Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Beberapa daerah dan kota akhir-akhir ini dan hari ini sedang dilanda bencana, terutama bencana banjir, akiba curah hujan inten, di samping karena ulah manusia, misalnya perladangan liar dan perladangan “resmi”. Pembukaan lahan baru untuk ladang jagung menjadi fenomena di mana-mana. Hutan telah dibabat habis. Rumputpun sudah enggan tumbuh karena petani tidak membiarkannya tumbuh. Siapakah yang salah? Tidak perlu kita saling salahkan. Mari pemerintah kota/kabupaten membangun daerahnya menjadi daerah yang tangguh bencana.
Tangguh sama artinya dengan kuat, kokoh, tahan banting, bertekad untuk berdiri tegak dan gigih pantang menyerah.
Konsep resilience (ketangguhan) bertumpu pada membangun sistem dan kapasitas kota/kabupaten untuk beradaptasi terhadap datangnya bencana. Menurut Wildavsky (Djalante dan Frank, 2010), resilience adalah konsep agar suatu sistem lebih tahan terhadap bencana, bukan hanya dengan kebal terhadap perubahan, tetapi juga bagaimana sistem bisa bangkit kembali, memitigasi, dan pulih dari bencana. Wildavsky juga mengemukan bahwa karakteristik umum dari sebuah sistem yang resilience adalah redundansi (pengulangan), keragaman, efisiensi, otonomi, kekuatan, saling ketergantungan, adaptasi, dan kolaborasi.
Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) sebuah organisasi reional yang berkedudukan di Thailand, menekankan pentingnya ketangguhan yang dicirikan oleh adanya pengetahuan tentang risiko, adanya rencana Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan kesiapsiagaan masyarakat, adanya dana masyarakat untuk melaksanakan kegiatan PRB, adanya sistem peringatan dini, dan adanya organisasi masyarakat yang dinamis.
Plan International memandang ”ketangguhan” melalui 5 (lima) aspek yakni tata kelola, pengkajian risiko, pengetahuan dan pendidikan, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, serta kesiapsiagaan dan tanggap bencana.
Berdasarkan kerangka-kerangka ketangguhan yang telah disusun oleh ADPC, Plan International dan Practical Action, Twigg (2007) menyusun ketangguhan dalam lima aspek dasar berikut unsur-unsur.
Pertama, tata kelola. Di antara kegiatannya: (1) kebijakan, perencanaan, prioritas dan komitmen politik; (2) sistem hukum dan peraturan; (3) integrasi terhadap kebijakan dan perencanaan pembangunan; (4) pemaduan pada masa tanggap darurat dan pemulihan; (5) mekanisme, kapasitas dan struktur kelembagaan; (6) mitra; dan (7) akuntabilitas dan partisipasi masyarakat.
Kedua, kajian risiko. Di antara kegiatannya: (1) pengkajian dan data bahaya/risiko; (2) pengkajian dan data kerentanan; dan (3) kapasitas ilmiah dan teknis serta inovasi.
Ketiga, pengetahuan dan pendidikan. Di antara kegiatannya: (1) kesadaran, pengetahuan dan keterampilan umum; (2) manajemen dan pertukaran informasi; (3) pendidikan dan pelatihan; (4) budaya, sikap, motivasi; dan (5) pembelajaran dan penelitian.
Keempat, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan. Di antara kegiatannya: (1) manajemen lingkungan hidup dan sumber daya alam; (2) kesehatan dan kesejahteraan; (3) penghidupan yang berkelanjutan; (4) perlindungan sosial; (5) perangkat finasial; (6) perlindungan fisik; dan (7) sistem dan mekanisme perencanaan.
Kelima, kesiapsiagaan dan tanggap bencana. Di antara kegiatannya: (1) kapasitas kelembagaan dan koordinasi; (2) sistem peringatan dini; (3) perencanaan kesiapsiagaan dan kontijensi; (4) sumberdaya dan infrastruktur kedaruratan; (5) tanggap darurat dan pemulihan; dan (6) partisipasi, kerelawanan dan akuntabilitas.
Indikator Ketangguhan Bencana
Bencana, baik bencana alam, non alam, maupun sosial, dapat terjadi di mana saja. Namun bencana yang terjadi di perkotaan/kabupaten akan menimbulkan persoalan yang lebih serius dibandingkan dengan bencana di daerah terpencil. Kenapa? Karena di daerah perkota/kabupatenan jumlah penduduk yang signifikan besar, banyaknya rumah-rumah, gedung-gedung, dan infrastruktur yang ada.
Kota/kabupaten tangguh bukan berarti terbebas dari bencana, karena sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia memiliki potensi bencana yang terbilang tinggi.
Membangun kota/kabupaten yang tangguh menghadapi bencana pada hakikatnya mengimplementasikan konsep pengurangan risiko bencana, baik risiko kepada manusia maupun lingkungan. Kegiatan tersebut tidak semata-mata menjadi tugas pemerintah, karena persoalan bencana bukan saja persoalan lokal atau nasional semata, melainkan sudah menjadi persoalan global.
Untuk mencapai sebuah ketangguhan tersebut, BNPB mengeluarkan 20 indikator yang dikembangkan dari 6 (enam) komponen Sistem Nasional Penanggulangan Bencana. Indikator tersebut dicantumkan dalam lampiran Perka BNPB No: 1 Tahun 2012. Komponen pertama adalah “legislasi”. Harus ada kebijakan maupun regulasi (Perda) yang mengatur terkait penanggulangan bencana. Kedua, “perencanaan”, yakni adanya rencana penanggulangan bencana, rencana aksi komunitas, dan rencana kontijensi. Ketiga, “Kelembagaan”, adanya Forum PRB dan relawan penanggulangan bencana. Keempat, masalah “Pendanaan”. Adanya dana pelaku dan wilayah, tersedianya dana untuk tanggap darurat dan PRB. Kelima yakni “pengembangan kapasitas”, adanya pelatihan-pelatihan untuk pemerintah, masyarakat, tim relawan, sehingga mereka aktif terlibat. Dan keenam, terkait “penyelenggaraan penanggulangan bencana”. Yakni adanya peta dan kajian resiko, peta dan jalur evakuasi serta tempat pengungsian, sistem peringatan dini, pelaksanaan mitigasi struktural (fisik), pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat, perlindungan kesehatan kepada kelompok rentan, pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk PRB, dan Perlindugan aset produktif masyarakat.
Beberapa indikator ketangguhan kabupaten/kota di antaranya indikator generik yang terdiri; kebijakan, kelembagaan, identifikasi risiko, penyebaran informasi, rencana penanggulangan bencana, peningkatan kapasitas, RTRW berbasis mitigasi bencana, sekolah/madrasah aman bencana, rumah sakit/puskesmas aman bencana dan desa tangguh bencana. Indikator spesifik terdiri dari pelaksanaan masterplan pengurangan risiko bencana sesuai dengan risikonya.
Pada dasarnya kabupaten/kota tangguh adalah kabupaten/kota yang mampu menahan, menyerap, beradaptasi dengan dan memulihkan diri dari akibat bencana secara tepat waktu dan efisien, sambil tetap mempertahankan struktur-struktur dan fungsi-fungsi dasarnya. Kabupaten/kota yang tangguh mampu menahan guncangan dan tekanan-tekanan dari ancaman bencana alam dan ancaman terkait iklim.
Membangun kota/kabupaten yang tangguh menghadapi bencana terutama bencana gempa bumi antara lain dapat dilakukan dengan: pertama, melakukan tata ulang perencanaan tata ruang perkota/kabupatenan, dengan titik berat pada memperkuat struktur berbagai jenis bangunan, khususnya bangunan sekolah dan rumah sakit; kedua, melakukan pembuatan peta zonasi gempa di wilayah perkota/kabupatenan; dan ketiga, melakukan perbaikan kode keamanan bangunan (building) dengan memasukkan unsur percepata gravitasi yang sesungguhnya memiliih nilai yang berbeda beda di setiap wilayah. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan struktur tanah dan karakterstik kegempaan.
Kiat Menuju Kota/kabupaten Tangguh
Membangun kota/kabupaten yang tangguh menghadapi bencana, sudah saatnya dilakukan pemerintah daerah terutama pemerintah kota/kabupaten. Alasan untuk melakukan pembelaan bahwa melakukan sesuatu yang belum tentu terjadinya adalah kegiatan yang percuma dalam konteks kebencanaan merupakan persfektif yang keliru. Justru karena bencana datangnya tidak kita ketahui, maka penanganananya idealnya dilakukan sebelum bencana itu terjadi, melalui langkah preventif yang bertujuan untuk pengurangan resiko bencana.
Untuk membangun konsep kota/kabupaten tangguh bencana ini memerlukan syarat yaitu: pertama, memilih pemimpin yang kapabel. Konsep resilience merupakan konsep yang telah menjadi trend pada kota/kabupaten-kota/kabupaten di dunia saat ini, misalnya King County, New York City, Tokyo, Singapura, Venesia, London dan lain-lain. Untuk itu, pemimpin yang kapabel adalah pemimpin yang mampu membuat kebijakan atau regulasi yang berwawasan tangguh bencana. Jangan sampai penanganan bencana masih dengan cara selama ini yaitu bersifat spontanitas. Kita jangan sampai lagi terbuai pada janji-janji pemimpin yang hanya berfokus pada pertumbuhan dan pembangunan saja. Kedua, memperkuat kapasitas masyarakat. Menyadarkan masyarakat untuk siaga terhadap bencana mungkin tidak mudah. Contohnya seperti beberapa kasus erupsi gunung. Kekurangpahaman masyarakat terhadap pertanda serta efek bencana serta mungkin juga ditambah dengan paradigma Timur yang masih berpola mistik sehingga dalam beberapa kasus erupsi harus memakan korban jiwa. Begitupula dengan beberapa kasus banjir di beberapa kota/kabupaten. Bisa dilihat bahwa masih kurangnya organisasi dan manajemen dalam menghadapi bencana, sehingga banyak masalah dalam hal mencari tempat untuk menyelamatkan diri serta menghuni tempat penampungan. Memperkuat kapasitas masyarakat untuk tangguh bencana adalah syarat mutlak masyarakat kota/kabupaten Indonesia masa depan.
Dalam buku “How to Make Cities More Resilient“, UNISDR menjelaskan 10 kiat untuk menuju kota/kabupaten tangguh dalam menghadapi bencana.
Kesepuluh kiat menuju kota/kabupaten tangguh dalam menghadapi bencana sesuai dengan buku tersebut, sebagai berikut.
Pertama, menciptakan organisasi dan koordinasi untuk memahami dan mengurangi risiko bencana, berdasarkan partisipasi kelompok-kelompok masyarakat dan masyarakat sipil. Membangun aliansi lokal. Memastikan bahwa semua bagian memahami perannya dalam pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan. Setiap kelompok, stakeholder, dan pemangku kepentingan yang berada di suatu kota/kabupaten harus melakukan koordinasi dan membuat program tetap sebelum, ketika dan sesudah terjadinya bencana.
Kedua, menyiapkan anggaran dalam upaya pengurangan risiko bencana dan penguatan kapasitas masyarakat, lembaga pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Kesediaan anggaran memungkinkan terlaksananya kegiatan seperti penguatan kapasitas masyarakat, penguatan kapasitas pihak sekolah, percepatan proses recovery kawasan yang terkena bencana, percepatan rehab-rekon kawasan bencana dan beberapa kegiatan lainnya.
Ketiga, menjaga keterbaruan data bahaya/ancaman dan kerentanan dalam upaya pengkajian risiko bencana. Data pengkajian risiko tersebut harus digunakan sebagai pertimbangan utama dalam membuat kebijakan arah pembangunan dan pengambilan keputusan. Informasi bahaya/ancaman, kerentanan dan risiko suatu kawasan harus disebarkan untuk membuat publik tahu dan sadar akan ancaman yang ada di kota/kabupaten mereka. Salah satu contoh upaya pengkajian bahaya/ancaman mempengaruhi arah kebijakan pembangunan adalah pemetaan mikrozonasi untuk melihat tingkat goncangan tanah suatu kawasan ketika terjadi gempa.
Keempat, melakukan investasi dalam upaya perlindungan, peningkatan dan ketangguhan infrastruktur. Dalam kiat keempat ini, pemerintah kota/kabupaten diharuskan untuk melakukan investasi infrastruktur seperti membuat drainase yang bagus untuk menghindari banjir, membangun infrastruktur yang tahan gempa, dan melakukan perlindungan terhadap inftrastruktur vital yang ada di dalam kota/kabupaten.
Kelima, melakukan perlindungan fasilitas sekolah dan rumah sakit. Pelindungan fasilitas sekolah secara struktural bisa dilakukan dengan cara membuat bangunan sekolah dan rumah sakit yang tahan terhadap bencana seperti sekolah dan rumah sakit tahan gempa serta membuat petunjuk arah evakuasi apabila terjadi bencana. Namun demikian, perlindungan sekolah dan rumah sakit secara non-struktural seperti penguatan kapasitas guru dan murid serta penguatan kapasitas tenaga rumah sakit harus juga dilakukan untuk membentuk sekolah dan rumah sakit yang tangguh dan tetap dapat beroperasi dengan baik setelah bencana terjadi.
Keenam, membangun regulasi dan perencanaan penggunaan lahan.Membuat peraturan seperti building code terhadap bangunan-bangunan dan melakukan pemetaan kawasan-kawasan yang memiliki tingkat risiko rendah untuk dijadikan kawasan pembangunan pada masa yang akan datang.
Ketujuh, memastikan terlaksananya program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran publik. Dalam hal pendidikan, pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam program pendidikan formal seperti adanya kurikulum khusus mengenal bencana untuk sekolah yang di kota/kabupaten tersebut. Pelatihan-pelatihan untuk penguatan kapasitas masyarakat kota/kabupaten perlu segera dilakukan.
Kedelapan, melakukan perlindungan terhadap lingkungan dan ekosistem. Memberikan penyadaran kepada masyarakat akan dampak yang dihadapi apabila tidak melindungin lingkungan. Penyadaran untuk menjaga lingkungan untuk kawasan-kawasan tertentu bisa dilakukan dengan metode pendekatan secara religius.
Kesembilan, memasang peralatan peringatan dini dan penguatan kapasitas manajemen tanggap darurat. Dalam hal manajemen tanggap darurat, pelaksanaan drill atau simulasi secara berkala harus dilakukan sehingga masyarakat kota/kabupaten tersebut bisa melakukan respon yang efektif dalam setiap kejadian bencana. Penguatan koordinasi dan Table Top Simulation (TTS) antar dinas terkait dalam menghadapi masa-masa tanggap darurat juga harus dilakukan.
Kesepuluh, setelah bencana, pemulihan dan pembangunan kembali komunitas haruslah terkoordinir dengan baik. Pemulihan dan pembangunan kembali harus menjadi momen mengatur kembali tata ruang berbasis pengurangan risiko bencana dan harus melibatkan komunitas terdampak untuk memetakan kebutuhan
Model percontohan
Ada beberapa kota/kabupaten telah dijadikan model percontohan sebagai kota/kabupaten tangguh bencanaa. Berbagai kegiatan telah dilakukan, dan kegiatan mitigasi resiko bencana terus dilakukan hingga masyarakat dan penghidupannya (livelihood) benar-benar siap dan tangguh dalam menghadapi bencana.
Strategi yang diterapkan untuk mencapai tujuan kota tangguh bencana antara lain: strategi pertama, memperkuat kapasitas tim pelaksana replikasi kelurahan/desa tangguh. Strategi kedua, memperkuat kebijakan turunan peraturan daerah tentang penanggulangan bencana. Termasuk dalam strategi ini, yakni memperkuat peraturan wali kota/bupati tentang tanggung jawab sosial perusahaan, rencana penanggulangan bencana, dan alokasi anggaran untuk mitigasi bencana. Strategi ketiga, mengintegrasikan rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan sektoral. Integrasi ini akan dilakukan melalui berbagai forum koordinasi seperti Forum Pengurangan Resiko Bencana, Forum Pimpinan SKPD, forum Tim teknis SKPD. Dan strategi keempat, memperkuat usaha mikro dan kecil dalam mengurangi resiko usaha akibat bencana dengan memfasilitasi rencana keberlanjutan usaha.
Semoga !!!