Oleh : Drs. Ahmad Usman, M.Si*
MAKHLUK seperti apakah vandalisme itu? Vandalisme merupakan suatu tabiat, perilaku, sikap atau kebiasaan yang dialamatkan kepada bangsa vandal, pada zaman Romawi Kuno, yang budayanya antara lain: perusakan yang kejam dan penistaan segalanya yang indah atau terpuji. Tindakan yang termasuk di dalam vandalisme lainnya adalah perusakan, kriminal, pencacatan, graviti, dan hal-hal lainnya yang mengganggu mata.
A. Goldstein dalam bukunya Psychology of Vandalism, perilaku vandal sendiri sebenarnya dibenarkan pada masa kekaisaran Roma ditunjukkan untuk melambangkan “perang dan penaklukan” dengan menggambar lambang/tulisan suatu kelompok dengan maksud penaklukan sebuah tempat atau poin (Ahmad Usman, 2006).
Sungguh tidak terpuji, memilukan dan sangat memalukan. Beberapa waktu yang lalu kita sempat digegerkan oleh aksi coret-coret sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab di Gunung Fuji Jepang. Coretan bertuliskan “CLA-X INDONESIA” (baca: Klaten, Indonesia) yang tertoreh di atas batu ini terutama memalukan karena gunung, sebagaimana sungai, adalah bagian alam yang dianggap sakral dan mulia dalam budaya masyarakat Jepang. Yang lebih ironis lagi, kejadian pencoretan ini terjadi tidak lama setelah pemerintah Jepang menyepakati rencana bebas visa bagi warga negara Indonesia.
Vandalisme hakekatnya merujuk pada perusakan atas barang milik orang lain termasuk juga barang yang diperuntukan untuk kepentingan publik. Vandalisme mempunyai aspek emosi dalam melakukannya. Geram dan kesal atau bahkan hanya sekadar untuk melepaskan kebosanan semata, adalah motif dari vandalisme. Ketika merusak kepentingan publik jelas dengan muatan emosi sebagai satu motifasinya, maka bisa kita katakan dia sebagai bentuk dari vandalisme. Terlebih, pelampiasan dan perusakan tersebut tidak mengekspresikan perlawanan atas sebuah sistem atau struktur, tanpa sebuah tujuan atau bagian dari sebuah strategi perlawanan.
Bila diamati secara cermat, bentuk perilaku vandalisme dapat dibagi dua. Pertama, perilaku vandalisme yang sifatnya merusak. Bentuk perilaku vandalisnya yakni mencorat-coret, dengan objek vandalisnya: berupa tembok, jembatan, pagar, halte bus, bus umum, WC umum, telpon umum, gedung umum, candi, dan lain sebagainya. Memang tidak dapat disangkal, aksi corat coret, dapat dimaknai atau sebagai penyaluran bakat, minat, hobi dari seseorang. Sehingga, jangan heran ada pimpinan daerah yang menaruh perhatian serius atas manifestasi bakat corat coret tersebut dengan membuat wadah (biasa berupa tembok persegi empat panjang) sebagai ajang penyaluran bakat, minat, hobi atau apapun namanya. Dengan wadah itu, para pemilik perilaku vandalisme tersebut, dapat melakukan aksi corat coret sesuka hatinya.
Kedua, perilaku vandalisme yang bersifat merusak. Bentuk perilaku vandalisnya yakni memotong pohon, merusak tanaman, memecahkan lampu, mencabut, melempari, mengotori, dan membaret, dengan objek vandalisnya: taman umum, hutan wisata, gedung umum, gedung sekolah, taman, dan lain sebagainya.
Dalam telaah psikologi sosial, perilaku vandalisme, termasuk perilaku menyimpang. Vandalisme terhadap lingkungan fisik dan buatan dapat dikategorikan pada perilaku depresif dan menyimpang (depreciative and deviant behavior) (Stokols D. dan Irwin Altman, dalam Jason Lase, 2003). Perilaku menyimpang merupakan semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwewenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku tersebut (Robert M.Z. Lawang, 1998). Paul B. Horton (Indianto M., 2004), penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Penyimpangan bisa didefinisikan sebagai setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat (Bruce J. Cohen, 1983).
Penyimpangan merupakan perbuatan yang mengabaikan norma, dan penyimpangan ini terjadi jika seseorang atau sebuah kelompok tidak mematuhi patokan baku di dalam masyarakat. Biasanya kita mengaitkan penyimpangan dengan istilah-istilah perilaku negatif, seperti tindak pidana dan kebrutalan. Namun, orang yang bertindak terlalu jauh dari patokan umum masyarakat bisa juga disebut sebagai penyimpangan.
Memang perilaku vandalisme, corat-coret (grafitti) misal, bisa dimaknai sebagai aksi protes terhadap kemapanan. Misalnya, di Jakarta yang dipenuhi dengan dinding beton yang cenderung massif, pejal, kaku, dan tidak ramah yang melambangkan batas-batas kebutuhan dan kepentingan di antara penghuninya.
Coretan-coretan merupakan tanda yang memproduksi sekaligus menyampaikan makna dalam dunia sosial. Tanda tidak sekadar memproduksi makna tunggal, melainkan multimakna. Saussure (Tony Thaits, 2011) menyatakan bahwa makna tanda bukanlah kualitas yang dimiliki oleh tanda individual, melainkan sesuatu yang eksis di luar tanda, dalam relasinya dengan berbagai hal dan tanda lainnya.
Para ahli sosial, misal Cohen, Miller, Stokols dan Williams, menyebutkan bahwa dalam rangka menganalisis bentuk dan penyebab vandalisme, kemudian membagi vandalisme menjadi lima jenis, yaitu: ekspresi dari suatu protes sosial (an expression of social protest); dendam (revenge); kebencian (hatred); aktualisasi diri (self actualization), dan manifestasi perilaku kewilayahan (manifestation of territorial behavior); permainan spontan (a spontaneous play); dan ungkapan kegembiraan (excitement) (Jason Lase, 2003). Seniman Gustave Courbet membenarkan vandal sebagai bentuk kreativitas, penghinaan, dan protes terhadap sesuatu yang dianggap salah.
Berbagai bentuk vandalisme yang dikelompokkan tersebut, merupakan ekspresi seseorang atau sekelompok orang dari apa yang dialaminya. Pengalaman yang mengekpresikan tindakan vandalisme lebih kepada kekecewaan, kebosanan, cemburu, loyalitas, iseng dan sebagainya.
Orang yang cenderung melakukan perilaku vandalisme atau merusak, yakni: pertama, para kaum jalanan yang kurang beruntung, karena tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan; kedua, mereka yang berbuat atas dasar kesenangan diri dan keuntungan pribadi; dan ketiga, mereka yang berbuat karena dilandasi kebenaran kelompok terdekat (Limas Susanto, Suara Pembaruan, 16/6/ 1995).
Apa dan bagaimana perilaku vandalisme? Webster’ New World Dictionary (Neufeldt, 1994), dijelaskan, vandal berasal dari bahasa latin (vandalus) yng memiliki arti: pertama, suatu anggota dari bangsa Jerman Timur yang membinasakan Gaul, Spanyol, Afrika Utara dan merampok Roma (tahun 455 M). Dari pengertian ini ditonjolkan sifat kelompok tersebut yang bersifat merusak. Kedua, orang yang diluar kebencian atau ketidaktahuannya merusak atau mengganggu harta milik pribadi, khususnya barang yang indah atau artistik. Kata sifat vandal adalah vandalis (vandalic). Dan vandalisme (vandalism) merupakan tindakan atau perbuatan vandal.
Soemarwoto (1987) menjelaskan, vandalisme umumnya terjadi adalah “dalam bentuk corat-coret dan bentuk lain adalah memotong pohon, memetik bunga, dan mengambil tanaman.” Vandalisme juga dipakai menunjuk aksi kelompok penonton musik rock yang tidak dapat masuk karena kehabisan karcis atau karena tidak puas dengan penampilan grup musik. Vandalisme dipakai menunjuk pengrusakan yang dilakukan sekelompok suporter sepak bola yang tidak puas, karena kesebelasan kesayangannya mengalami kekalahan (Suara Pembaharuan, 16 Juni 1995).
Dengan demikian, vandalisme merupakan tindakan atau prilaku yang mengganggu atau merusak berbagai obyek fisik dan buatan, baik milik pribadi (private properties) maupun fasilitas atau milik umum (public amenities). Vandalisme adalah perbuatan merusak (kadangkala ditambahkan penegasan ”dengan ganas/kejam”) terhadap benda/obyek keindahan dan artistik (misalnya pemandangan alam, karya seni, dan sebagainya).
Secara umum vandalisme yang menonjol terjadi adalah mencorat-coret (graffiti) tembok, jembatan, halte bis, bangunan umum, dan lain-lain. Begitu pula tindakan merusak fasilitas/peralatan untuk kepentingan umum (public amenities) seperti bus umum, taman, telpon umum, gedung-gedung umum, dan sebagainya.
Kecenderungan merusak yang menggejala di kota-kota besar dapat dilihat seperti mencorat-coret tembok, pagar, jembatan, dan sebagainya. Perilaku tersebut pada dasarnya merupakan hasil interaksi seseorang dengan lingkungan fisik yaitu berupa persepsinya dengan obyek tersebut. Jika persepsi seseorang terhadap obyek berada dalam batas-batas optimal, maka individu dikatakan dalam keadaan omeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika obyek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh, dan sebagainya), maka individu itu akan mengalami strees dalam dirinya (Sarwono, 1992). Lanjutnya, tekanan-tekanan energi dalam menghadapi objek akan meningkat, sehingga orang itu harus melakukan “coping” untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya.
Jika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri, maka akan melakukan perbuatan penyesuaian diri (coping behavior) seperti melarikan diri, membuang objek yang menyebabkan seseorang tidak dapat menyesuaikan diri, dan sebagainya. Lanjut Sarwono (1992: 48, 86), sebagai hasil dari “coping behavior” ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku “coping” itu tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Gagalnya tingkah laku “coping” ini menyebabkan stress berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu maupun persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku “coping” yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan terhadap diri individu (adjustment). Jika dampak tingkah laku “coping” yang berhasil terjadi berulang-ulang, kemungkinan terjadi penurunan tingkat kegagalan atau kejenuhan.
Sedang jika yang terjadi adalah dampak dari kegagalan yang berulang-ulang, maka kewaspadaan akan meningkat. Namun pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius, seperti keputusasaan, kebosanan. Jadi, kegagalan yang terjadi terus-menerus akan memberi kecenderungan seseorang untuk merusak objek (vandalisme).
Vandalisme ditinjau dari konteks dan tindakannya, memiliki sifat mendua (ambiguous) yaitu dapat merupakan tindakan yang tepat dalam konteks yang tidak tepat atau sebalikanya. Sebagaimana dikemukakan Zeffry (1994): “Tapi tidak semua gambar dan tulisan/coretan di tembok dapat diklasifikasikan sebagai grafiti yang mengandung ekspresi seni sebab berdasarkan kemampuan dan kemungkinannya, grafiti dapat saja menjadi ekspresi spontanitas yang sporadis dari rasa kecewa, frustrasi, solidaritas, loyalitas, dan iseng yang kemudian berkesan vulgar dan vandalistis.”
Perilaku vandalisme terhadap lingkungan alami dan lingkungan buatan yang tampak dalam kehidupan remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, aksi corat-coret (gravity). Corat-coret ini umumnya berobjekkan tembok, jembatan, halte bus, bangunan, telepon umum, WC umum dan sebagainya. Kedua, memotong (cutting). Memotong pohon, tanaman, kembang yang dijumpainya dengan berbagai alasan. Ketiga, memetik (pluking). Memetik kembang, daun dan buah tanaman orang lain tanpa lasan yang berarti. Keempat, mengambil (taking). Mengambil barang, tanaman, asesoris lingkungan dan sebagainya meskipun pada hakekatnya tak bermakna untuk dimiliki, mungkin barang/benda tersebut terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan sebagainya. Dan kelima, merusak (destroying). Merusak tatanan lingkungan yang sudah tersusun rapi misalnya mencongkel, memindahkan, membuang sampah di sembarang tempat bahkan kencing di depan rumah orang dan sebagainya (Jason Lase, 2003).
Ada beberapa motif lain dari perilaku vandalisme itu. Di antara motif dimaksud: pertama, “leverage vandalism” yaitu vandalisme mengungkit/membongkar sesuatu untuk mengetahui bagaimana sesuatu objek/alat bekerja; kedua, “curiosity vandalism”, misalnya vandalisme memecah jendela hanya untuk mengetahui apa yang terdapat di dalamnya; ketiga, “irresistible temptation vandalism”, yaitu vandalisme dalam bentuk godaan tentang sesuatu yang menarik, misalnya pohon yang rusak dalam proses mengetahui sejauhmana pohon tersebut dapat dibengkokkan atau melempar botol pada suatu tebing hanya mau melihat bagaimana botol tersebut pecah berkeping-keping; dan keempat, “no-other-way-to-do-it vandalism”, misalnya seseorang mengencingi suatu tempat dekat stasiun karena pintu bangunan tersebut tertutup (Jason Lase, 2003).
Sikap atau tindakan dari vandalisme adalah bentuk keegoisan orang untuk membuat orang tersebut merasa diakui. Coretan ditembok misalnya, orang tersebut menulis agar orang-orang tahu bahwa apa yang dituliskannya itu merupakan eksistensi atau menunjukan kekuasaan pada orang tersebut.
Vandalisme dalam perspektif sosiologis, dapat dijelaskan sebagai berikut (Kedaulatan Rakyat, 26/1/15). Pertama, dalam pandangan patologi sosial, vandalisme merupakan bentuk penyimpangan norma. Pelajar mengalami disorientasi karena dalam usianya yang labil, mereka menghadapi kontestasi nilai yang saling berbenturan, sehingga menyebabkan kebimbangan dalam mencari rujukan bertindak. Pendapat Yasraf A Pilliang (2003) tentang turbulensi sosial, dapat menjelaskan keadaan penuh ketidakstabilan (disorder), sehingga terjadi goncangan sosial, karena ketidaksejajaran nilai-nilai yang ditanamkan dalam institusi pendidikan seperti keluarga, sekolah, masyarakat dan media. Kedua, vandalisme merupakan salah satu ritual geng pelajar. Di dalam geng ada tukang vandal/bomber, yang bertugas melakukan coret-coret berupa vandal tags gengnya (Sidik Jatmiko, 2010).
Coretan dengan menimpa/ngebom nama geng lain dapat memprovokasi tawuran antargeng. Memutus rantai vandalisme sangat dilematis manakala keberadaan geng masih diawetkan oleh pelajar. Vandalisme oleh geng pelajar bisa jadi merupakan konstruksi identitas, ekspansi teritori dan reproduksi kekerasan antargeng.
Ketiga, vandalisme dapat dipahami sebagai reaksi, bentuk protes, perlawanan simbolik sekaligus negosiasi pelajar dengan kekuatan eksternal yang menimbulkan ketegangan. Vandalisme merupakan eskapisme yaitu mekanisme pelajar melepaskan diri dari ketegangan sosial yang akumulatif. Kegelisahan akan problematika kehidupan pelajar bagaikan sumbatan pada bottleneck (leher botol), yang jika tidak terurai dapat menghasilkan ekspresi spontan dan agresif. Keempat, vandalisme terjadi karena distorsi komunikasi antargenerasi, antara anak dengan orangtua dan antara siswa dengan guru. Distorsi terjadi manakala terdapat hambatan dalam mengartikulasikan aspirasi.
Kelima, vandalisme juga dapat dibaca sebagai bentuk tontonan (spectacle) bagi khalayak. Selain mengutamakan appearance dalam dunia sosial riil, pelaku vandalisme juga menampilkan ‘karya’ mereka melalui media sosial (dunia maya). Pelajar sebagai bagian dari anak muda (youth) dikonstruksikan secara sosial (social constructed) dalam multiposisi, yaitu sebagai subjek perubahan (agent of change), aktor kekerasan, pelaku vandalisme, maupun korban konsumerisme.
Dapatlah dikatakan: perilaku vandalisme adalah iseng, mencari identitas (pengakuan) diri, kreasi (seni), dan protes sosial. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan remaja pelaku vandalism, bentuk vandalisme yang dilakukan antara lain: ideological, vindicate, play, dan malicious. Lalu, faktor-faktor penyebab perilaku vandalism, bisa: teman sebaya (merasa nyaman dengan teman-temannya membuat subjek mengikuti tindakan vandalisme temannya); keluarga (kurangnya kasih sayang dan perhatian menyebabkan subjek melakukan vandalisme sebagai pelarian, kasih sayang berlebihan menyebabkan tindakan vandalisme subjek tidak pernah dilarang); media masa (subjek melakukan vandalisme karena terpengaruh film dan video game); dan lingkungan masyarakat (sikap acuh dari lingkungan masyarakat menyebabkan tindakan vandalisme subjek susah dihentikan).
Penulis : Alumni Administrasi (Manajemen) Pendidikan IKIP Ujung Pandang, Magister Sosiologi Unhas, kini Dosen STISIP Mbojo Bima NTB.