INIPASTI.COM, MAKASSAR – Situasi politik menjelang Pilgub Sulsel 2018, menunjukkan eskalasi yang kian mengkhawatirkan. Sebab jalan politik yang dipilih masing-masing kandidat cenderung mengabaikan moral dan seni berpolitik. Prinsip-prinsip demokrasi hanya ada dalam buku teks ilmu politik. Para politisi yang mengajukan dirinya dalam perhelatan politik pada panggung politik Sulsel sama sekali tidak menggunakan politik gagasan untuk mencapai tujuan politiknya.
Nurdin Halid (NH) sebagai salah satu calon Gubernur misalnya, ingin memenangkan panggung politik dengan menguasai seluruh perangkat politik yang bernama parpol. Ide politik NH adalah mengganjal semua lawan-lawan politiknya untuk memperoleh dukungan politik dari parpol. Dengan “matinya” lawan politik untuk memperoleh dukungan parpol, maka NH bercita-cita melawan “kotak kosong”. Gaya ini disebut sebagai politik gembala, dimana penggembala yang berpengalaman akan menghalau ternak-ternak lain yang bisa mengganggu ternak yang digembalanya keluar dari padang rumput atau savana. Penggembala yang hebat adalah penggembala yang menguasai padang rumput dari gangguan pesaingnya. Meskipun padang rumput itu sesungguhnya adalah milik publik ternak. Sama halnya dengan panggung politik, siapa yang menguasai panggung politik, dan mampu membatasi ruang gerak lawan politiknya di atas panggung politik, maka dia akan berjaya sebagai politisi. Akan tangguh secara politik. Akan tetapi, ketangguhan politik yang dicapai dengan cara “politik gembala” apakah sudah sesuai dengan moral dan seni berpolitik? Aktor politik yang kehilangan nilai seni dan mengabaikan prinsip moral demokrasi dalam mengelola peran politiknya, menurut Aristoteles, mereka adalah “binatang politik.”
Dalam beberapa kesempatan saat kunjungan dengan petinggi parpol NH selalu mengungkapkan keinginan memborong semua partai di kontestasi Pilgub.
“Saya tidak butuh kursi sebab Golkar sudah bisa mengusung sendiri. Tapi yang saya butuh adalah dukungan partai,” kata NH berulang kali saat melakukan pertemuan dengan pengurus partai di Sulsel.
Ibarat bermain bola, jika hanya satu kesebelasan yang mengisi lapangan bola, dan bermain tanpa lawan, bukan saja menjengkelkan penonton, akan tetapi para pemain bola juga tidak sempat mengeksplorasi dan mempertontonkan seni permainannya, penonton juga kehilangan haknya untuk menikmati seni dan prinsip permainan bola. Dihubungkan dengan demokrasi, sebagai kitab rujukan politik. Maka partisipasi massa dan publik adalah hal terpenting yang harus menjadi pertimbangan bagi para politisi. “Politik gembala” adalah politik yang memisahkan massa dan rakyat dengan arena politik. “Politik gembala” lebih mementingkan peranan elit politik ketimbang hak politik massa dan rakyat. Gaya politik ini, telah berkontribusi merosotkan substansi politik yang berbasiskan demokrasi.
Nama Nurdin Abdullah (NA) yang dikenal sebagai The Professor, adalah salah satu bakal calon gubernur pada pilgub Sulsel 2018. NA banyak mewarnai media massa dan medsos (media sosial), bukan hanya media lokal, tetapi juga media nasional. NA meyakini betul media adalah alat propaganda yang paling dahsyat. Lewat media ia mempromosikan segala hal yang dianggapnya sebagai sesuatu yang berhasil, yang dia lakukan 10 tahun terakhir di Bantaeng. Pencitraan dan polesan terhadap dirinya berhasil membuat NA menjadi salah satu bakal calon yang unggul pada banyak lembaga survei.
Sayangnya, dalam tindakan politik praktis the professor belum cukup berpengalaman. Jauh sebelum kandidat bakal calon gubernur yang lain memutuskan calon pendampingnya, NA sudah lebih awal memutuskan Tenri Bali Lamo (TBL) sebagai calon wakilnya. Mereka berdua sudah berkali-kali tampil di depan publik, seakan-akan ikrar berdua, membangun janji dan menyamakan langkah. Mereka berdua menyatu, berdiri tegak seperti batang bambu yang memberi banyak harapan. Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba saja NA menganulir pilihannya. NA meragukan kemampuan TBL bisa menambah dukungan. Pohon bambu yang terlihat kokoh menyatu itu, tiba-tiba dibelah oleh NA sendiri. Inilah gaya politik belah bambu. Setelah meragukan TBL, tersiar kabar, NA ingin menggandeng Rusdi Masse (RMS). Tapi berita yang sempat mewarnai publik itu, akhirnya ditelan bumi. Lalu muncul kabar baru, NA bakal bergandengan dengan adiknya Menteri Pertanian Republik Indonesia, Amran Sulaiman yakni Sudirman Sulaiman.
“Setelah diisukan dengan beliau (Sudirman Sulaiman) saya langsung melihat profil beliau. Beliau bekerja di salah satu perusahaan Amerika dan belum punya pengalaman di Pemerintahan,” ujar NA belum lama ini.
Apakah kebiasaan NA menggunakan gaya politik belah bambu akan terus berlanjut? Apakah NA akan terus membelah hubungan kompetitor politiknya dengan parpol yang sudah mendukung lawan politiknya, seperti yang dilakukan terhadap lawan politiknya, Ichsan Yasin Limpo (IYL), dengan “merampas” PAN yang sudah memberikan dukungan kepada IYL?
Lain halnya dengan Ichsan Yasin Limpo, bakal calon gubernur yang lain, ia sangat hati-hati memberikan pernyataan politik. Ia terkesan tidak terlalu mesra dengan media. Ia menganut faham realisme. Ia selalu mengambil kebijakan politik dengan berbasis fakta lapangan. Pilihan politik rasional dan faktual yang dianutnya, membuat ia memutuskan untuk maju dengan jalur independen.
Agus Arifin Nu’mang, bakal calon gubernur yang kini masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Sulsel, jauh lebih hati-hati dan nampak lebih santun dari politisi yang lain. Pengalaman politik Agus menunjukkan selalu lolos dari lubang jarum politik. Ia jarang berkonfrontasi dengan lawan-lawan politiknya. Ia lebih banyak mengamati ketimbang reaktif. Ia satu-satunya bakal calon yang belum mendeklarasikan calon wakilnya. Wajah politik Agus sangat tenang, ia satu-satunya yang belum pernah memberikan pernyataan politik yang menyerang lawan-lawan politiknya. Bagi Agus, NH, NA dan IYL adalah sahabat-sahabatnya dalam politik. Menurut Agus, kompetisi dalam politik hal yang biasa, tapi persudaraan tetap harus dijaga. Persaudaraan menurut Agus jauh lebih penting dan langgeng dari pada sekedar jabatan. Jabatan itu hanya lima sampai sepuluh tahun, tetapi persahabatan tidak ada batasnya. Dengan pengalaman politiknya yang cukup panjang, Agus berkeyakinan, belum ada dari mereka berempat yang bisa mengklaim dirinya sebagai pemenang. Selisih diantara mereka berempat masih dibawah dua kali margin eror.
“kita bisa menjadikan pelajaran Pilkada DKI 2017 dan Pilkada Sulsel 2008, kalau berdasarkan hasil survei Pilkada DKI dimenangkan Ahok, hal yang sama pada Pilkada Sulsel 2008, semestinya dimenangkan Amin Syam, tapi faktanya tidak demikian” tutup Agus.
(Redaksi Inipasti.com)