilakukan orang lain di lingkungannya atau tidak (Hidayat, 2014).
Dalam artikel ini penulis memfokuskan diri mempersoalkan budaya malu, khususnya di kalangan guru. Pribadi yang “digugu dan ditiru”. Sejarah perjalanan manusia tidak lepas dari guru dan belajar. Istilahnya “Tiada kehidupan tanpa disentuh oleh guru” dan “Tiada kehidupan tanpa belajar”. Kenapa? Setiap jengkal kehidupan kita adalah belajar untuk mengerti dan lebih mengerti, baik itu lewat bimbingan maupun pengalaman.
Berguru itu banyak, bisa ke mana-mana. Sejarahnya setiap manusia itu berguru, dimulai dari berguru pada guru mati, yang artinya belajar dari prasasti, buku, kitab, literatur, bahkan seni, yang sifatnya komunikasi satu arah. Lalu berguru kepada guru hidup, seperti berguru kepada: orang tua, guru di sekolah, pemuka agama, pada masyarakat, yang sifatnya dua arah komunikasinya.
Ada ungkapan kolonial “hoe groter geest, hoe groter beest”, yang berarti “makin beradab makin biadab”. Selanjutnya bahwa “het begin van alle opvoeding is zelfopvoeding”, yang berarti: “permulaan dari segala pendidikan ialah mendidik diri sendiri (terlebih dulu). Mendidik diri sendiri terlebih dahulu “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Rasa malu pada hakekatnya tidak terlepas dari kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik melakukan hara-kiri dari pada harus menanggung malu. Paruh kedua September 2008 menteri pertanian Jepang mengundurkan diri akibat permasalahan beras yang tercemar pestisida dan jamur. Selang beberapa hari kemudian menteri transportasi juga mundur akibat serangkaian pernyataannya yang membuat gusar berbagai pihak. Di negara lain yang dengan sistem demokrasi sudah mapan, juga sering terjadi kasus pengunduran diri pejabat negara.
Budaya Malu
Di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan tempat-tempat semacamnya kita sering menjumpai slogan ‘Tumbuhkan Budaya Malu’ dengan butir-butir malu. Lalu, apakah arti dari budaya malu tersebut? Budaya artinya hal yang sering dilakukan atau kebiasaan sehari-hari.
Rasa malu adalah perasaan canggung seseorang bila berada di depan umum. Akan tetapi, rasa malu dapat dipandang dari berbagai perspektif. Seperti, dari perspektif psikologi, sosiologis, filosofis, atau teologis. Oleh karena itu pengertian rasa malu dibentuk oleh perspektif atau bidang (disipilin ilmu) yang digunakan.
Dalam istilah Islam sikap malu ini disebut haya’ (Arab: al-haya’). Dalam KBBI, malu bisa berarti: 1) merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb); 2) segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dsb; dan 3) kurang senang (rendah, hina, dsb). Malu yang merupakan salah satu akhlak mulia adalah malu untuk berbuat sesuatu yang kurang baik, hina, atau rendah. Orang yang malu di sini adalah orang yang tidak mau melakukan perbuatan salah dan hina yang dapat merendahkan dirinya di mata orang lain.
Beberapa definisi rasa malu dalam “Shorter Oxford Dictionary”: cepat menjadi takut; sulit melakukan pendekatan akibat perasaan takut, sikap hati-hati atau rasa tidak percaya; takut untuk mengikatkan diri pada rangkaian tindakan tertentu; berhati-hati, enggan, segan; menolak mengakui suatu prinsip atau mempertimbangkan suatu persoalan; suka menyendiri; hati-hati dalam bicara; jauh dari perasaan menonjolkan diri; secara sensitif penakut.
Malu dalam bahasa Belanda, seperti diungkapkan YB Mangunwijaya dalam Ragawidya (1986), adalah oost indisch doof. Secara harfiah diartikan sebagai tuli gaya Hindia Timur. Ungkapan ini kemudian, seperti diulas Adi Ekopriyono—kolumnis pada sebuah media massa nasional—biasanya ditujukan kepada seseorang, yang sebenarnya sadar bahwa dirinya dipanggil, namun pura-pura tidak mendengar.
Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah jika melakukan suatu perbuatan. Karena itu di dalam bahasa Inggris ‘ashamed’ atau malu diartikan dengan ‘troubled by guilty feeling,’ atau merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah.
Dalam Islam “malu” juga menjadi aksentuasi yang kerap diperbincangkan. Sebab sifat malu memegang peranan penting dalam pembentukan karakter akhlak muslim, yang menjadi salah satu tujuan dasar Islam, “Innama Bu’istu Liutammima Makarimal Akhlak” (sesungguhnya Aku (Nabi Muhammad SAW) diutus untuk memperbaiki akhlak manusia).
Artinya seorang muslim sejati sangat malu terhadap Allah, Rasulullah, dan terhadap dirinya sendiri jika melakukan perbuatan yang tercela. Bahkan dalam Islam “malu” juga menjadi landasan keimanan pribadi seorang muslim. Dalam sebuah hadits dikatakan “al-Hayaa u minal Iman”. Malu itu sebagian dari iman.
“Malu” ialah kemampuan menolak melakukan sesuatu (tindakan) karena dianggap tidak pantas, berdosa, dan membawa aib bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun bagi masyarakatnya. Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. Hakikat malu itu sendiri adalah sikap yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatannya yang buruk. Malu adalah akhlak yang memotivasi setiap individu untuk menanggalkan perbuatannya yang tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji ataupun dosa.
Malu adalah satu perasaan negatif yang timbul dalam diri seseorang akibat daripada kesadaran diri mengenai perlakuan tidak senonoh yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Malu adalah bentuk perasaan penyadaran bahwa segala sesuatu memiliki nilai, tolok ukur dan konsekuensi (Nirwan Abie, 2012).
Malu adalah suatu hal di mana kita diliputi oleh perasaan sangat tidak enak di hati yang disebabkan oleh merasa hina, rendah, tak mampu, ataupun karena ketahuan berbuat sesuatu yang kurang baik menurut norma, berbeda dengan kebiasaan, atau mempunyai cacat atau kekurangan lainnya.
Kata “malu” banyak diperbincangkan dari dulu sampai sekarang. Bahasan “malu” tidak hanya dibicarakan dalam ruang lingkup religi (agama), tapi sudah meluas ke segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik dan kepemimpinan yang kian sering terdengar di telinga kita belakangan ini.
Budaya artinya hal yang sering dilakukan atau kebiasaan sehari-hari. Sedangkan malu mempunyai arti merasa tidak enak hati. Pengertian malu menurut bahasa ialah perubahan dan peralihan sikap manusia karena takut atau khawatir terhadap sesuatu perbuatan yang menyebabkan dirinya dicela orang lain. Menurut syara’ yang dsebut dengan malu adalah peringai yang membangkitkan seseorang untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan mencegah dirinya dari kelengahan terhadap hak yang menjadi milik orang lain. Malu ini termasuk ke dalam golongan kesempurnaan akhlak dan kegemaran kepada sebutan baik. Orang yang tidak mempunyai rasa malu pasti rendah akhlaknya dan tak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Jadi, budaya malu mempunyai arti membiasakan diri untuk mempunyai rasa malu terhadap hal-hal yang negatif. Budaya malu (shame culture) merupakan budaya di mana seseorang melakukan sesuatu atas dasar malu. Sedangkan, budaya tidak malu (guilt culture) adalah budaya di mana seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa tahu dirinya, tahu bagaimana kodratnya sebagai manusia. Budaya ini menghubungkan pelakunya dengan rasa sadar akan dosa (Arjenia Tona Arman, 2012).
Dalam ilmu antropologi, lazim dibedakan antara budaya malu (shame culture) dan budaya bersalah (guilt culture). Budaya malu bertalian dengan rasa hormat, kewajiban, negeri, kejayaan, kesetiaan, pujian, nama baik dan reputasi, serta menyatu dengan identitas kelompok. Budaya malu sarat merujuk pada the conventional perception of right or wrong. Sebab itu, gagasan tentang budaya malu, belum mampu meredam ketamakan seseorang untuk meraup keuntungan secara legal. Pada sisi lain, budaya bersalah lebih menekankan pada tanggung jawab individu, terutama pada stigma sosial atau justifikasi sosial terhadap sebuah perbuatan (Arjenia Tona Arman, 2012).
Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Budaya malu adalah benteng terakhir untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang melanggar moral, etika, norma dan hukum.
Pandangan yang Berbeda
Setiap orang yang normal mempunyai perasaan malu. Tetapi setiap masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda mengenai malu. Sehubungan itu, pendapat mengenai apa yang dimaksudkan malu, apa yang mendatangkan malu serta tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi perasaan malu berbeda-beda dari satu masyarakat ke satu masyarakat yang lain. Ini adalah karena dalam konsep malu dan segan ini sebenarnya terkandung satu sistem nilai dan kepercayaan sebuah masyarakat itu.
Malu adalah satu perasaan negatif yang timbul dalam diri seseorang akibat daripada kesadaran diri mengenai perlakuan tidak senonoh yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Malu dalam masyarakat mempunyai tiga lapis pengertian, yaitu: (1) malu sebagai perasaan; (2) malu sebagai tanda harga diri; dan (3) malu sebagai fungsi kawalan sosial.
Merasa bersalah lebih menekankan pada kesalahan pada perilaku negatif yang berkaitan dengan lingkungan sekitar; namun merasa malu lebih merupakan perasaan rendah diri di kala ia dianggap melakukan kesalahan, terlepas apakah benar-salahnya anggapan tersebut. Atas dasar itu perasaan bersalah lebih menekankan pelakunya untuk menghentikan perilaku buruknya; sedang perasaan malu lebih menekankan seseorang untuk bisa menjaga citra diri lebih baik dari sebelumnya.
Rasa malu bisa tercipta, karena: pertama, atas dasar pemahaman diri sendiri tentang perasaan bersalah. Kedua, berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam lokal budaya tertentu. Ini biasanya disebut dengan moral. Ketiga, lahir dari pemahaman atas doktrin ketuhanan.
Bila seorang tidak mampunyai rasa malu, ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat perilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa.
Guru dan Budaya Malu
Menghilangkan budaya malu yang bukan pada tempatnya akan membuat seorang guru semakin profesional dalam bersikap. Sebaliknya menumbuhkan budaya malu dalam hal yang menghambat produktivitas akan membuat guru jadi contoh untuk muridnya.
Budaya malu yang mana yang mesti dihilangkan dan budaya malu yang mana yang mesti ditumbuhkan?
Budaya malu yang mesti dihilangkan dari seorang guru, yakni (1) hilangkan budaya malu bertanya dan memberi ide saat rapat; (2) hilangkan budaya malu untuk mempertanyakan dengan cara yang baik mengenai kebijakan sekolah yang guru merasa kurang tepat; (3) hilangkan budaya malu belajar pada yang lebih muda, dari guru yunior atau bahkan dari siswa sendiri; dan (4) hilangkan budaya malu ketika meminta maaf kepada murid (Agus Sampurno, 2011).
Budaya malu bagi para pendidik (Teluwolu Jaya, 2013), yakni: (1) Budaya malu jika seorang pendidik tidak mempersiapkan diri sebelum mengajar, tidak belajar sebelum mengajar, dan tidak mau tahu keadaan siswa sebelum mengajar. Apakah kita sebagai pendidik tidak merasa malu pada diri sendiri, malu pada stempel profesi yang tertulis di dada kita, malu pada anak-anak yang meremehkan kita; (2) Budaya malu jika mendidik hanya untuk memberi ilmu, bukan etika dan sopan santun. Untuk apa anak-anak itu pintar jika tidak memiliki etika dan sopan santun. Apa kita tidak malu mendengar anak juara umum di sekolah X tawuran, mengucapkan kata kotor, tidak menghormati orang lain. Maka kita akan malu mendengar kata-kata “disekolahkan kok tidak punya etika”; (3) Budaya malu menerima gaji bersih tapi jarang masuk kelas. Memangnya tidak malu makan uang hasil jerih payah orang lain, tapi kita hanya duduk santai tanpa bekerja. Malah menuntut gaji, kita nomor satu. Berlomba sertifikasi, tapi kok ke sekolahnya jarang. Mau duitnya saja. wah… Sangat tidak pantas. (4) Budaya malu tidak menghargai diri sendiri. Bukankah kita malu jika kita seorang pendidik, tapi tidak perduli dengan pendidikan anak dan keluarga sendiri. Bagaimana kita mendidik, jika dari diri kita sendiri tidak terlaksana. Kita bicara kepada anak-anak jangan merokok, tetapi di hadapan mereka kita merokok (Anonim dalam Usman, 2013).
Budaya malu yang mesti ditumbuhkan dari seorang guru, yakni: (1) malu menunjuk seseorang yang punya ide saat rapat sebagai satunya pelaksana dari ide yang ia berikan. Biasa disebut ‘usul-mikul’ atau ‘jarkoni’ (sing ujar, sing nglakoni); (2) malu terlambat datang ke sekolah, saat rapat dan saat ‘dead line’ pengumpulan administrasi; (3) malu berbicara ‘di belakang’, bergosip saat ada kebijakan sekolah atau pimpinan yang tidak pas di hati; (4) malu mengajar asal-asalan di kelas; (5) malu mengajar tanpa persiapan; (6) malu bicara pada orang tua siswa tanpa data atau bukti yang cukup mengenai keluhan kita pada anaknya; (7) malu kerja sendirian sebagai komunitas di sebuah sekolah; (8) malu membicarakan orang tua siswa sebagai gunjingan antar sesama guru; (9) malu berharap diberikan sesuatu oleh orang tua murid saat hari raya; (10) malu kelas dan sekolahnya kotor, sampah di mana-mana; (11) malu menyalahkan siswa; (12) sebagai biang ribut di kelas tanpa mawas diri, seberapa menariknya cara mengajar kita; (13) malu berpakaian gak ‘matching’ saat datang ke sekolah; (14) malu mengobrol sesama rekan guru topiknya cuma seputar status kepegawaian dan sertifikasi; (15) malu memberi label atau sebutan pada siswa seenaknya tanpa memikirkan perasaan siswa tersebut; (16) malu menggunakan LKS yang tidak jelas juntrungannya apalagi sampai kongkalikong dengan penerbit; (17) malu memakai sosial media cuma untuk keperluan berteman tanpa menjadikannya sebagai sarana belajar kembali; (18) malu jika muridnya berkata kotor di sosial media; (19) malu terpancing dan ikutan marah pada orang tua siswa yang marah pada kita; (20) malu sengaja ’menggunakan sendal di sekolah’; (21) malu bicara di’belakang’ ketika sedang ada urusan yang belum terselesaikan; (22) malu mengeluh di event kumpul sesama guru mengenai kondisi sekolah dan muridnya tanpa bilang usaha yang telah dilakukan; (23) malu tidak masuk mengajar tanpa memberikan ‘cover lesson’ pada guru lain untuk murid kita; (24) perlu budaya malu jika siswa dilarang aktifkan ponsel, tapi guru asyik ketak-ketik ponselnya di depan kelas; (25) malu jadikan ruang guru ajang debat kusir membicarakan kondisi politik atau sejenisnya; (26) malu jika menjadi guru yang dikejar hanya status PNS-nya saja, setelah dapat terus santai; dan (27) malu memberi sebutan pada siswa seenaknya tanpa memikirkan perasaan siswa (Agus Sampurno, 2011).
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh guru pemalu? Antara lain yang dapat dilakukan adalah (1) mengetahui penyebab rasa malu yang kronis, (2) membangun rasa percaya diri dengan mengerjakan sesuatu yang menantang, (3) belajar menerima dan menyukai diri sendiri atau jadilah diri sendiri, (4) belajar untuk tegas dalam merespon, (5) keluarlah dari ”persembunyian” dan mulailah untuk kontak dengan orang lain sekarang juga, (6) belajarlah seni berbincang-bincang dengan orang lain, (7) mengamati orang-orang yang sukses dan pelajarilah teknik dalam membangun hubungan dengan orang lain, dan (8) menghindari keinginan menjadi perfeksionis (Anonim dalam Usman, 2013).
Budaya malu akan menjadi inspirasi terbentuknya karakter sikap dan perilaku yang mengedankan pada prinsip nilai yang dijunjung bersama.
Semakin Terkikis
Dalam praktek di kehidupan masyarakat budaya malu semakin hari semakin terkikis dan menipis. Sebabnya karena orang lebih mengutamakan kepentingannya sendiri, ingin lebih cepat dan mudah, tanpa peduli tindakannya merugikan orang lain atau tidak. Yang sederhana di jalan-jalan yang sibuk, adalah suatu pemandangan yang biasa jika motor-motor naik ke trotoar, mengambil jalur pejalan kaki. Yang mengherankan, justru para pengendara sepeda motor itu marah, jika ada orang pejalan kaki yang menghalangi motornya, padahal sebenarnya motornya yang salah dan tidak berhak mengambil jalur pejalan kaki. Rasa malunya sudah lenyap, ditutupi kepentingannya sendiri.
Rasa malu yang berakar pada martabat, harga diri atau dignity perlu terus dibangun dan dikembangkan agar semakin tertanam dalam sanubari anak-anak bangsa.
Rasa malu bagi seseorang merupakan daya kekuatan yang mendorongnya berwatak ingin selalu berbuat pantas dan menjauhi segala perilaku tidak patut. Orang yang memiliki watak malu adalah orang yang cepat menyingkiri segala bentuk kejahatan. Sebaliknya, yang tidak memiliki rasa malu berarti ia akan dengan tenang melakukan kejahatan, tidak peduli omongan, bahkan, cercaan orang lain. ”Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu,” begitu mottonya.
Malu yang sehat adalah malu yang membuat seseorang mampu mengevaluasi dirinya dengan baik dan melakukan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Malu seperti inilah yang hendaknya selalu menjadi tabiat dasar dalam diri manusia. Dengan malu, manusia mampu menata perilakunya dengan baik. Dengan rasa malu inilah, peraturan yang dibuat pun tidak akan mudah dilanggar dan kehidupan pun akan berjalan dengan sangat harmonis. Hilangnya rasa malu dalam diri manusia berarti menghilangkan batasan kebaikan dan keburukan dalam dirinya; dan juga menghilangkan jaminan kedamaian dalam masyarakat. Mereka yang tidak punya rasa malu akan berbuat apapun yang disuka tanpa mempertimbangkan baik buruknya. Sedang sudah menjadi hak bagi setiap manusia untuk bisa hidup dengan penuh kedamaian. Atas dasar inilah dipahami bahwa dengan memiliki rasa malu, maka sesungguhnya manusia telah menjaga haknya; yakni hak untuk bisa hidup dengan damai (Tafany, 2007).
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dalam al-Jawab al-Kafi Liman Sa’ala an-Dawa’ as-Syafi mengatakan, rasa malu adalah akar dari segala kebaikan. Jika hilang, maka hilanglah segala kebaikan.
Sejatinya seorang guru harus memiliki budaya malu yang tinggi karena dengan syarat normatif inilah sang guru dapat mengontrol dirinya.
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri Hafizhahullah dalam bukunya Seni Menghidupkan Hati (Tips Merawat hati agar Tidak Gersang dan Mudah Mati) (Usman, 2013) mengulas tentang rasa malu hati, yang terdiri dari: (1) rasa malu berbuat zhalim; (2) rasa malu berbuat lalai; (3) rasa malu pengagungan terhadap tuhannya; (4) rasa malu kedermaan; (5) rasa malu kesopanan; (6) rasa malu karena kehinaan dan kerendahan diri; (7) rasa malu cinta, yaitu rasa malu orang yang mencintai terhadap orang yang dicintainya; (8) rasa malu penghambaan terhadap tuhan; (9) rasa malu kemuliaan dan keagungan, yatu rasa malu jiwa yang besar; dan (10) rasa malu seseorang terhadap dirinya sendiri, yaitu rasa malu karena kekurangan dan aib dirinya.
Semoga !