INIPASTI.COM – Analisis ini hanya ditujukan kepada Nurdin Halid dan Nurdin Abdullah. Keduanya selain memiliki kesamaan pada first name, juga telah memiliki dukungan partai politik yang melebihi jumlah yang dibutuhkan sesuai undang-undang. Kandidat lain akan segera dianalisis manakala dukungan partai politik telah terpenuhi.
Nurdin Halid (NH) dan Nurdin Abdullah (NA) yang bakal maju menjadi calon Gubernur Sulsel 2018 mendatang telah memainkan banyak issue untuk mendapatkan simpati publik. Wacana dalam berbagai varian telah lama dimainkan oleh NH. NH yang pernah memiliki persoalan hukum diwacanakan sebagai tokoh yang peduli dengan pembangunan di kampung halamannya. NH juga diwacanakan sebagai aktor yang memiliki pengalaman tingkat nasional yang memiliki jaringan luas. Soal pembangunan Sulsel dipresepsikan dapat dilakukan dengan mudah oleh NH yang sudah dianggap sebagai tokoh nasional. NH juga memiliki infrastruktur kekuasaan partai. Karena NH adalah salah satu Ketua DPP Partai Golkar yang memiliki kolega antar partai ditingkat pusat. Dalam soal uang, NH dikenal piawai menemukan sumber-sumber pendanaan untuk kepentingan politiknya.
Sedangkan Nurdin Abdullah (NA) diwacanakan sebagai bupati pintar dan andalan Sulsel. Majunya NA sebagai bakal calon Gubernur Sulsel juga diwacanakan sebagai kehendak rakyat yang sulit dibendung oleh NA. Ia maju atas permintaan rakyat, itu yang selalu diuraikan NA pada setiap kesempatan berhadapan dengan publik. Struktur kekuasaan nyaris tidak dimiliki oleh NA, kecuali kekuasaan terbatas yang ada di Bantaeng. Akan tetapi NA memiliki kekuasaan tersembunyi. Setelah gagal mendapat dukungan dari keluarga penguasa dan pengusaha dari Sulsel, ia berhasil meraih kekuasaan baru, yang membuat NA harus mengganti figur wakilnya. Faktor struktur kekuasaan memiliki kedekatan dengan pundi-pundi keuangan. Uang akan datang bersama kekuasaan. Kekuasaan memiliki jaringan dan power untuk mengumpulkan sumber-sumber dana.
Itu sebabnya, politik tidak bisa dilihat dengan cara pandang linier, karena politik adalah hasil kombinasi banyak kepentingan. Akan tetapi, dari rajutan berbagai kepentingan itu, tendensi kekuasaanlah yang paling dominan dalam urusan politik. Politik adalah jembatan untuk merapat ke panggung kekuasaan. Tiga faktor (wacana, uang dan kuasa) memiliki pengaruh yang kuat untuk meraih posisi kekuasaan (Fahmid, 2011: 2012: 2013).
Pemilukada yang berlangsung serentak tahun depan pada 11 kabupaten/kota dan Pilgub di sulsel, akan menjadi ajang pertarungan kepentingan sejumlah pihak, tidak saja pelaku atau para kandidat yang bertarung di daerah yang bersangkutan, tetapi juga aktor-aktor politik dan ekonomi lainnya, baik yang berada di daerah tersebut maupun yang berada di tempat lain, pasti mengambil posisi dalam hajat politik daerah ini.
Bagaimana aktor politik dan ekonomi ini bermain? bagaimana model konstruksi politik yang mereka bangun? Sekurang-kurangnya ada tiga dimensi penting yang dimainkan oleh para aktor politik jelang Pemilukada 2018 di Sulsel.
Pertama, mereka memainkan kekuatan wacana yang oleh para tim suksesnya disebut sebagai political marketing. Pola ini pada umumnya berusaha membangun kepercayaan publik melalui pencitraan positive terhadap kandidat. Selain melalui media massa cetak dan elektronik, para aktor politik juga menggunakan ruang-ruang publik terbuka, dan semi terbuka, seperti memancangkan baligho dan spanduk di jalan-jalan umum, menyebarkan poster, flayer, stiker dan postcard di rumah-rumah pribadi, dan sebagainya. Langkah ini paling tidak dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas (pengenalan) kandidat. Jalan sehat, cinta masjid, dan gerakan hijau adalah cara lain yang dilakukan para aktor politik. Semuanya untuk membangun simpati, mengejar popularitas, meraih dukungan elektoral.
Dengan meningkatkan popularitas kandidat, maka membuka kesempatan bagi kandidat yang bersangkutan untuk disukai dan dipilih. Secara teoritis dan faktual, tingkat popularitas seorang kandidat yang memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan pada Pemilukada atau Pilgub, tidak boleh kurang dari 90%. Artinya, 9 dari 10 orang yang ditanyai, mengenal kandidat. Dari minimal 90% orang yang mengenal kandidat tersebut, diharapkan 70% sampai 80% menyukai kandidat yang bersangkutan, dan 30%-60% akan memilihnya.
Kedua, menggunakan pendekatan struktur kekuasaan. Model ini pada umumnya dimainkan oleh aktor-aktor politik yang memiliki jaringan formal, seperti seorang pejabat yang memiliki jaringan birokrasi dan fasilitas yang menyertainya. Jaringan formal Partai Politik juga seringkali digunakan untuk menjalankan operasi ini. Meskipun kerap kali jaringan semacam ini tidak cukup ampuh untuk memastikan meningkatnya bobot pengenalan dan elektabilitas kandidat. Struktur kekuasaan biasanya sangat berhasil memainkan peranan untuk mempengaruhi masyarakat kelas menengah dan elit politik. Kandidat yang diusung oleh partai politik besar misalnya dianggap memiliki kepercayaan dari publik. Demikian juga dengan kandidat incumbent atau kandidat yang masih memiliki kekuasaan formal, selalu dikaitkan dengan tingginya kepercayaan publik. Pola struktur kekuasaan sesungguhnya terbagi dalam dua tipe yakni infrastruktur politik dan superstruktur politik.
Ketiga, para politisi memainkan kekuatan uang. Uang dijadikan sebagai mesin politik, yang dapat memproduksi dukungan massa, baik secara langsung maupun menggunakan media-media tertentu. Bangunan politik yang menggunakan pilar uang, ajan mendorong para politician berkolaborasi dengan pengusaha. Kandidat yang memperoleh dukungan paling tinggi berdasarkan polling-survei dari lembaga yang kredibel biasanya kebanjiran sponsor dari pemain bisnis. Para pengusaha yang mau berinvestasi di pilkada umumnya tidak mau mengambil resiko besar. Mereka tidak peduli dengan siapa yang akan menjadi bupati/gubernur, tetapi mereka sangat concern terhadap siapa yang akan mungkin menenangkan pertarungan, itulah yang mereka dukung. Ada apa di balik dukungan para pengusaha ini? Tidak ada yang istimewa dari dukungan pengusaha, kecuali mengalirnya lembaran fulus untuk membantu pergerakan dan program kandidat. Dari keterlibatannya ini, jika kandidat yang didukungnya itu memenangi pilkada, maka pengusaha tersebut diberi ruang oleh kandidat terpilih untuk bermain atau berusaha di wilayahnya.
Dengan munculnya tiga model konstruksi permainan politik jelang pilkada, maka sesungguhnya, aktor-aktor yang bermain pada arena pilkada bukan saja para kandidat yang bertarung di pilkada, akan tetapi terdapat sejumlah aktor lain, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, yang tersedia dan yang disediakan. Para aktor ini biasanya berdiri pada tiga payung besar, infrastructure politik (parpol dan jaringannya), suprastruktur politik (kekuatan ormas, dan organisasi non partisan politik, keluarga dan kolega), serta payung ekonomi (bisnis).
Akhirnya, apapun yang dijanjikan kandidat, panggung apapun yang digunakannya, dan jenis permainan yang dimainkannya tidak lebih dari sandiwara politik. Mereka tidak lebih dari pemburu rente kekuasaan. Berbagai pencitraan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, pengabdian kepada publik, dan seakan-akan memiliki idealisme yang sempurna yang ditunjukkan calon bupati/walikota dan gubernur harus tetap diwaspadai, karena mereka adalah aktor-aktor handal yang bergerak berdasarkan skenario dan sutradara politik, yang cenderung bermaksud memanipulasi sentimen dan emosi publik. Para calon pemimpin memiliki sumber daya yang cukup untuk memanfaatkan wacana, struktur kekuasaan dan uang untuk meraih, mempertahankan dan memperluas kekuasaan (Fahmid, 2011: 2012a: 2012b: 2013).
——————————————
References
Fahmid, IM (2011) Pembentukan elite politik di dalam etnis bugis dan makassar menuju hibriditas budaya politik, IPB Bogor Agricultural University
Fahmid, M. (2011). Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar: Menuju Hibriditas Budaya Politik. Unpublished doctoral dissertation, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Google Scholar.
Fahmid, IM . 2012a. Identitas Dalam Kekuasaan, Ininnawa-Ispei, Makassar
Fahmid, I. M. (2012). Identitas Dalam Kekuasaan. Makassar: Ininnawa.
Fahmid, I. M. (2012). Tidal Polarization In Elite Ethnic and Makassar Bugis. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2).
Fahmid, I. M., & KM, J. P. K. (2013). Transformation and interaction in elite formation between ethnics. Transformation, 3(2).