Oleh: Wahyudi | Mahasiswa Doktoral Development Study UNHAS
INIPASTI.COM, Sampai saat ini tidak ada pakar atau ahli yang mampu mendefinisikan secara jelas kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir. Namun, pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pemerintah dan masyarakat saat ini adalah apa exit plan yang harus dipersiapkan paska pandemi ini diberlakukan?
Diakui atau tidak, pandemi covid-19 telah memaksa semua entitas untuk merubah dan membangun konstruksi sosial baru, bahkan bisa dipastikan bahwa pada era new normal ini akan terjadi perubahan sosial yang jauh berbeda. Perubahan sosial sebelum-sebelumnya terjadi secara natural, dan proses perubahannya secara perlahan. Namun tidak dengan pandemi covid, pada kasus ini rekayasa sosial nampaknya harus dilakukan agar bisa melahirkan proses adaptasi yang cepat, syaratnya, ketangguhan sosial harus dikuatkan secara massif.
Ketangguhan sosial punya makna paralel dengan ketangguhan ekologi. Sebagai gambaran, meningkatnya tumbuhan ganggang dan perubahan komposisi air dalam danau merupakan pertanda telah terjadi perubahan ekologi, artinya, perilaku manusia lebih sering meningkatkan kerentanan ekosistem dibanding ketangguhannya. Oleh karenanya, setiap tindakan manusia berpotensi menurunkan ketangguhan ekologis karena aktivitas manusia umumnya ditujukan untuk mengubah keragaman proses yang terjadi dalam suatu ekosistem. Dalam hal ini, ketangguhan sosial merupakan kemampuan suatu kelompok atau sistem sosial (bisa keluarga, komunitas, dan masyarakat) untuk bertahan terhadap berbagai trauma yang disebabkan oleh perubahan yang mengganggu. Gangguan sosial dapat dipicu oleh berbagai kekuatan internal atau eksternal seperti politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Umumnya, ketahanan dari ketangguhan sosial dan ekologi dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, sejauh mana sistem dapat bertahan dari gangguan eksternal. Kedua, sampai sejauh mana anggota dan elemen mampu melakukan reorganisasi, dan Ketiga, sampai sejauh mana sistem mampu belajar dari pengalaman yang diperoleh tersebut. Pada hakekatnya, suatu sistem yang kuat akan mampu bertahan dan menyesuaikan diri pada kondisi baru, inilah sistem yang diklasifikasikan ketangguhan sosial yang tinggi.
Ketangguhan sosial umunya akan diuji bila ekosistem menunjukkan perubahan yang mengejutkan dan berpengaruh signifikan bagi sosial. Pada kasus pandemi covid-19, kita bisa melihat masyarakat Indonesia sebenarnya mengalami defisit kreatifitas atau inovasi keberagaman sosial. Ini terjadi lantaran negara mengelola kebijakan dengan sentralistis, top down, sistem komando dan menyeragamkan persoalan dan solusi. masyarakat selama ini diajari secara kolektif dalam merespon sesuatu dengan hal yang sama, berfikir secara homogen. Harusnya, keberagaman cara berfikir yang dikembangkan sehingga akan muncul inovasi sosial di setiap wilayah atau entitas yang terdampak.
Kita tentu belajar dari Vietnam yang mampu menangani kasus covid-19 ini dengan baik, sistem bottom-up melalui pelibatan entitas sosial yang kuat, kekuatan itu muncul dari bawah, namun sebaliknya, untuk kasus di Singapura dan China, kebijakan yang sifatnya top-down lebih efektif dalam menekan kasus ini. Masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda, oleh karenanya penanganannya pun tidak seragam. Indonesia, dalam membangun ketangguhan sosial harus parallel memulai dari top-down dan bottom up, kombinasi dari keduanya sangat dibutuhkan lantaran karakteristik sosial negara kita tidak sepenuhnya bisa dikontrol dari atas namun juga akan lama jika mengandalkan dari entitas sosial.
Pandemi covid-19 akan memberikan gambaran yang jelas sejauh mana sistem bekerja, baik itu politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan mampu bertahan dari goncangan, individu dan masyarakat mampu adaptasi dengan organisasi baru, dan sejauh mana kapasitas adaptif dari sebuah sistem dapat terbentuk.
Kapasitas adaptif umumnya dikaitkan dengan tindakan manusia dalam merespon, mengantisipasi, atau memproyeksikan perubahan ekosistem untuk mengurangi dampak atau juga mengambil keuntungan dari perubahan dan peluang yang diakibatkan oleh perubahan ekosistem. Namun demikian kemampuan sistem sosial dalam merespon perubahan ekosistem tidaklah sama, sebagian mampu merespon secara kontinyu, namun sebagian lainnya tidak. Ketangguhan sosial Subak di Bali misalnya, organisasi ini mampu bertahan lebih dari satu millenium karena etnis disana memiliki kemampuan merespon perubahan iklim dan ekosistem secara berkelanjutan. Mereka adaptif dari setiap intervensi eksternal secara terus menerus. Berbeda hal nya dengan etnis sunda yang cenderung memiliki respon yang tidak berkelanjutan dalam menghadapi masalah, ini bisa dilihat dari hilangnya sebagian kearifan lokal yang dulu pernah berjaya dimasa itu.
Kembali dalam kasus Covid-19, masyarakat saat ini dituntut untuk adaptif dalam pencegahan penularan dengan cuci tangan, menjaga jarak satu meter, dan memakai masker. Demikian pula dengan hubungan sosial, masyarakat diajarkan secara tidak langsung untuk berinteraksi melalui virtual dengan berbagai tools yang ada. Artinya, perubahan pola kehidupan baru ini jelas membutuhkan kemauan dan kemampuan dari setiap entitas agar bisa tetap survive atau tidak, inilah bentuk kapasitas adaptif yang terjadi saat ini.
Kapasitas adaptif dalam suatu sistem dapat terbentuk manakala ada aspek kewenangan dalam mengelola keragaman/diferensiasi sosial atau ekologi, maka secara implisit inilah yang disebut sebagai sistem governan atau sistem kewenangan yang bersifat lokal. Oleh karenanya, Governan sering didefinisikan sebagai struktur dan proses dimana anggota masyarakat mendelegasikan kewenangannya. Struktur dan proses governance ini turut membentuk sikap individu dan tindakan kolektif masyarakat, sementara masyarakat sebagai stakeholder dari governance memiliki sebagaian kewenangan yang didelegasikan kepada kelompok berwenang.
Governan yang baik harus memiliki kemampuan manajemen (kapasitas adaptif) guna mempertahankan, meningkatkan dan mengembangkan ketangguhan sosial dan ekosistem, dengan karakteristik: (1) memiliki sifat partisipatif dalam arti membuka peluang kontak dan interaksi secara baik; (2) bersifat polisentris yang menunjukkan bentuk organisasi yang terdiri atas beberapa pemegang kewenangan: (3) akuntabel bagi masyarakat dan pemegang kewenangan diatasnya; (4) deliberatif dalam arti memberi peluang bagi anggotanya untuk berdebat, melakukan mediasi dan negosiasi; (5) memiliki susunan pengurus secara berlapis (multi-layered) dalam arti mengandung keterwakilan yang luas; dan (6) berkeadilan dalam distribusi keuntungan dan risiko yang tidak diharapkan.
Aspek kewenangan (governan) yang baik akan menguatkan kapasitas adaptif, kapasitas adaptif ini merupakan kekuatan utama dalam pembentukan ketangguhan sosial. Dengan adanya ketangguhan sosial maka masyarakat akan memiliki kreativitas atau inovasi dalam merespon dan mengatasi masalah pandemi dengan cara mereka sendiri.