INIPASTI.COM – Yusril Ihza Mahendra mengakui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor 90 mengenai syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden memiliki beberapa masalah yang signifikan.
Hal tersebut diungkapkan setelah kuasa hukum tim Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Luthfi Yazid, menyoroti pernyataan Yusril sebelumnya yang menyatakan putusan tersebut cacat hukum, sebelum Yusril menjadi kuasa hukum Gibran Rakabuming Raka, sebagaimana dilansir di laman CNN Indonesia.
Menurut Luthfi, Yusril pernah berpendapat bahwa putusan tersebut memiliki cacat hukum yang serius dan mengandung penyelundupan hukum. Bahkan, Yusril juga berandai-andai bahwa jika dia menjadi Gibran, dia tidak akan maju sebagai calon wakil presiden.
“Saya ingin mengklarifikasi ucapan Luthfi. Kata-kata yang mengatakan, ‘andaikan saya Gibran saya akan minta kepada dia’, adalah kata-kata yang tidak logis. ‘Andai kata saya Gibran, saya akan bersikap seperti ini’, itu baru logis,” ungkap Yusril dalam tanggapannya.
Yusril kemudian menjelaskan bahwa putusan MK tersebut memang mengandung banyak masalah. Dia mengakui bahwa dari sudut pandang filsafat moral, putusan tersebut dapat dikategorikan sebagai cacat etik. Namun, Yusril menegaskan bahwa putusan tersebut harus tetap dipatuhi sebagai bentuk kepastian hukum.
Meskipun putusan tersebut memiliki masalah dari segi filsafat hukum dan etika, Yusril menyatakan bahwa dari segi kepastian hukum, putusan tersebut jelas dan harus ditaati. Menurutnya, persoalan keadilan dan kepastian hukum merupakan hal yang sulit dipertemukan dalam filsafat hukum.
Yusril juga menanyakan apakah kedua persoalan tersebut perlu terus diperdebatkan. Menurutnya, ketika dihadapkan pada kasus konkret, apakah lebih baik berdebat tentang keadilan yang tidak berujung atau mengakhiri dengan kepastian hukum.
Hari ini, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari tim Ganjar-Mahfud. Tim tersebut menggugat hasil Pilpres 2024 ke MK karena menduga adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Mereka menilai ada intervensi penguasa, terutama dari Presiden Joko Widodo, dalam kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Tim tersebut meminta pemungutan suara diulang dengan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran (sdn)