INIPASTI.COM, MAKASSAR – Pilkada itu anak kandung demokrasi. Demokrasilah yang menitahkan pentingnya memilih pemimpin oleh mayoritas rakyat. Demokrasi pula yang mendorong hak rakyat untuk dapat dipilih dan memilih. Demokrasi juga yang menghendaki lahirnya partai politik. Intinya, demokrasi merujuk pada kepentingan mayoritas. Mayoritas seringkali mengklaim mewakili kelompok secara keseluruhan, walaupun pada realitasnya tidak semuanya. Sebab tak ada satupun pemenang dalam kompetisi kekuasaan yang benar-benar mewakili secara mutlak sekalipun kekuasaan berdiri diatas multi partai (Multiparty).
Sebetulnya, kehendak rakyat sekecil apapun itu, tidak boleh berseberangan dengan keinginan partai. Partai adalah cetak biru dari nafas rakyat. Dalam prinsip demokrasi meniscayakan pentingnya berkompetisi, rakyat yang bakal menentukan siapa pemenang dari sebuah kompetisi politik itu. Kalau partai politik tidak memberikan ruang kepada rakyat untuk berkompetisi, atau bahkan partai politik bersama elit politik mengatur-atur agar tidak terjadi kompetisi, maka inilah suasana yang disebut sebagai demokrasi yang melumat anak kandungnya. Demokrasi telah memakan dirinya sendiri. Kalau kondisi ini terus berkembang, maka demokrasi akan memiliki umur pendek.
Sebagai contoh, situasi politik pada Pilkada Kabupaten Bone dan Enrekang di Sulawesi Selatan pada 2018, menunjukkan kecenderungan gagalnya elit politik dan partai politik merawat nilai-nilai demokrasi. Para elit politik dan partai politik tidak tahu membalas jasa kepada demokrasi, karena mereka gagal membangun panggung politik untuk berkompetisi. Bahkan mereka cenderung menutup pintu untuk berkompetisi. Hak rakyat melalui jalur partai politik dimatikan oleh elit-elit politik.
Rakyat yang merasa hak politik dan demokrasinya dikebiri melakukan perlawanan terhadap kotak kosong di Kabupaten Enrekang dan Bone. Ini menandakan buntunya alur demokrasi rakyat pada kanal yang bernama partai politik. Persekutuan antara elit politik dan partai politik tidak saja akan mematikan nilai-nilai dasar berdemokrasi, tetapi juga akan berpengaruh pada macetnya proses regenerasi kepemimpinan. Tidak berjalannya regenerasi kepemimpinan akan berdampak pada lahirnya kultur politik dinasti. Dari berbagai fakta, kekuasaan yang berbasis pada dinasti telah melahirkan kekuasaan yang tidak terkontrol, bersifat manipulatif, dan KKN.
Kekuasaan sejenis ini akan merepotkan sistem kontrol publik, karena harus dikontrol eksternal oleh publik, selain oleh sistem yang diciptakan. Jika tidak dilakukan kontrol oleh entitas eksternal, kekuasaan itu akan cenderung diktator. Kalau tidak ada pengawasan sosial rakyat, maka diktatorisme akan tumbuh seperti pengalaman Hitler, Mussolini dan Stalin.
Dalam demokrasi, kekuasaan membutuhkan kekuatan penyeimbang dari kelompok minoritas untuk melengkapi ketidaksempurnaan pengelolaan pemerintahan oleh mayoritas, sedangkan minoritas membutuhkan legitimasi kelompok mayoritas untuk menjamin ketersediaan fasilitas keamanan dan kenyamanan dalam pengelolaan hidup bersama. Dari sinilah pemerintah dibutuhkan kehadirannya oleh rakyat, untuk memastikan hadirnya kehidupan yang aman dan nyaman. Penyediaan kebutuhan dimaksud merupakan kewajiban pemerintah, disatu sisi, pada sisi yang lain merupakan hak masyarakat (Ndraha, 2001:5). Ini merupakan alasan mendasar mengapa kehadiran suatu pemerintahan menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat.
Intisari dari demokrasi adalah hubungan mutualistik antara kekuasaan dengan yang dikuasai. Antara pemerintah dengan masyarakat. Hubungan itu harus bisa diawasi oleh publik, agar terjadi evaluasi yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemimpinnya, melalui saluran demokrasi yang bernama Pilkada. Jika Pilkada seperti yang terjadi di Kabupaten Bone dan Enrekang Sulsel, itu menunjukkan prinsip dasar demokrasi tidak berjalan. Demokrasi telah terjebak pada arus kekuasaan, demokrasi telah melumat dirinya sendiri.
(*ipc/red)