Penulis : Muhammad Zaiyani
INIPASTI.COM – “Ssssssttt…… jangan keras-keras” sahut Mukidi sambil mengacungkan telunjuknya di bibir merah Markonah yang mengeluhkan berisiknya speaker masjid di kampungnya. Bersamaan dengan suara adzan subuh dari TOA masjid yang sudah uzur itu, bayi Markonah yang baru saja tidur terbangun dan menangis. Spontan Markonah bangun dan menggendong bayinya sambil terus mengeluhkan suara TOA itu, tanpa menggubris Mukidi yang bersiap-siap untuk berjamaah di masjid. Dia berpikir bayinya terbangun karena suara berisik itu.
Dalam perjalanan pulang, seorang jamaah menghampiri Mukidi dan tanpa basa basi menegurnya: “Bro, istrimu tidak suka mendengar suara adzan ya?”, “dia bukan muslim ya?”, “dia telah melecehkan suara adzan”, “dia harus ber-syahadat ulang tuh”. Mukidi tidak menghiraukannya karena tidak ingin merusak suasana damai sehabis menghadapNya. Mukidi hanya bergumam rupanya suara istrinya tadi terdengar oleh jemaah yang menuju masjid dari celah gedek rumahnya yang sederhana itu.
Sebelum menikah Markonah adalah penganut Buddha dengan nama Meilin. Dia lahir dari lingkungan keluarga yang taat dan religius. Entah mengapa ketika bertemu dengan Mukidi dalam suatu acara Barongsai, Meilin jatuh cinta pada Mukidi dan rela untuk menikah dengannya. Sejak Gus Dur melegalkan perayaan Imlek, setiap tahun ada acara Barongsai di alun-alun kampung sebagai wujud kerukunan antara ummat beragama di kampung itu. Klenteng tua (satu-satunya) di pojok alun-alun adalah simbol kerukunan di samping masjid dan gereja yang menyebar di kampung ini.
Rupanya isu Markonah yang “melecehkan” suara adzan dan “menistakan” agama Islam terus bergulir melalui whatsapp yang dimiliki oleh hampir seluruh penduduk kampung ini. Hanya keluarga Mukidi dan segelintir keluarga saja yang yang tidak mempunyai smartphone. Penduduk kampung yang mayoritas muslim marah. Marah karena agama mereka dinistakan. Mereka berkumpul di alun-alun lalu berjalan menuju ke rumah kepala kampung. Mereka minta kepada kepala kampung untuk mengadili Markonah. Tidak puas dengan tindakan kepala kampung yang akan melakukan tabayyun pada Markonah, Massa bergerak menuju ke pojok alun-alun. Dengan beringas mereka membakar klenteng satu-satunya yang ada di kampung itu. Kenapa klenteng? karena tempat itu adalah rumah ibadah orang tua Meilin alias Markonah.
“Astagfirullah…. kenapa jadi begini?” teriak Markonah dan terisak dalam pelukan Mukidi. Ayah, ibu, dan adik-adik Markonah hanya bisa saling berpelukan dan menangis sejadi-jadinya melihat klenteng satu-satunya dibakar. Tiada lagi tempat mereka beribadah kecuali menuju ke kota yang berjarak puluhan kilometer.
Karena tekanan dari penduduk kampung, akhirnya kepala kampung “mengusir” Markonah dan keluarganya dari kampung ini, setelah rumahnya juga ikut dibakar. Atas nama ghirah Islam, massa tidak perduli lagi pada sisi kemanusiaan. Pokoknya “penista” harus dihukum seberat-beratnya. Belasan jamaah yang senantiasa lima waktu ke masjid bergabung dengan penduduk lain yang sesungguhnya hanya ke masjid pada hari Jum’at saja untuk melakukan demonstrasi.
Markonah sedang duduk-duduk di salah satu saung yang berada di halaman pondok pesantren kampung sebelah yang menampungnya sementara. Pikirannya melayang jauh kembali pada masa kuliah filsafat ilmu, ketika masih kuliah di kota sebelum bertemu Mukidi. “Inikah yang dinamakan logical fallacy?”. Ya…logical fallacy gumamnya. Logical fallacy adalah suatu kesalahan dalam berpikir sehingga salah dalam mengambil kesimpulan. “Saya yang mengeluhkan tingkat kebisingan speaker, dikatakan saya tidak suka suara adzan dan karena tidak suka suara adzan maka saya menistakan agama”. Guilt by Association (melakukan generalisir terhadap suatu hal yang pada dasarnya tidak berkaitan) sungguh cocok untuk kejadian ini,” pikir Markonah.
Lamunan Markonah menerawang semakin jauh tak berbatas. “Seperti ini kah ajaran Rasulullah menyelesaikan masalah?”; “Apakah agamaku membenarkan membakar rumah ibadah ummat lain?”; dan seribu satu pertanyaan lainnya. “Entahlah!, bisiknya dalam hati. Saya hanyalah seorang muallaf yang baru mulai belajar ber-Islam yang katanya rahmat bagi seluruh alam dan manusia.
“Allaahu Akbar…Allaaahu Akbaaar…..” suara adzan magrib memecah kesunyian dan menghentikan lamunan Markonah. Suara Aco santri asal Makassar yang sudah dua tahun mondok di sini sangat merdu dengan perangkat sound system Bose keluaran terakhir. Tanpa sadar air mata Markonah jatuh di pipinya yang kuning langsat. Hanya Markonah yang tau itu adalah air mata kesedihan karena peristiwa “adzan” sehingga dia terusir dari kampungnya atau karena suara merdu adzan-nya Aco.
Wallahu a’lam bish-shawab.