Guru honorer Sugianti berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim peduli dengan kesejahteraan dirinya dan guru honorer lain.
Sugianti mengatakan beban guru honorer dan PNS cenderung sama, namun ada perbedaan dalam hak upah dan tunjangan yang diterima.
“Kalau PNS untuk wilayah DKI Jakarta itu kan mereka menerima gaji sebagai PNS, dapat tunjangan dan sertifikasi. Namun guru honorer kan hanya mendapatkan upah sebesar UMP (upah minimum provinsi). Tapi tanggung jawab dan beban mengajar itu diperlakukan sama,” kata Sugianti saat dihubungi, Senin (28/10).
Sugianti merupakan guru honorer yang mengajar di SMPN 84 Koja, Jakarta Utara. Ia telah dinyatakan lulus tes CPNS. Akan tetapi, hingga kini dia belum menerima Surat Keputusan (SK) terkait dengan penetapan sebagai CPNS.
Ia mengaku sempat diintimidasi oleh pihak sekolah dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta saat menggugat Dinas Pendidikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2016 lalu.
“Ketika saya mendaftarkan gugatan di bulan Desember (2016), waktu itu pihak Dinas Pendidikan meminta saya untuk membatalkan gugatan atau mengundurkan diri sebagai tenaga honorer di wilayah dinas pendidikan karena dianggap melawan,” kata dia.
Kala itu, Sugianti menolak berhenti mengajar. Dia tidak mau mengundurkan diri sebagai guru SMPN 84 usai mengajukan gugatan ke PTUN.
Namun, Sugianti tidak diberi jam untuk mengajar oleh pihak sekolah. Dia hanya duduk-duduk saja selama berada di sekolah. Meski begitu, dia tetap berusaha untuk selalu datang ke tempat kerjanya.
Tak hanya itu, Sugianti juga mengaku pernah tidak memperoleh upah setelah melaporkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta ke Ombudsman terkait dugaan maladministrasi. Sugianti lantas tidak diberikan honor mengajar.
“Hak mengajar yang dikembalikan, upah saya ditahan sampai kalau tidak salah bulan Juni 2017,” tambahnya.
Sugianto dinyatakan lulus seleksi CPNS pada Februari 2014 lalu. Namun, dia tidak diangkat sebagai PNS.
Dia lantas mengajukan gugatan kepada Pemprov DKI Jakarta. Mulai dari gugatan pertama, banding, hingga kasasi semuanya dimenangkan oleh Sugianti.
Majelis hakim PTUN sudah memerintahkan Pemprov DKI mengangkat Sugianti menjadi PNS sejak putusan telah inkracht per 27 Maret 2018.
Hingga kini, Sugianti masih belum diangkat menjadi PNS.
Dia kemudian menggugat Kepala Kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN) V, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Dia meminta ganti rugi secara moril dan materiil sebesar Rp5 milyar kepada para tergugat.
Kali ini, Ia menggugat empat pihak agar tidak ada lagi yang melempar tanggung jawab jika PTUN sudah mengeluarkan putusan.
“Makanya gugatan kali ini, supaya mereka tidak saling melempar bola, kita sertakan semua pihak-pihak yang terkait ini,” ucap Sugianti.
Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohamad Ridwan angkat suara soal Sugianti yang tak kunjung diangkat menjadi PNS. Ridwan mengatakan berkas Sugianti tidak masuk di BKN hingga masa pemberkasan Tenaga Honorer Kategori 2 berakhir pada 30 November 2014.
Pemberkasan pengangkatan Sugianti dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. BKN, ujar Ridwan, tidak menerima berkas itu dari Pemprov DKI hingga batas waktu berakhir.
“Kalau tidak keliru, berkas yang bersangkutan (Sugianti) tidak masuk ke BKN. Bagaimana mungkin kami akan menindaklanjuti,” katanya (bs/syakhruddin)