INIPASTI.COM, MAKASSAR – Merokok bagi sebagian orang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Buat para perokok, tak lengkap rasanya jika setelah makan tidak mengisap sebatang rokok.
Selain sudah menjadi kebutuhan, merokok juga dijadikan sebagai gaya hidup (lifestyle), utamanya bagi pemuda. Namun sayangnya, hal itu berdampak pada anak usia dini dan juga remaja di bawah 18 tahun.
Sudah menjadi pemandangan sehari-hari, banyak anak dan remaja yang merokok di pinggir jalan. Bahkan tak jarang ditemui mereka merokok dengan masih menggunakan seragam sekolah.
Fenomena ini menjadi salah satu fokus pada seminar website (webinar) yang digelar oleh Kantor Berita Radio (KBR), dengan mengangkat tema Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok, Senin, 29 Maret 2021.
Ternyata, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018, prevalensi merokok pada anak dan remaja meningkat kurang lebih 2 persen dari tahun 2013 silam. Hal itu diungkapkan oleh Wawan Juswanto, Analis Kebijakan Madya – Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan RI.
“Prevalensi merokok pada usia di bawah 18 tahun naik dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Data ini berdasarkan Riskesdas 2018,” ungkapnya.
Menyambung ungkapan itu, Koordinator Pengendalian Penyakit, Kemenko PMK, Rama Prima Syahti Fauzi menyebut bahwa peningkatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah paparan iklan dan promosi baik lewat media elektronik, lebih-lebih pada media sosial.
“Salah satunya sebabnya adalah akibat paparan iklan sehingga anak-anak ingin mencoba. Ingat, anak-anak itu adalah peniru ulung,” jelasnya.
Sebab lainnya, tambah Rama, yaitu masih bebasnya penjualan rokok secara perbatang. Sehingga harga rokok tersebut bisa dijangkau oleh anak-anak di bawah umur.
Olehnya, Adi Musharianto dari Center of Human and Economic Development, Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan menyarankan agar tidak hanya cukai rokok saja yang dinaikkan pertahun, tapi juga harus ada intervensi pemerintah terhadap harga tembakau.
“Harga tembakau juga harusnya dinaikkan, dengan begitu tentunya akan menjadikan harga rokok juga naik,” katanya.
Selain itu, Dr Risky Kusuma Hartono, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) berharap agar penjualan rokok secara perbatang dibatasi.
“Harus ada aturan agar tidak menjual rokok kepada anak-anak dan juga batasi tempat penjualan rokok batangan,” tutupnya.
Sekadar diketahui, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan prevalensi/kelaziman merokok anak dan remaja turun menjadi 8,7 persen di tahun 2024.
(Sule)