INIPASTI.COM, Jakarta – Pola kemitraan dinilai sebagai salah satu langkah strategis dalam upaya penyelamatan kakao Indonesia dari kelangkaan. Jalinan kemitraan antara industri maupun perdagangan pengolahan kakao dan coklat dengan para petani kakao seharusnya bersifat wajib, bukan lagi sekadar sukarela.
Hal itu disampaikan Ketua Masyarakat Kakao Indonesia (MKI), Alosyius Danu, selaku salah satu narasumber dalam Talkshow dan Konferensi Pers yang diselenggarakan secara virtual oleh Gamal Institute pada awal Desember 2021.
Danu menjelaskan, pola kemitraan ini merupakan usulan pertama yang dilontarkan MKI karena menilai langkah tersebut diperlukan dalam mengatasi masalah kelangkaan biji kakao di Indonesia yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Kelangkaan biji kakao diketahui terjadi lantaran menurunnya produktivitas dan produksi kakao di Indonesia akibat sejumlah faktor, di antaranya tidak adanya peremajaan terhadap tanaman ataupun lahan kakao. Di sisi lain, belakangan cukup banyak industri besar pengolah kakao asing yang telah berinvestasi di Indonesia.
Dengan adanya persoalan kelangkaan biji kakao tersebut, tentunya banyak industri yang kekurangan bahan baku. Sebagian besar industri pun akhirnya memilih jalan impor bahan baku.
Untuk mewajibkan kemitraan industri kakao dengan para petani melalui koperasi sebagai wadah bagi para petani kakao, pihaknya juga mengusulkan adanya peraturan bersama menteri (PBM), dalam hal ini menteri perdagangan dan perindustrian bersama menteri pertanian. Hal itu khususnya bagi industri pengimpor biji kakao.
“Sebab kalau kemitraan ini tidak diwajibkan, maka pengusaha akan cenderung untuk berpikir efisien dalam mengatasi masalah langkanya bahan baku biji kakao ini, sehingga akhirnya mereka akan lebih memilih impor sebagai solusi paling mudah. Tentunya ini justru akan menyakiti hati banyak petani kakao Indonesia,” ungkap Danu.
Pihaknya berharap langkah penyelamatan kakao Indonesia ini dapat dilakukan mulai dari hulu hingga hilir secara terpadu dan bukan sporadis atau terpecah-pecah. Usulan MKI lainnya, lanjut Danu, yakni agar pemerintah juga dapat memfokuskan program kementerian terkait kepada pengembangan industri kreatif coklat (artisan), serta mendorong diterapkannya Indonesian Sustainable Cocoa (ISCO) demi keberlanjutan kakao indonesia.
Sementara itu, Gamal Nasir yang juga merupakan pemerhati perkebunan menilai, penurunan produktivitas dan produksi biji kakao harus menjadi perhatian serius. Saat ini bahkan impor biji kakao ke Indonesia terbilang tinggi. Padahal menurut catatan, sebelumnya Indonesia pernah menduduki posisi nomor 3 di dunia sebagai penghasil biji kakao tetapi sekarang turun jadi nomor 6. Ia juga menekankan perlu adanya regulasi yg mewajibkan kemitraan utk perusahaan seperti halnya sawit.
Sementara itu menurut Soetanto, saat ini terdapat dua jenis industri pengolah produk kakao di Indonesia, yaitu perusahaan besar atau reguler dan perusahaan artisan coklat atau artisant chocolate.
“Untuk perusahaan besar atau reguler saat ini jumlahnya baru sedikit. Sedangkan untuk artisant chocolate ada sekitar 30 perusahaan,” ungkap Soetanto.
Menurut dia, perusahaan besar ini menyerap kakao petani dengan jumlah cukup besar namun hanya dihargai rata-rata Rp 30.000/kg. Berbeda dengan perusahaan coklat artisan yang bisa membeli hasil panen petani Rp 50.000/kg, namun jumlahnya sedikit.
Dia menambahkan, sekitar 30 perusahaan tersebut bisa menyerap rata-rata 600 ton-1000 ton biji kakao per tahun sedangkan produksi kakao ada sekitar 200.000 ton.
Agar bisa mendapatkan penghasilan lebih, menurut Soetanto, para petani perlu meningkatkan produktivitas maupun produksi kakaonya. Sebab dengan meningkatnya produktivitas dan produksi kakao tersebut akan memberi peluang petani mendapatkan hasil penjualan kakao dengan harga lebih dari Rp 30.000/kilogram.
Terkait kemitraan antara industri dengan petani kakao, Soetanto menyebutkan dengan adanya keringan berupa penghapusan bea masuk impor sudah selayaknya perusahaan melakukan kemitraan. (Humas Ditjenbun)