Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial, tidak menutup kemungkinan melahirkan gesekan, pertengangan, konflik, bahkan perang antar masyarakat, yang diawali prasangka sosial, stereotipe, diskriminasi, bahkan jarak sosial.
Prasangka merupakan sikap yang tidak baik dan dapat dipandang sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berpikir, merasa dan bertindak dengan cara-cara yang menentang atau menjauhi dan bukan menyokong atau mendukung.
Menurut Erich Fromm, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain. Sedangkan masyarakat yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidaksalingpercayaan anggota-anggotanya (Schultz dalam Rahman dan Ismail, 2017). Senada dengan Fromm, J.E. Prawitasari dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM 2003 (Rahman dan Ismail, 2017), menyampaikan bahwa kriteria masyarakat yang sehat secara sosiopsikologis di antaranya adalah bila masyarakat mampu bercinta, yaitu mampu menggunakan cinta kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama manusia. Kriteria sehat lainnya adalah bila masyarakat mampu bekerja, mampu belajar dan mampu bermain.
Mendasarkan pada kriteria ini, tampak jelas bahwa adanya prasangka yang luas di masyarakat merupakan indikasi jelas ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan, dan permusuhan. Prasangka juga menghalangi anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan cinta satu sama lain di antara anggota-anggota masyarakat dan untuk menyebarkan perdamaian.
Prasangka Sosial
Prasangka (prejudice) merupakan istilah yang multimakna. Namun kaitan dengan hubungan antar kelompok istilah ini mengacu pada sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri yang tidak menyenangkan. Sikap ini dinamakan prasangka sebab dugaan yang dianut orang yang berprasangka tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang cukup memadai (Sunarto, 2011).
Matsumoto (2003) bahwa prasangka sebagai keinginan memberikan penilaian kepada orang lain yang didasarkan pada keanggotaan kelompok sosial seseorang.
Dalam khazanah sosiologi, ada beberapa pendapat, seperti definisi yang diberikan Donald Noel, yang tidak jauh berbeda tentang prasangka rasial yang dikatakannya sebagai suatu sikap tidak suka atau bermusuhan anggota suatu kelompok ras atau etnik terhadap anggota kelompok ras atau etnik yang lain. Biasanya, sikap ini diberlakukan secara kolektif (Andreas Pardede, dkk. dalam Setiawati, 2020).
Mastumoto (2003) menjelaskan bahwa prasangka (prejudice) memiliki dua komponen: yaitu komponen kognitif (thinking), dan komponen afektif (feeling). Stereotip adalah basis dari komponen kognitif dari prasangka—the stereotypic beliefs, anggapan dan sikap, yang dimiliki seseorang terhadap orang lainnya. Sementara komponen afektif terdiri dari satu perasaan seseorang kepada orang dari kelompok lain. Perasaan itu antara lain bentuk: marah, jijik, dendam, meremehkanatau sebaliknya kasihan, simpatikdan dekat. Dua komponen ini yang satu sama lain membangun prasangka. Orang dapat merasa dendam sebelum orang berfikir bahwa orang itu kasar (Matsumoto, 2003).
Timbulnya Prasangka
Salah satu teori prasangka adalah realistic conflict theory (Baron & Byrne, 2003) yang memandang prasangka berakar dari kompetisi sejumlah kelompok sosial terhadap sejumlah komoditas maupun peluang. Jika kompetisi berlanjut, maka masing-masing anggota akan memandang anggota kelompok lain sebagai musuh. Jika terdapat isyarat agresi, maka perilaku agresi akan muncul.
Prasangka sosial dapat timbul karena adanya kategorisasi. Dengan kategorisasi seseorang membedakan dirinya dengan orang lain, kelompoknya dengan kelompok lain, serta etnisnya dengan etnis lain. Pada umumnya orang akan membagi dunianya menjadi dua kategori yang berbeda, yaitu kategori “kita” dan “mereka” (Hanurawan, 2010). Kategori ini bisa berdasarkan berbagai hal, seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, warna kulit, agama, garis keturuan, etnis, dan lainnya.
Gundykunst (Liliweri, 2005), sikap prasangka bersumber dari; adanya kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan serta mental-kesadaran, adanya kelompok etnik atau ras lain tidak mampu beradaptasi, adanya kelompok etnik atau ras lain yang selalu terlibat dalam tindakan negatif (penganiayaan, kriminalitas), dan kehadiran kelompok etnik atau ras lain yang dapat mengancam stabilitas sosial dan ekonomi.
Ada empat faktor utama penyebab timbulnya prasangka sosial (Baron dan Byrne dalam Hanurawan, 2010). Keempat faktor tersebut yaitu konflik antar kelompok secara langsung, pengalaman belajar di masa awal, kategori sosial, dan beberapa aspek dalam kognisi sosial. Prasangka sosial dapat timbul karena adanya kompetisi dalam mendapatkan kekuasaan atau sumber daya.
Terdapat tiga hipotesis yang menjadi penyebab terjadinya prasangka, yakni: 1) Adanya ketegangan situasi yang senantiasa relatif dan bersifat individual atau kelompok sentris; 2) Dalam tiap-tiap kelompok akan senantiasa ada minoritas. 3) Adanya persaingan yang mengakibatkan timbulnya prasangka (Mar’at dalam Tasrif, 2015).
Dalam hubungannya dengan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, timbulnya sikap prasangka banyak ditentukan oleh faktor-faktor (Mar’at dalam Tasrif, 2015) sebagai berikut. 1) Kekuatan faktual yang terlihat hubungan antara mayoritas dan minoritas. 2) Fakta akan perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan minoritas. 3) Fakta mengenai kesempatan untuk usaha pada mayoritas dan minoritas. 4) Fakta mengenai unsur geografik, dimana keluarga minoritas menduduki daerah-daerah tertentu. 5) Posisi dan peran dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasai oleh kelompok minoritas. 6) Potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas dalam mempertahankan kehidupannya.
Gerungan (2010), prasangka sosial (social prejudice) terjadi karena: a. Kurang pengetahuan dan pengertian akan hidup fihak yang lain. b. Kepentingan perseorangan dan golongan. c. Ketidakinsyafan akan kerugian yang dialami masing-masing apabila prasangka dipupuk.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka (Nasution, 2015).
Pertama, orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha, seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan. Sebab dari kegagalan itu tidak dicari pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai sebab kegagalannya. Misalnya : terjajah dengan penjajah. Suatu bangsa dijajah dalam waktu yang cukup lama. Setelah bebas kembali, bangsa itu berusaha untuk membangun negaranya. Usaha membangun ini ternyata tidak berhasil gagal. Sebab kegagalan ini tidak dari bangsa itu, tetapi ditemukan atau dibebankan pada bangsa penjajah itu.
Kedua, orang berprasangka, karena memang ia sudah dipersiapkan di dalam lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka. Misalkan : seorang anak Amerika (kulit putih) ia sudah dilahirkan di dalam keluarga kulit putih. Di dalam keluarga itu sudah dianut atau ditegakkan suatu norma tertentu yaitu bahwa orang Negro itu pemalas, bodoh tak tau kesusilaan, dan kotor. Anggapan semacam ini sudah tertanam pada diri anak sejak kecil, sehingga anak akan mengikuti pula anggapan semacam ini. Bardasarkan ini, maka tidak mustahil bila terjadi seorang anak kulit putih telah berprasangka terhadap orang Negro, meskipun anak itu belum pernah bergaul dengan orang orang Negro. Hal semacam ini tentu saja merugikan perkembangan anak.
Ketiga, prasangka timbul karena adanya perbedaan, dimana perbedaan ini menimbulkan perasaan superior. Perbedaan di sini meliputi : (a) Perbedaan phisik/biologis, rasa.Misalnya : Amerika Serikat dan Negro. (b) Perbedaan lingkungan/geografis.Misalnya : orang kota dan orang desa. (c) Perbedaan kekayaan.Misalnya : orang kaya dan orang miskin. (d) Perbedaan status sosial. Misalnya : Majikan dan buruh. (e) Perbedaan kepercayaan/agama. (f) Perbedaan norma sosial.
Keempat, prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tak menyenangkan. Misalnya : bangsa yang dijajah dengan bangsa yang penjajah. Kesan dari bangsa yang dijajah ialah bahwa penjajah itu kejam, mengharuskan kerja paksa, merampas kebebasan dan sebagainya. Dengan kesan atau pengalaman semacam ini terjajah akan berprasangka terhadap penjajah.
Kelima, prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu. Misalnya : orang selalu berprasangka terhadap status ibu tiri, atau anak tiri.
Dampak Prasangka Sosial
Bentuk prasangka sosial dikelompokkan menjadi dua yaitu prasangka terang-terangan
dan prasangka halus. Prasangka terang-terangan dikenal sebagai prasangka gaya lama, sementara prasangka halus dikenal sebagai prasangka modern. Pettigrew dan Meertens (Brown, 2005) mengemukakan tentang pemilahan serupa bentuk dikotomi prasangka modern dan gaya lama ini. Mereka menyebutnya sebagai prasangka yang “subtle” (tidak terang-terangan/halus/tersembunyi) dan yang “blatant” (terang-terangan).
Efek dari prasangka adalah menjadikan orang lain sebagai sasaran prasangka; misalnya mengkambinghitamkan mereka melalui stereotipe, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial (Liliweri, 2005). Prasangka mengandung motif-motif kecurigaan yang lahir dari subyektivitas individu maupun kelompok terhadap kelompok lain yang biasanya ditandai dengan rasa superioritas dari kelompok mayoritas yang memandang inferior terhadap kelompok minoritas. Dengan demikian, adanya sikap prasangka sosial akan menjadi sumber yang potensial bagi perpecahan/disintegrasi yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik.
Ketika kondisi demikian terjadi, maka akan terjadi pula kemandegan komunikasi sosial budaya antarkelompok, ras, etnik ataupun golongan. Dengan kata lain, prasangka menjadi sumber potensial disharmonisasi dan disintegrasi. Disharmonisasi dan disintegrasi dalam perspektif ini muncul karena adanya kesenjangan informasi serta sikap sinis dan persaingan yang didasarkan bukan atas prestasi melainkan pada rasa kalah dan tidak percaya diri. Dalam hal demikian, prasangka akan menjadi jarak sosial antara berbagai kelompok dalam masyarakat yang cenderung tidak adaptif, tidak fleksibel, bersikap tertutup dan keengganan untuk membuka diri karena berbagai alasan yang tidak rasional.
Samovar et.al. (Rahman dan Ismail, 2017) mengungkapkan bahwa perwujudan sikap prasangka antara lain: 1) Antilocution, yakni mendiskusikan kelompok lain dari sisi negatifnya; 2) Avoidance, merupakan upaya menghindar dari kelompok lain yang tidak disukai; 3) Discrimination, yaitu mengucilkan kelompok tertentu yang dianggap tidak layak untuk diajak berkomunikasi; 4) Violence, merupakan serangan fisik setelah emosi meningkat; dan 5) extermination merupakan upaya pemusnahan satu persatu atau secara masal.
Dengan demikian, adanya sikap prasangka sosial akan menjadi sumber yang potensial bagi perpecahan/disintegrasi yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik.
Mengatasi Prasangka
Menurut Nasution (2015), usaha menghilangkan atau mengurangi prasangka ini dibedakan berikut.
Pertama, usaha preventif : ini berupa usaha jangan sampai orang (kelompok) terkena prasangka. Menciptakan situasi atau suasana yang tentram, damai, jauh dari rasa permusuhan. Melainkan dalam arti berlapang dada dalam bergaul dengan sesama manusia meskipun ada perbedaan. Perbedaan bukan berarti pertentangan. Memperpendek jarak sosial (sosial distance) sehingga tidak sempat timbul prasangka. Usaha semacam ini terutama harus dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, guru terhadap anak didiknya, masyarakat, mass media dan sebagainya.
Kedua, usaha kuratif : usaha menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka. Usaha di sini berupa menyadarkan. Prasangka adalah hal yang selalu merugikan tidak ada hal yang bersifat positif bagi kehidupan bersama. Justru adanya prasangka itu pihak luar/pihak ketiga malahan dapat menarik keuntungan, dengan jalan memperalat atau menimbulkan suasana panas dan kacau dari golongan yang berprasangka terhadap golongan yang diprasangkai demi keuntungan pihak ketiga.
Dalam prasangka itu tiap-tiap situasi yang bersangkut paut dengan cara-cara yang sama, misalnya: seorang yakin bahwa sesuatu suku/ras adalah rendah derajatnya. Atas dasar keyakinan ini, maka segala pengalaman yang diperoleh orang tersebut mengenai suku itu dipandang/ditafsirkannya dari segi keyakinan tersebut. Maka akibatnya orang tidak mau tahu terhadap kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan prasangka itu.
Jadi perubahan sikap mengenai prasangka mempunyai 3 ciri (Nasution, 2015) sebagi berikut : (1) Adanya pembatasan tentang situasi dari segi pre-conseption (pandangan tertentu sebelumnya). (2) Sikap yang demikian itu bertahan dengan kuatnya artinya sikap tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. (3) Tinjauan terhadap obyek negatif yang menjurus ke arah yang negatif artinya kearah yang tidak menyenangkan.Contoh : Orang mempunyai keyakinan bahwa orang Madura itu mudah naik darah. Maka apabila orang tidak pemarah mengetahuinya, tentu ia menutup marah/tak mau tahu. Jadi pandangannya negatif.
Usaha untuk mengatasi atau mengurangi prasangka dilakukan dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi, melalui pendidikan anak, mengadakan kontak di antara dua kelompok yang berprasangka, dan permainan peran atau role playing. Permainan peran di sini diartikan, orang yang berprasangka diminta untuk berperan sebagai orang yang menjadi korban prasangka, sehingga yang berprasangka akan merasakan, mengalami, dan menghayati segala penderitaan yang menjadi korban prasangka. Dan akhirnya ia tidak berprasangka dan tidak bertindak diskriminatif.
Sikap prasangka terhadap orang lain atau kelompok lain merupakan kecenderungan sikap untuk menjauhi dan mengambil jarak serta tidak berhubungan secara erat dengan orang lain atau kelompok lain, juga merupakan kecenderungan untuk merugikan dan tidak membantu orang lain atau kelompok lain.
Dalam masyarakat majemuk yang pasti rawan dan rentan dengan konflik, maka perlu ditangkal prasangka sosial. Sebab konflik sosial, salah satu sumbu pemicu adalah prasangka sosial.
Semoga !!!