INIPASTI.COM, MAKASSAR – Munculnya Raja Gowa baru yang berlandaskan Perda Lembaga Adat Daerah (LAD) hasil godokan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Gowa, telah memunculkan kisruh dalam tubuh kerajaan yang pernah menguasai sebagian wilayah di Sulawesi Selatan ini.
Kehadiran Raja Gowa versi Perda yang juga adalah Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo, memunculkan pertanyaan yang cukup menggelitik: Ada apa dengan kerajaan Gowa?
Adnan bukanlah Raja Gowa yang pertama kali menjadi pencetus konflik. Bupati berusia muda ini hanya menjadi pemantik konflik hingga menjadi lebih besar dan menasional.
Karena sebelumnya, konflik sudah ada di tubuh keluarga dalam garis keturunan Sultan Hasanuddin ini. Konflik perebutan posisi sebagai putra mahkota tahta di kerajaan yang kini tak lagi memiliki rakyat dan kekuasaan.
Baca: Kerajaan Gowa, Kisruh di Luar Kisruh di Dalam
Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, adalah raja Gowa terakhir yang mendapat pengakuan dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masa pemerintahannya yang tercatat dalam sejarah hanya empat tahun, yaitu dari tahun 1956 hingga 1960, yaitu sebagai Raja Gowa yang menjalankan tugas Kepala Pemerintahan Daerah yaitu bupati.
Andi Idjo Daeng Mattawang merupakan bupati Gowa yang pertama, jabatan yang diberikan kepadanya setelah dia menyerahkan kedaulatan Kerajaan Gowa ke dalam Pemerintahan NKRI di jaman presiden Sukarno, tanpa melepaskan statusnya sebagai Raja Gowa. Setelahnya, pemilihan kepala pemerintahan kabupaten ditentukan melalui aturan pemerintah pusat.
Dengan demikian, status Kerajaan Gowa sebagai sebuah pemerintahan yang berdaulat, berakhir, setelah dia mangkat di Jongaya pada tahun 1978. Tidak diperlukan lagi penunjukan putra mahkota.
Namun tidak demikian pendapat ahli warisnya. Tahta kerajaan yang tak bertuan, tidak punya kekuasaan dan tidak memiliki rakyat, menjadi rebutan dua bersaudara keturunan Raja Gowa ke-36 untuk meneruskan gelar sang raja, yakni menjadi Raja Gowa ke-37.
Dua putra Andi Idjo Daeng Mattawang, yaotu Andi Maddusila Andi Idjo dan Andi Kumala Andi Idjo, saling mengklaim sebagai pewaris tahta yang sah. Keduanya pun melakukan ritual penobatan sebagai Raja Gowa ke-37.
Penobatan pertama dilakukan oleh Andi Maddusila, pada 17 Januari 2011. Prosesi penobatan ini dipimpin Ketua Dewan Hadat Bate Salapang (DHBS), Abd Razak Dg Jarung Gallarang Tombolo, dan menempatkan Andi Maddusila sebagai Raja Gowa ke-37 bergelar Andi Maddusila Patta Nyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II.
Antara Sombayya, LAD, Status dan Ambisi
Tak berselang lama, ahli waris lainnya, Andi Kumala Andi Idjo menyusul melakukan ritual yang sama. Andi Kumala Idjo dinobatkan sebagai Raja Gowa ke-37 pada 2 September 2014, dengan gelar I Kumala Andi Idjo Sultan Kumala Idjo Batara Gowa III Daeng Sila Karaeng Lembang Parang, juga dipimpin ketua DHBS, H Abd Razak Tate Dg Jarung dan delapan orang anggotanya.
Tak terima dengan kudeta adiknya, pada 29 Mei 2016 lalu, Andi Maddusila kembali mengulang ritual penobatan dirinya Raja Gowa ke-37. Namun penobatan yang kedua kali ini tidak mendapat pengakuan dari pihak lain di luar kubu Andi Maddusila.
Masih belum selesai konflik internal dua bersaudara pewaris sejarah Kerajaan Gowa itu, keduanya tiba-tiba dikudeta oleh pihak luar, yang secara garis darah, berada jauh di luar garis keturunan keluarga istana Kerajaan Gowa.
Pada 11 September 2016, Bupati Gowa Adnan Purichta IYL melantik dirinya menjadi Ketua Lembaga Adat Daerah (LAD) Gowa yang menjalankan fungsi-fungsi Sombayya (Raja Gowa). Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Prda ) LAD hasil bentukan Pemkab dan DPRD Gowa. Kepastian Adnan menduduki posisi Raja Gowa, tertuang dalam Bab III pasal 3 ayat 1 poin a dalam Perda LAD, yang menyebutkan: 1) Susunan Organisasi LAD Gowa terdiri dari; a. Ketua adalah Bupati Gowa yang selanjutnya disebut Raja Gowa.
Ini berarti, pada saat sekarang ini, ada 3 orang yang secara sendiri-sendiri telah menempatkan dirinya sebagai Raja Gowa ke-37. Sebuah ironi bahwa kerajaan yang tidak lagi memiliki kekuasaan dan rakyat, menjadi rebutan yang sungguh para elit yang merasa punya kekuasaan.