INIPASTI.COM, Nurdin Halid (NH) calon gubernur Sulsel 2018 mendatang sungguh-sungguh ingin mewujudkan koalisi gemuk yang dikenal koalisi “istana.” Koalisi ini merupakan kumpulan dari sejumlah parpol pendukung pemerintahan Jokowi-JK. NH yakin, sejumlah parpol yang berbaris di belakang pemerintahan Jokowi-JK akan bersatu bersama Golkar mengusung NH sebagai calon Gubernur Sulsel pada perhelatan politik lima tahunan, pada 2018 nanti.
Berulangkali, NH menyebut perburuan parpol ini bukan untuk mengejar kursi untuk mendukung pencalonannya. Tapi NH membutuhkan parpol untuk kekuatan politik. Jabatan Gubernur menurut NH membutuhkan dukungan politik yang dominan.
Untuk maju sebagai calon Gubernur, kursi Partai Golkar sudah memenuhi syarat untuk mencalonkan calon Gubernur. Mungkin dengan alasan itu, NH tidak lagi memburu kursi parpol, tapi membutuhkan dukungan politiknya.
Apakah benar NH ngotot mempertahankan koalisi “istana” hanya untuk meraih dukungan politik dari parpol? Ataukah ada agenda lain yang berkaitan dengan kontestasi antar aktor politik? Sebagai politisi, NH syah-syah saja kalau menggagalkan seseorang untuk maju pada Pilgub dengan cara merebut semua infrastruktur politik, NH bisa mengambil semua parpol koalisi “istana” dan akhirnya ada aktor lain yang tidak bisa mencalonkan diri. Demikian penjelasan Dr. M. Ridwan, ketika inipasti.com meminta ulasannya berkaitan dengan fenomena menggagalkan lawan dengan cara merebut parpol.
NH menurut Ridwan, memiliki jaringan politik yang kuat di tingkat pusat, karena NH adalah aktivis parpol pada level nasional. Selain itu, NH juga memiliki finansial yang cukup untuk menyatukan semua parpol untuk masuk pada koalisi “istana”.
Jika NH berhasil menyatukan parpol untuk berbaris pada koalisi “istana”, maka NH sudah memperlihatkan keunggulan politiknya lebih awal pada pesaingnya. Keadaan ini tentu saja akan mempengaruhi psikologi publik, dan dapat meningkatkan electoral bagi NH. Akan tetapi, lawan politik NH telah membaca pola politik yang dikembangkan NH. Itu sebabnya, Ichsan Yasin Limpo (IYL) lebih awal melakukan atraksi politik yang canggih untuk memecah kesatuan politik yang diklaim oleh NH bisa menyatu pada koalisi “istana,” dengan mengambil lebih cepat PPP dan PAN.
Sebaliknya, kalau IYL yang berhasil memecah kekompakan koalisi “istana,” maka publik akan memberikan nilai tambah bagi IYL. Dari sudut pandang ini, ngototnya NH merebut koalisi “istana” sesungguhnya upaya untuk memukul lawan politiknya. Bila NH berhasil, NH akan memperoleh point dari pemilih. Tetapi jika sebaliknya, akan menjadi bumerang bagi NH.
Pertarungan politik yang dikembangkan NH, juga berdampak pada kandidat bakal calon gubernur yang lain. Paling tidak, orang pertama yang merasakan imbas dari permainan politik NH adalah Nurdin Abdullah (NA). Karena NA akan kehilangan partai pendukungnya. Semula NH mengharapkan PPP, PDIP, Hanura dan Nasdem untuk mencalonkan dirinya sebagai gubernur. Sedangkan aktor lain seperti Agus Arifin Nu’mang misalnya, tidak berada pada lahan politik yang sama dengan NH. Sehingga Agus Arifin Numang akan terhindar dari implikasi buruk dari permainan politik yang dikembangkan NH. Karena Agus terlanjur berada pada wilayah politik yang berbeda dengan koalisi “istana.”
Siapakah di antara aktor politik ini yang akan keluar sebagai pemenang dalam merebut hati parpol? Siapapun itu, yang pasti, yang menang merebut parpol, akan mendapat bonus elektoral dari pemilih.
(tim/ipc)