Oleh:
Bayu Krisnamurthi
Dosen Senior Agribisnis IPB
INIPASTI.COM- Akhir tahun 1980an. Gedung BPPT Thamrin masih terlihat baru. Sebuah seminar tentang pengembangan teknologi diadakan di gedung itu. Saya menjadi salah seorang peserta yang antusias, karena meski sudah lupa apa judulnya, tetapi pemberi sambutan kuncinya seseorang yang sangat penting: Prof. B.J.Habibie, Menteri Riset dan Teknologi. Dengan gaya yang khas, mata yang berbinar penuh semangat, beliau memulai sambutannya dengan bertanya: apa itu teknologi? Lalu beliau menjawabnya sendiri, dengan jawaban yang tidak akan pernah terlupa: teknologi adalah yang membuat kehidupan menjadi lebih mudah, lebih cepat, lebih nyaman. Penjelasan beliau, manusia bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sudah sejak dahulu kala. Awalnya manusia bepergian dengan jalan kaki. Lalu manusia menemukan cara mengendalikan kuda, manusia kemudian bepergian dengan menunggang kuda. Menunggang kuda adalah teknologi.
Kemudian manusia menemukan roda dan kereta, ditambahkan dengan kuda manusia kemudian bisa bepergian tidak sendirian, bisa membawa barang. Kereta dan kuda juga membuat bepergian jadi lebih nyaman karena cukup duduk saja dan mengendalikan sepasang tali kekang. Kuda dan kereta adalah teknologi. Ketika manusia menemukan mobil, manusia bepergian dengan cukup duduk, menginjak pedal dan mengendalikan kemudi. Jika sebelumnya manusia hanya mengendalikan satu atau beberapa kuda saja; maka dengan mobil puluhan bahkan ratusan tenaga kuda dari mesin mobil dapat berada dalam kendali satu orang manusia; plus kenyamanan pengendalian suhu udara, music, dan fasilitas lainnya. Mobil adalah teknologi.
Seminar itulah, ‘ceramah’ pak Habibie itulah, yang membuat saya benar-benar mengerti apa arti teknologi dan apa arti teknologi bagi manusia. Teknologi bukan dilihat dari alat apa, atau tingkat kecanggihan seperti apa. Teknologi dilihat dari manfaatnya bagi manusia. Dengan demikian, jika ada mesin, atau sistem, atau suatu ‘kecanggihan’ tertentu – seberapa menakjubkan pun – tidak akan bermakna teknologi jika tidak bermanfaat bagi manusia, bagi masyarakat. Sungguh merupakan pemahaman yang membesarkan hati bagi seseorang yang sedang belajar ilmu dan pengetahuan sosial ekonomi, untuk kemudian juga ikut dalam diskusi terkait teknologi. Pak Habibie telah membuka wawasan dan pikiran – juga rasa percaya diri – tanpa beliau sadari.
Kali kedua ‘berinteraksi’ dengan pak Habibie adalah saat terjadi ‘adu pendapat’ tentang apa strategi pembangunan ekonomi atau strategi industrialisasi yang tepat bagi Indonesia. Perdebatan itu mengerucut pada dua pendapat besar, yang ketika itu disebut sebagai “Wijoyonomic” dan “Habibienomic”. Wijoyonomic mewakili pandangan yang lebih mengedepankan pada pengembangan industrialisasi umum berbasis keunggulan ekonomi Indonesia. Perwujudan utamanya adalah pengembangan industri yang memang sudah terbukti memiliki daya saing, seperti (pada masa itu) tekstil, elektronik, dan alas kaki, lalu otomotif. Bentuk pelaksanaan strateginya adalah meningkatkan efisiensi layanan publik dan mendorong lingkungan bisnis yang lebih kondusif.
Habibienomic berbeda. Pak Habibie menekankan pentingnya pengembangan keunggulan teknologi dan nilai tambah. Salah satunya melalui pengembangan industri-industri strategis, seperti pesawat terbang, kapal laut, dan industri berteknologi tinggi lainnya. Kebijakan yang dikedepankan adalah kebijakan yang dengan sengaja memberi dukungan bagi industri berteknologi tinggi itu.
Kedua tawaran strategi itu berlomba untuk mendapat dukungan dari pimpinan nasional, khususnya Presiden Suharto. Dan seperti sejarah kemudian mencatat, Wijoyonomic berjaya diawal pemerintahan Orde Baru, dan Habibienomic mendapat dukungan diakhir masa Orde Baru.
Adu pendapat kedua strategi ekonomi itu membuat banyak teman di IPB – termasuk saya – menjadi gelisah. Salah satu kegelisahannya adalah dimana letak pertanian dan pedesaan dalam kedua strategi itu? Dibawah kepemimpinan Prof. Bungaran Saragih, Pusat Studi Pembangunan IPB kala itu menggalang serangkaian diskusi mengenai strategi pembangunan ekonomi Indonesia. Akhirnya dirumuskan dan ditawarkan strategi pembangunan sistem dan usaha agribisnis, yang diperhitungkan akan mampu menggerakkan perekonomian mulai dari pedesaan hingga ekspor. Kebijakan yang dikedepankan adalah kebijakan yang memadukan promosi dan proteksi, pengembangan lingkungan usaha yang kondusif dan kebijakan berpihak pada usaha pertanian dan pedesaan. Tawaran ini dibawakan oleh Pak Bungaran dan beberapa rekan lainnya lewat media massa, seminar, dan kegiatan lain.
Bertahun-tahun kemudian setelah diskusi strategi pembangunan itu mereda, Pak Habibie telah selesai menjabat sebagai Presiden RI, pak Bungaran telah menjadi Menteri Pertanian; pada sebuah diskusi terbatas – yang kalau tidak salah diselenggarakan oleh ICMI – setelah memperkenalkan diri sebagai dosen IPB saya berkesempatan menanyakan kepada Pak Habibie: apa tanggarapan beliau tentang agribisnis, dan apa bagaimana kaitannya dengan strategi berbasis pengembangan teknologi. Yang membuat saya terkejut adalah jawaban beliau dimulai dengan kalimat: ah, murid Prof Bungaran Saragih dari IPB. Rupanya beliau mengikuti ‘tawaran pemikiran ketiga’ tentang strategi pembangunan itu. Lalu beliau dengan sangat fasih dan meyakinkan menjelaskan betapa pentingnya pangan, pertanian dan agribisnis; serta betapa menentukannya peran teknologi untuk memajukan agribisnis Indonesia. Dari penjelasan beliau itu saya (kembali) belajar, ketiga tawaran strategi pembangunan: Wijoyonomic, Habibienomic, dan agribisnis tidak harus dipertentangkan tetapi harus dipadukan. Pemikiran boleh berbeda-beda, tetapi usahakan sintesisnya.
Pak Habibie bukan hanya seorang teknolog mumpuni, tetapi juga seorang cendikiawan dengan kearifan keilmuan dan wawasan yang sangat tinggi sekaligus negarawan dengan kerendah-hatian sejati. Kita semua kehilangan.–