INIPASTI.COM, MAKASSAR – Negeri-negeri yang dijejali oleh ketamakan, negeri-negeri itu akan kehilangan jejak masa lalu, dan tidak ada tanda-tanda masa depan. Tapi karena ketamakan, negeri semacam ini akan selalu merawat masa kini. Masa yang dikerumuni bagai mangsa bagi binatang buas. Keserakahan, kebengisan dan syahwat berlumur menyatu untuk mengisi era kekinian itu. Pada negeri semacam ini, hanya kekuasaan yang bernyala. Api kekuasaan akan membakar azas moral, akan menepis kesadaran social manusia, akan menghalau kesatriaan, dan melemahkan logika. Negeri sejenis ini hanya menampung potongan-potongan tubuh yang kering, akan roh kecintaan yang berkeadilan.
Pada negeri-negeri yang tidak lagi berlandaskan nilai-nilai moral, kuasa akan tumbuh seperti kecambah dimusim hujan. Kekuasaan inti akan dilapisi oleh lapisan-lapisan kuasa peri-phery. Sebagaimana watak dasarnya, kekuasaan tidak mengenal logika, tak menyukai keadilan, dan bertindak irasional. Bagi kekuasaan, menundukkan dan menaklukkan adalah jauh lebih penting daripada mensejahterakan, agar terus bisa merawat, memperluas dan memperpanjang kekuasaannya. Logika tunggal kekuasaan adalah berteman atau berlawanan. Hanya ada pertemanan dan permusuhan. Jadinya, negeri-negeri semacam ini dibangun dengan logika persekutuan dan peresengkokolan, atau dengan menghancurkan setiap yang dipandang sebagai lawan. Kebebasan berpendapat dianggap sebagai hadiah dari kekuasaan, bukan hak demokrasi dan hak sipil. Siapapun yang berbeda pendapat dengan kekuasaan disebutnya sebagai musuh.
Cara-cara seperti kriminalisasi, otoriter dan kebohongan akan menjadi satu-satunya cara untuk tetap menegakkan kekuasaannya. Pada negeri-negeri yang mengabaikan kebenaran dan keadilan, kita tidak akan sanggup mengartikan kebohongan. Kebohongan telah menyatu menjadi bagian penting dari kekuasaan. Dan, kekuasaan sangat produktif memproduksi mesin kebohongan, untuk menyeret setiap nafas yang hendak menggugat kebenaran dan keadilan. Negeri-negeri yang dipenuhi oleh ketamakan, selalu meneriakkan pentingnya demokrasi, tapi watak dan perlakuan mereka, justru menggilas nilai-nilai demokrasi.
Para penguasa yang tumbuh dari selera menguasai akan selalu menikmati legenda yang melekat di dadanya, meski harus mengorbankan orang lain. Inilah karakter dasar orang-orang tamak, sulit membedakan antara pengorbanan dan pencapaian. Mereka hanya mengenal kata pengabdian secara teatrikal, belum ada usaha untuk mengejawantahkan. Mereka sibuk dengan perburuan pada sesuatu yang mereka inginkan.
Pada diri manusia tamak, akan lunglai bila tidak ditopang oleh kekuasaan. Karena itu, pada setiap langkahnya akan selalu diiringi oleh nafsu kekuasaan. Pada setiap etape perjalanan orang-orang tamak, selalu memburu dan merebut kekuasaan. Baginya, kekuasaan adalah alat untuk merobohkan, agar perjalanan mereka lempeng. Itu sebabnya, perjalanan mereka akan berputar-putar tanpa arah. Karena selalu berusaha menemukan kekuasaan. Dengan jalan lurus, kadang-kadang sulit menemukan kekuasaan. Bagi ketamakan, perjalanan adalah menemukan “musafir-musafir” untuk dikalahkan, untuk dirobohkan. Inilah konsep perjalanan bagi kaum tamak.
Orang tamak, juga jago menyusun kamuflase, pandai menemukan cara untuk mencitrakan dirinya, agar ia memperoleh dukungan untuk memenangkan setiap yang disebutnya sebagai pertarungan. Menurut mereka, mengalahkan dan merobohkan adalah usaha serius dalam pengabdian hidup. Pengabdian pada manusia, agama, bangsa dan negara adalah jargon yang paling lancar mereka uraikan. Tidak peduli rakyat negerinya dilanda kelaparan dan kemiskinan. Tidak peduli rakyat negerinya tidak sejahtera. Tidak peduli rakyat negerinya tidak memiliki pekerjaan, bahkan mereka tidak peduli negeri lain merebut lapangan kerja di negerinya. Inilah cara manusia tamak menjadi kesatria. (***)