INIPASTI.COM, MEDAN – Percepatan pencegahan stunting di Indonesia butuh komitmen politik Pemerintah Daerah. Pasalnya, tidak sedikit daerah yang menutupi kondisi gizi di daerahnya agar dinilai berkinerja baik.
“Komitmen politik kepala daerah ini sangat penting karena akan mempengaruh gerak organisasi perangkat daerah dalam memerangi stunting. Salah satunya dengan penerbitan regulasi maupun kebijakan yang dapat berkontribusi pada pengurangan prevalensi stunting,” ungkap Asisten Deputi Perlindungan Sosial dan Penanggulangan Bencana Sekretariat Wakil Presiden, Abdul Muis saat penutupan Bimbingan Teknis Penyusunan Kebijakan Daerah Tentang Komunikasi Perubahan Perilaku untuk Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) di Hotel Polonia, Kota Medan (25/10).
Acara yang diselenggarakan Sekretariat Wakil Presiden dan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) Stunting tersebut diikuti sebanyak 32 Kabupaten/Kota dari empat provinsi yakni Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta, Banten, dan DI Yogyakarta.
Muis memaparkan, selama ini Pemerintah sudah banyak menjalankan berbagai program dan kegiatan yang terkait dengan pencegahan stunting. Permasalahannya adalah program-program tersebut masih belum terkoordinasikan dengan baik dan tidak terjadi konvergensi.
“Padahal, untuk melakukan pencegahan stunting dan persoalan gizi lainnya, diperlukan konvergensi antar program. Tidak bisa dilakukan secara parsial dan sendiri-sendiri,” imbuhnya.
Oleh karena itu, lanjut Muis, dengan Strategi Percepatan Pencegahan Stunting ini, Pemerintah Pusat ingin memastikan program-program tersebut menyasar kelompok sasaran yang sama, yaitu rumah tangga yang mempunyai Ibu hamil dan anak usia 0 ā 23 bulan atau rumah tangga 1000 HPK. Desa atau kelurahan yang menjadi lokasi prioritas, kata dia, harus dipastikan menerima program dan kegiatan yang diperlukan untuk melakukan percepatan pencegahan stunting.
Menurut Muis, stunting terjadi bukan hanya disebabkan oleh tidak tersedianya program dan kegiatan, tetapi juga terkait dengan perilaku yang ada di masyarakat, baik terkait dengan pola makan, pola asuh dan pola sanitasi.
Sebagai contoh, pemerintah sudah memberikan Tablet Tambah Darah untuk Ibu hamil, tetapi masih sedikit sekali Ibu hamil yang meminum Tablet Tambah Darah tersebut. Contoh lainnya adalah pemberian ASI ekslusif yang angkanya masih belum menggermbirakan dan jumlah otang yang masih buang air besar sembarangan yang masih cukup tinggi.
“Sebagus apapun program yang diwacanakan dan berapapun banyaknya uang yang digelontorkan tapi tanpa adanya perubahan perilaku dari masyarakat, maka percepatan pencegahan stunting akan sangat sulit dilakukan,” imbuhnya.
Muis berharap penyusunan kebijakan terkait komunikasi perubahan perilaku ini dapat berkontribusi besar dalam target penurunan prevalensi stunting nasional yakni sebesar 19 persen pada akhir 2024 mendatang. Untuk diketahui, angka prevalensi stunting Indonesia masih berada di angka 30,8 persen pada tahun 2018, dan berdasarkan hasil perhitungan Survei Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) tercatat angka prevalensi stunting menjadi 27,67 persen atau turun 3,1 persen.
(Iin Nurfahraeni)