Oleh : Lutfie Natsir, SH.MH, CLa
“ Fraud dapat diartikan sebagai penipuan atau kecurangan, menyebabkan kerugian materiil maupun imateriil yang sangat besar di institusi mana pun. Pelaku fraud tidak terbatas pada mereka yang terdesak secara sosial-ekonomi, namun juga pada mereka yang memiliki status sosial, jabatan, atau keahlian tertentu. Mereka mampu “mengakali” sistem hingga menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Pelaku kemudian melakukan undoing atau “penebusan dosa”, di mana ia akan memberikan hadiah atau menjamu orang lain secara berlebihan, atau “disedekahkan” kepada kaum dhuafa, untuk menutupi kecurangan mereka. hasilnya, image sosial mereka tetap terselamatkan (Wilhelm, 2004; Kayo, 2013; Wind, 2014).”
Kecurangan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok secara sengaja yang berdampak dalam laporan keuangan dan dapat mengakibatkan kerugian bagi entitas atau pihak lain. Albrecht (2003) mendefinisikan fraud sebagai representasi tentang fakta material yang palsu dan sengaja atau ceroboh sehingga diyakini dan ditindaklanjuti oleh korban dan kerusakan korban. Fraud dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum (illegal acts). Menurut Sukanto (2009), fraud merupakan penipuan yang sengaja dilakukan yang menimbulkan kerugian pihak lain dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan atau kelompoknya.
Kecurangan atau yang sering dikenal dengan istilah fraud merupakan hal yang sekarang banyak dibicarakan di Indonesia. Kecurangan melibatkan penyajian yang keliru dari fakta yang disengaja dan atau untuk memperoleh informasi yang tidak semestinya atau untuk memperoleh keuntungan keuangan illegal. Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan. Penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat.
Teori Fraud menyimpulkan bahwa Etimologi Fraud adalah apa yang disebutnya sebagai Fraud Triangle, yaitu “Pressure, Opportunity, and Rationalization”. Yakni adanya Tekanan (pressure) atau Konflik Kepentingan (conflict of interest), adanya Kesempatan untuk melakukan (opportunity), dan adanya kecenderungan untuk mencari pembenaran terhadap perilakunya (rationalization) (Wallang & Taylor, 2012; Kayo, 2013; Sizemore, 2013; Fitrawansyah, 2014).
Tekanan (Pressure) Hendaknya perlu dibedakan antara perilaku antisosial (antisocial behavior) dan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder). Seseorang dapat melakukan perbuatan melanggar hukum (antisosial) tanpa harus memiliki kepribadian antisosial. Perilaku ini muncul sebagai reaksi terhadap tekanan dari sekitarnya, konflik neurotik (cemas dan depresi), atau pola pikir psikotik (waham dan halusinasi). Pada umumnya faktor pressure terdiri dari keadaan – keadaan yang bersifat force de majeur, artinya di luar kehendak fraudsters (Gabbard, 2005; Wallang & Taylor, 2012). Tekanan (pressure) yang dialami fraudsters dapat berupa faktor sosio ekonomi atau faktor psikobiologis.
Sedangkan kesempatan adalah salah satu yang mendukung terjadinya fraud, adanya kesempatan bagi pelaku untuk melaksanakan aksinya. kesempatan ini dapat tersedia dikarenakan oleh kewenangan atau kekuasaan yang ada padanya, sistem pengawasan lemah yang dapat dimanipulasi sendiri oleh pelaku. tidak dipungkiri, memperketat sistem pengawasan adalah jalan paling utama yang bisa ditempuh untuk mencegah fraud.
Adapun rasionalisasi yang dimaksud di sini bukanlah coping strategy untuk menghadapi stressor, melainkan perilaku fraudster yang berusaha mencari pembenaran atas perbuatannya. Proses berpikir fraudster sering terdapat cognitive dissonance, atau kejanggalan kognisi sehingga dalam kondisi berbeda, ia bersikap berbeda. Fraudster selalu bisa menjelaskan mengapa melakukan hal itu, dan menjadi sangat teguh terhadap pendiriannya tanpa memperhatikan bahwa pendirian tersebut tidak mendapat tempat dalam etika sosialnya (Wallang & Taylor, 2012). Salah satu contoh ekstrem cognitive dissonance adalah pathological lying atau bohong patologis. Disebut dalam istilah psikiatrik klasik sebagai pseudologia fantastica; terjemahan bebasnya adalah logika palsu yang menakjubkan. Pelaku memiliki kemampuan untuk membuat sandiwara di mana ia berperan sebagai orang lain untuk melakukan serangkaian kasus fraud. Pseudologia memiliki dua ciri khas yakni melibatkan identitas menyeluruh dari seseorang, dan tanpa adanya motivasi eksternal. Pelaku dalam hal ini mungkin disebut sebagai penderita, benar benar mengubah identitas pribadinya dan berperan sebagai sosok yang ia pilih (Wallang & Taylor, 2012). Beberapa praktisi hukum tidak menyetujui jika pseudologia dapat dijadikan alasan untuk memperingan hukuman. Kemampuan intelektual mereka masih utuh sehingga dianggap mampu bertanggung jawab.
Fraud memiliki tiga unsur pokok, yakni tindakan yang disengaja, kecurangan, menimbulkan keuntungan pribadi / kelompok atau kerugian di pihak lain. Teori yang mendasari fraud terdiri dari fraud triangle (pressure, opportunity, dan rationalization) dan the power theory (korupsi terjadi jika kekuasaan dilaksanakan tanpa akuntabilitas). Hendaknya perlu dibedakan antara perilaku anti sosial dan kepribadian anti sosial seorang fraudster. Perilaku anti sosial muncul karena tekanan-tekanan baik psikis, biologis, maupun sosio ekonomi. Kepribadian antisosial ditandai dengan “ke-aku-an” yang besar dan cenderung sadistik.
Pemerintahan sebagai pengemban kepercayaan dari masyarakat mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien, salah satunya adalah memastikan bahwa keuangan negara terkelola dengan baik dan akuntabel.
Namun pada pelaksanaannya banyak terjadi praktik fraud yang secara langsung dapat merugikan negara dan secara tidak langsung dapat merugikan masyarakat. Maraknya pengungkapan praktik-praktik fraud terutama korupsi di pemerintahan menunjukkan dua sisi realitas pelaksanaan pemerintahan. Hal ini menunjukkan betapa masih maraknya fraud di setiap level pemerintahan, namun disisi lain ada harapan bahwa pengungkapan tersebut menunjukkan kemauan dan tekad pemerintah dalam memperbaiki diri. Akan tetapi ada harapan bahwa fraud dapat dicegah sehingga kerugian negara dapat dihindari.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mewajibkan instansi pemerintahan pusat dan daerah membuat laporan keuangan dalam setiap pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. memberikan harapan bahwa pemerintah dapat menjadi semakin akuntabel. Penyusunan laporan keuangan tersebut diharapkan dapat menyajikan informasi mengenai pengelolaan keuangan Negara secara lebih berkualitas dan kerugian masyarakat dapat dihindari. Pengelolaan Keuangan Negara secara lebih berkualitas dan pada akhirnya dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih baik. Laporan Keuangan tersebut juga memberikan peluang kepada Pengawas Keuangan, Auditor Internal, dan Auditor Eksternal Pemerintah serta Aparat Penegak Hukum, untuk menilai dan mengidentifikasi fraud. Penerbitan laporan keuangan yang terstandar dan teregulasi juga memberikan peluang untuk menyusun sistem dan prosedur yang tidak memberikan kesempatan terjadinya fraud.
Wallahu a’lam bishawab. Semoga menjadi Amal Ibadah. Jazakallahu Khairan.