Penulis : Zahratul Jannah Djaya (Mahasiswa KPI UINAM)
INIPASTI.COM, GOWA – Matahari perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya dan menampakkan sinarnya. Saat itulah, sesosok perempuan berusia hampir setengah abad memulai untuk menjemput lembar demi lembar uang dengan berjualan tisu.
Sani, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia menelusuri jalan dengan raut muka yang menyiratkan kelelahan. Namun, ia tak berniat sedikitpun menampakkannya. Ia ingin selalu terlihat kuat di depan keluarganya, terutama pada ketujuh anaknya dan sosok pria yang selalu setia mendampinginya untuk mendidik dan merawat anak-anaknya, meskipun kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan bahkan kadang tak cukup.
Pria yang telah setia selama 20 tahun bersama Sani adalah seorang buruh bangunan dengan gaji satu juta rupiah per bulan. Gaji yang sama sekali tak sebanding dengan kebutuhannya yang harus membiayai istri dan anak-anaknya. Hal itulah yang membuat Sani terpaksa harus turun tangan untuk membantu perekonomian keluarganya.
Rumah yang terletak di Jl Bawaraja Makassar (dekat tol), membuatnya terpaksa harus naik angkutan umum karena jarak antara rumah dan tempat di mana ia menghabiskan sebagian waktunya, terlampau jauh sehingga tak memungkinkan bila ia hanya berjalan kaki. Itu akan memakan waktu yang sangat lama. Setelah naik angkot, ia kemudian melanjutkan dengan naik becak motor (bentor).
Setelah tiba di tempat tujuan, Sani kemudian melanjutkan berjalan kaki. Usia yang tak lagi muda, membuatnya berjalan gontai. Tak lagi seperti orang-orang pada umumya. Sendal jepit tua dengan warna yang telah memudar selalu setia menjadi pengalas untuk kakinya agar tak bersentuhan langsung dengan jalan beraspal. Apalagi saat itu suhunya meningkat sebab matahari mulai panas-panasnya. Cukup kakinya saja yang setiap hari terpanggang oleh panasnya matahari sehingga membuat warnanya kini tidak sepadan lagi dengan warna kulit aslinya.
Dengan menenteng kantongan yang berisi tisu, yang ia ambil dari bosnya. Ia berkeliling kampus, masuk dari satu fakultas ke fakultas lain. Mengumpulkan lembar demi lembar uang untuk membeli beras.
Baca juga : Banyak Anak Bawah Umur Jajakan Tisu di Kampus
“Kadang kalau diberikan 30 ribu sama yang punya ini tisu, saya pake untuk beli beras,” ujarnya yang kala itu sedang duduk di selasar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, beberapa waktu lalu . Ia mengistirahatkan tubuhnya yang mulai terasa lelah.
Kadang dalam sehari, ia mendapatkan 100-200 ribu, tapi itu tak menentu bahkan kadang suatu waktu ia hanya mendapatkan beberapa puluh ribu. Dan setelah itupun, ia harus menyetor terlebih dahulu hasil jualannya kepada bosnya, yang kemudian dari situ ia diberi upah. Meskipun kadang hanya diberi 30 ribu, karena sebagian telah dipakai untuk transportasi sebesar 30 ribu. Tapi hal itu tak mengurangi semangatnya untuk terus berjualan. Berjualan tisu yang telah ditekuninya selama enam bulan.
Kadang terlintas rasa bersalah pada anak-anaknya karena hanya bisa menyekolahkan mereka sampai tingkat SMP bahkan ada yang hanya sampai tingkat SD.
“Tidak ada anakku yang kuliah, karena tidak mampu ki biayai, jadi saya sekolah kan sampai SMP saja dan ada juga yang cuma sampai SD,” ungkapnya. (*)
Baca juga :Aksi Cantik di Hari Antikorupsi
//